DASWATI.ID – Konflik agraria yang melibatkan masyarakat di tiga kampung Kecamatan Anak Tuha, Lampung Tengah – yakni Kampung Bumi Aji, Negara Aji Baru, dan Negara Aji Tua – dengan PT Bumi Sentosa Abadi (BSA) kian meruncing.
LBH-YLBHI Bandar Lampung menyebut konflik agraria ini sebagai “ujian bagi negara” karena mediasi yang difasilitasi oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Lampung Tengah pada Rabu (20/8/2025) tidak dihadiri pihak perusahaan.
“Mediasi kemarin difasilitasi oleh Pemerintah Daerah yang dihadiri Kapolres, Dandim, perwakilan masyarakat, dan LBH Bandar Lampung sebagai pendamping masyarakat. Pihak perusahaan juga sudah diundang, tetapi tidak hadir dalam proses mediasi tersebut,” tutur Direktur LBH-YLBHI Bandar Lampung Sumaindra Jarwadi (Indra), Kamis (21/8/2025).
Indra menyampaikan meski tanpa kehadiran perusahaan, mediasi menghasilkan tiga keputusan penting:
1. Pemerintah daerah akan membentuk Satuan Tugas Gugus Tugas Reforma Agraria (Satgas GTRF) yang melibatkan masyarakat, akademisi, masyarakat sipil, dan korban konflik untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas.
2. DPRD Lampung Tengah akan membentuk Panitia Khusus (Pansus) untuk melahirkan rekomendasi penyelesaian konflik.
3. Masyarakat dan PT BSA dilarang beraktivitas di lahan konflik, dengan PT BSA diberikan waktu hingga 31 Oktober 2025 untuk melakukan panen terakhir.
“Kami bersama masyarakat akan mengawal hasil mediasi ini sebagai keputusan bersama, walaupun tidak dihadiri pihak perusahaan,” tambah Indra.
Akar Permasalahan dan Kegagalan Negara
Konflik-konflik agraria, khususnya di Provinsi Lampung, merupakan persoalan mendesak yang menuntut penyelesaian serius dari negara dengan perspektif keberpihakan kepada rakyat.
“Konflik agraria ini telah berlangsung secara turun-temurun, berakar pada kegagalan negara dalam melakukan pengaturan sumber-sumber agraria,” tegas Indra.
Kegagalan ini terwujud melalui penerbitan Hak Guna Usaha (HGU) yang bermasalah, di mana terindikasi adanya pengabaian terkait proses penerbitan, peralihan, dan peruntukan di awal.
“Selain itu, absennya pengawasan negara untuk memastikan proses tersebut transparan dan berkeadilan turut berkontribusi pada ketimpangan penguasaan lahan,” tambah Indra.
Indra mengungkap akibat langsung dari konflik-konflik ini adalah masyarakat menjadi korban.
“Mereka mengalami perampasan tanah, kekerasan, dan kriminalisasi. Dampak konflik agraria ini juga bersifat struktural yang memiskinkan masyarakat,” ujar dia.
Tuntutan dan Tanggung Jawab Negara
Mengingat permasalahan ini bermuara pada pemerintah, lanjut Indra, negara memiliki kewenangan dan tanggung jawab penuh untuk menyelesaikan konflik agraria.
Harapan masyarakat adalah agar negara dapat menyelesaikan konflik agraria dari akarnya, yakni dengan mengembalikan tanah yang dirampas kepada rakyat.
“Dalam konteks pertanahan, negara secara jelas telah memiliki pengaturan untuk memberikan kesejahteraan seluas-luasnya kepada masyarakat, sehingga penyelesaian konflik ini merupakan kewajiban yang harus dipenuhi,” tegas dia.
Langkah-langkah dan Rekomendasi Penyelesaian
Menurut Indra, penyelesaian konflik agraria tidak hanya berkaitan secara hukum, melainkan juga memerlukan niat baik (goodwill) dan komitmen pemerintah.
“Pemerintah sebagai pihak yang memberikan izin HGU, bertanggung jawab untuk melakukan pengawasan,” kata dia.
Untuk mendorong penyelesaian ini, LBH-YLBHI Bandar Lampung telah mempersiapkan aduan yang akan dikirimkan kepada Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) terkait kewenangan proses penerbitan perizinan.
“Aduan juga akan disampaikan kepada Kantor Sekretariat Presiden dan beberapa lembaga negara lain yang berkaitan dengan perlindungan Hak Asasi Manusia, khususnya terkait adanya kriminalisasi yang dihadapi oleh warga, seperti kasus di Anak Tuha,” pungkas Indra.
Negara Diuji, Korporasi Membangkang
Kadiv Advokasi YLBHI-LBH Bandar Lampung, Prabowo Pamungkas (Bowo), memandang ketidakhadiran PT BSA dalam forum mediasi sebagai bentuk nyata pembangkangan terhadap pemerintah sekaligus penghinaan terhadap rakyat yang selama ini menjadi korban.
Perusahaan tersebut telah lama menempatkan dirinya seolah-olah lebih berkuasa daripada negara, memilih membangkang di saat pemerintah memfasilitasi mediasi dan masyarakat datang dengan iktikad baik.
“Kondisi ini menggambarkan wajah oligarki yang tidak menghormati negara, rakyat, maupun hukum,” tegas Bowo.
Harapan dan Kerapuhan Keberpihakan Negara
Bagi YLBHI–LBH Bandar Lampung, hasil mediasi ini memang memberikan sedikit harapan, namun sekaligus mengungkap betapa rapuhnya keberpihakan negara dalam konflik agraria.
