DASWATI.ID — Kematian harimau Sumatra jantan yang dikenal sebagai Bakas di Lembaga Konservasi Lembah Hijau Lampung pada 7 November 2025 memicu keprihatinan mendalam dan kritik tajam dari Forum HarimauKita (FHK).
FHK menilai insiden fatal ini bukan sekadar insiden teknis, melainkan cerminan buram dari tantangan serius dalam tata laksana penanganan konflik dan translokasi harimau liar di Indonesia.
Ketua Forum HarimauKita, Iding Achmad Haidir, D.Phil., dalam keterangan tertulisnya yang diterima pada Rabu (12/11/2025) menyatakan duka cita atas matinya satu individu harimau liar, spesies yang menjadi simbol upaya konservasi Indonesia dan jumlahnya terus menyusut.
FHK menegaskan bahwa setiap individu harimau yang ditangani adalah aset genetik dan simbol moral perjuangan konservasi bangsa.
Kritik Prosedur dan Indikasi Human Error
“Kasus Bakas bermula dari pemindahannya dari Pusat Penyelamatan Satwa (PPS) Lampung menuju Lembah Hijau Lampung, yang menurut siaran pers resmi BKSDA Bengkulu, beralasan demi keamanan dan perawatan yang lebih memadai,” ujar Iding.
Namun, FHK menyoroti munculnya beberapa catatan dan pertanyaan mendasar, khususnya menyangkut prosedur dan manajemen translokasi satwa liar berisiko tinggi seperti harimau dewasa agresif.
Forum HarimauKita mencatat minimnya informasi tentang tahapan pemindahan.
“Siaran pers resmi tidak menjelaskan secara rinci mengenai waktu pemindahan, metode penanganan yang digunakan, pihak yang memberikan otorisasi, serta apakah prosedur sedasi atau pembiusan diterapkan,” kata Iding.
Baca Juga: Pendarahan Otak Merenggut Nyawa Bakas, Sang Raja Hutan yang Terluka
FHK menekankan bahwa informasi dasar semacam ini sangat penting untuk menilai kesesuaian tindakan dengan pedoman nasional dan standar kesejahteraan satwa (animal welfare).
Lebih lanjut, FHK menemukan indikasi lemahnya perencanaan dan koordinasi antarpihak.
Berdasarkan keterangan lapangan yang dihimpun anggotanya, keputusan pemindahan Bakas tampaknya dilakukan secara mendadak tanpa melibatkan dokter hewan penanggung jawab yang sebelumnya menangani satwa tersebut.
Jika keterangan ini benar, FHK menilai ini merupakan bukti adanya human error dan kegagalan komunikasi lintas otoritas, di antaranya PPS Lampung, BKSDA Bengkulu, dan Ditjen KSDAE.
“Pemindahan satwa, khususnya harimau liar, memerlukan perencanaan dengan pertimbangan teknis dan persiapan yang detail, dan tidak dapat dilakukan secara mendadak,” tegas Iding.

Stres Ekstrem, Bukan “Menabrakkan Diri”
Mengenai penyebab kematian, FHK mengkritik keras penggunaan frasa “menabrakkan diri” untuk menjelaskan perilaku Bakas.
FHK menilai bahwa perilaku menabrak kandang bukan merupakan tindakan yang disengaja oleh satwa, melainkan adalah bentuk reaksi stres ekstrem terhadap gangguan di sekitar.
Iding menjelaskan harimau memiliki sifat elusif atau cenderung menghindar dari pandangan dan interaksi dengan manusia.
Dalam proses pemindahan, kandang wajib ditutup rapat untuk menghindari kontak visual dengan manusia, dan suara gaduh harus diminimalkan. Jika lingkungan menjadi bising atau ramai manusia, potensi stres pada harimau akan meningkat drastis.
“Salah satu prinsip kunci animal welfare adalah bebas dari ketakutan dan rasa tertekan, yang berarti harimau harus bebas dari rasa takut dan setiap tekanan dari kehadiran manusia di sekitarnya. Apabila hal ini tidak diterapkan, harimau akan berada dalam kondisi ketakutan berlebih yang berujung pada stres dan efek negatif,” ujar dia.
Upaya harimau untuk menghindari stressor (faktor penyebab stres) adalah berusaha menjauh atau keluar dari kandang, baik dengan mendobrak atau menabrak pintu/dinding yang menghalanginya.
FHK menjelaskan, semakin besar tenaga yang digunakan satwa untuk melewati penghalang, semakin fatal dampak yang akan dialaminya, bahkan bisa berakibat kematian karena luka traumatis yang serius pada organ-organ vital.
“Faktor-faktor kritis ini seharusnya sudah diantisipasi dalam setiap kegiatan translokasi satwa liar,” sesal Iding.
Momentum Reflektif dan Rekomendasi Mendesak
FHK menilai bahwa kematian Bakas harus dijadikan momentum reflektif dan pelajaran kolektif.
Selain isu prosedur, FHK menyoroti akar permasalahan konflik di lapangan yang bermula pada penyempitan habitat, aktivitas manusia di daerah jelajah harimau, dan perburuan satwa liar.
Secara spesifik untuk Bakas, dugaan terbesar penyebab konflik manusia dan harimau (KMH) adalah perilaku pembalasan karena satwa tersebut pernah terjerat sebanyak dua kali.
Forum HarimauKita mengajukan rekomendasi mendesak, antara lain:
1. Evaluasi Komprehensif
BKSDA dan Ditjen KSDAE wajib mengevaluasi prosedur translokasi untuk memastikan setiap langkah sesuai dengan Permen LHK No. P.17/2018 tentang Pedoman Penanggulangan Konflik Manusia dan Satwa Liar.
2. Penyusunan Juknis
Diperlukan penyusunan petunjuk teknis turunan (Juknis) yang lebih operasional terkait penanganan harimau agresif, termasuk panduan penanganan pasca-jerat, dan pemindahan antar lembaga konservasi.
3. Pelatihan Ulang
Pelatihan ulang bagi personel Wildlife Rescue Unit (WRU), PPS, dan mitra konservasi harus dilakukan, berfokus pada aspek animal welfare, pengendalian stres satwa, dan koordinasi antar lembaga.
4. Transparansi
Penting adanya transparansi publik dan pembelajaran terbuka dari setiap insiden penanganan satwa dilindungi untuk memperkuat kepercayaan publik dan memperkaya basis pengetahuan konservasi nasional.
FHK menegaskan, kehilangan Bakas harus menjadi pelajaran kolektif agar setiap tindakan penyelamatan satwa dilakukan dengan kehati-hatian, keterlibatan ahli, dan rasa tanggung jawab yang tinggi.
Kematian seekor harimau liar bukan sekadar kehilangan biologis, tetapi juga cermin dari sejauh mana kemampuan bangsa menyeimbangkan keselamatan manusia dengan martabat satwa yang dilindungi.
FHK menyatakan kesediaan untuk mendukung penguatan kapasitas dalam penanganan konflik, perawatan, rehab pasca-konflik, termasuk translokasi satwa dan pelepasliarannya.