Meskipun komitmen pemerintah dan DPRD diapresiasi sebagai langkah awal, pengalaman panjang konflik agraria di Indonesia menunjukkan bahwa komitmen semacam itu seringkali hanya menjadi catatan di atas kertas, tanpa keberanian untuk benar-benar melawan kepentingan modal.
“Tanpa sikap tegas, hasil mediasi ini hanya akan menambah daftar panjang kegagalan negara menyelesaikan konflik agraria,” ujar Bowo.
Bowo menyatakan konflik di Anak Tuha bukanlah kasus tunggal, melainkan cerminan dari luka agraria di berbagai pelosok negeri.
Rakyat selalu menjadi pihak yang paling dirugikan, sementara perusahaan dengan mudah mengabaikan aturan dan menundukkan negara dengan kekuatan modalnya.
“Puluhan tahun rakyat di tiga kampung tersebut dipaksa hidup dalam ketidakpastian dan kehilangan hak atas tanah. Mediasi seharusnya menjadi momentum untuk memutus rantai ketidakadilan, bukan sekadar formalitas,” harap dia.
YLBHI–LBH Bandar Lampung menegaskan bahwa konflik agraria di Anak Tuha adalah ujian bagi negara.
Pertanyaan kunci yang muncul adalah apakah negara akan berdiri tegak bersama rakyat atau kembali tunduk pada perusahaan yang arogan; apakah DPRD akan sungguh-sungguh menjalankan mandatnya; dan apakah Gugus Tugas Reforma Agraria akan mewujudkan keadilan atau hanya menjadi proyek administratif tanpa hasil.
“Rakyat sudah terlalu lama menunggu keadilan, dan kesabaran mereka tidak boleh terus diuji dengan kebijakan yang setengah hati. Negara harus membuktikan keberpihakannya dengan langkah nyata, bukan janji kosong,” tegas Bowo.
YLBHI–LBH Bandar Lampung bersama masyarakat sipil akan terus mengawal proses ini, memastikan keadilan agraria tidak hanya berhenti pada wacana, melainkan benar-benar diwujudkan, karena tanah adalah ruang hidup, identitas, dan masa depan rakyat.
Luka Tanah Anak Tuha
Konflik agraria yang kembali muncul ke permukaan antara petani Kecamatan Anak Tuha, Kabupaten Lampung Tengah, dengan PT Bumi Sentosa Abadi (BSA) telah berlangsung sejak tahun 2014 silam.
Konflik ini berpusat pada perebutan lahan dengan hak guna usaha (HGU) atas nama PT BSA, yang di sisi lain juga diklaim oleh para petani Anak Tuha sebagai tanah adat dan tanah yang telah mereka garap serta wariskan secara turun-temurun.
Berikut adalah uraian sejarah konflik agraria di Anak Tuha yang dikutip dari Tempo.co:
1. Awal Mula dan Perubahan Kepemilikan HGU
- Pada tahun 1981, Hak Guna Usaha (HGU) diterbitkan atas nama PT Chandra Bumi Kota untuk lahan seluas 807 hektare, dengan jangka waktu 25 tahun, yaitu dari tahun 1981 hingga 2006. Lahan ini mulanya disewa oleh perusahaan tersebut.
- Pada tahun 1990, PT Chandra Bumi Kota dibeli oleh PT BSA, yang juga mencakup aset berupa lahan singkong dan tebu. Akta jual beli (Nomor 71 tanggal 9 Mei 1990) ini kemudian mendapatkan pengesahan dari Menteri Kehakiman pada 13 November 1991.
- Pada tahun 2004, PT BSA mengakuisisi lahan tambahan seluas 144,87 hektare di Kampung Bumi Aji dan Negara Aji Tua.
- Pada tahun 2005, PT BSA mengajukan HGU baru untuk jangka waktu 35 tahun, yang berlaku dari tahun 2005 hingga 2040.
Polda Lampung juga menyatakan bahwa PT BSA telah memperpanjang HGU mereka selama 25 tahun hingga tahun 2029, sesuai dengan keputusan Kepala BPN pada 17 September 2004.
2. Protes dan Upaya Hukum oleh Masyarakat
- Pada tahun 2014, masyarakat dari tiga kampung di Anak Tuha melancarkan protes untuk menuntut kejelasan hak atas lahan yang pernah mereka garap dan wariskan secara turun-temurun.
- Bersamaan dengan itu, beberapa warga juga mengajukan gugatan hak atas lahan tersebut. Namun, gugatan warga ini ditolak oleh Pengadilan Negeri Gunung Sugih melalui putusan Nomor 27/PDT.G/2014 PN.GNS.
- Tidak putus asa, masyarakat melanjutkan upaya hukum dengan mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Tanjung Karang pada tahun 2016. Namun, upaya banding tersebut juga ditolak dengan putusan Nomor 35/PDT/2016/PT TJK pada Oktober 2016.
- Pada tahun 2017, masyarakat kembali melakukan upaya hukum dengan mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung, tetapi permohonan kasasi ini pun ditolak berdasarkan memori kasasi nomor 2012K/PDT/2017.
3. Kritik dan Penegasan Kepemilikan
- LBH Bandar Lampung mengkritik pengerahan aparat penegak hukum pada saat konflik terjadi. Mereka menyatakan bahwa hal tersebut menyebabkan intimidasi meningkat dan ruang dialog tertutup rapat.
- Berdasarkan serangkaian putusan pengadilan dan akta jual beli, Polda Lampung menyatakan PT BSA sebagai pemilik sah atas lahan yang menjadi objek sengketa tersebut.
Baca Juga: Konflik Agraria Anak Tuha: Tirani Modal dan Represi Negara

