Catahu 2024 LBH Bandarlampung: Aduan Pencari Keadilan Meningkat

oleh
Petani Kotabaru Laporkan Pemprov ke Polda Lampung
LBH Bandarlampung bersama petani penggarap lahan Kotabaru di Mapolda Lampung, Lampung Selatan, Rabu (20/3/2024). Foto: Arsip LBH Bandarlampung

DASWATI.ID – Catatan Akhir Tahun atau Catahu 2024 LBH Bandarlampung menunjukkan peningkatan signifikan dalam pencarian keadilan.

LBH Bandarlampung kembali menerbitkan Catahu 2024 dengan tema “Pat Gulipat Kekuasaan: Nyala Api Di Lorong Gelap Demokrasi, Negara Hukum dan HAM” pada Senin (3/2/2025).

“Catatan ini bentuk pertanggungjawaban kami kepada publik dan pernyataan sikap atas komitmen kami dalam mendampingi masyarakat miskin, terpinggirkan, dan tertindas akibat ketidakadilan struktural di bidang hukum, politik, dan ekonomi,” ujar Direktur LBH Bandarlampung Sumaindra Jarwadi dalam keterangannya.

Catahu 2024 LBH Bandarlampung menyajikan rekapitulasi data pengaduan dan penanganan kasus dari masyarakat yang mencari keadilan, serta laporan pelayanan bantuan hukum berdasarkan tipologi kasus yang dihadapi.

“Selama tahun 2024, LBH Bandarlampung menerima 97 pengaduan dari pencari keadilan dengan total 11.475 penerima manfaat,” kata Indra.

Dibandingkan tahun 2023 lalu, jumlah pengaduan ini mengalami peningkatan sebanyak 36 aduan.

Di tahun 2023, LBH Bandarlampung menerima sebanyak 61 pengaduan dari masyarakat, baik daring maupun luring. Pengaduan ini tercatat dalam Sistem Pendokumentasian Kasus (Simpensus).

Baca Juga: Catahu LBH Bandarlampung 2023: konflik agraria menguat

Indra menyampaikan bahwa dari 97 pengaduan tahun 2024, sebanyak 70 pengaduan menerima layanan konsultasi, sementara 27 pengaduan dilanjutkan dengan pendampingan, baik di luar pengadilan (non litigasi) maupun di dalam pengadilan (litigasi).

“Kami membagi pengaduan berdasarkan karakteristik kasus dan latar belakang pencari keadilan: Individu (75), Komunitas/Lembaga (11), Keluarga (6), dan Kelompok Sosial (4),” ujar dia.

Gugatan Eks Buruh PT PSI kepada Pengusaha Mulai Disidangkan
Wakil Direktur LBH Bandarlampung Cik Ali (kanan) memberikan pendampingan kepada 17 eks buruh wanita PT PSI pada sidang perdana gugatan di PN Tanjungkarang, Bandarlampung, Kamis (9/11/2023). Foto: Arsip LBH Bandarlampung

Berdasarkan Simpensus, LBH Bandarlampung mencatat 97 permohonan bantuan hukum dengan tipologi isu sebagai berikut: Perburuhan (8), Agraria (4), Kriminalisasi (3), Kekerasan Berbasis Gender (3), Lingkungan Hidup (3), Kelompok Rentan dan Minoritas (3), Militerisme (1), Pelayanan Publik (1), Pendidikan (1), dan Pembela HAM (1).

“Data penanganan kasus struktural yang ditangani LBH Bandarlampung selama tahun 2024, sebagian besar kasus didominasi oleh Konflik Agraria dan Ruang Hidup,” ungkap Indra.

Adapun karakteristik pelaku adalah korporasi skala nasional yang difasilitasi oleh unsur negara ataupun yang dilakukan oleh negara secara langsung.

“Beberapa konflik agraria juga diwarnai dengan upaya-upaya kriminalisasi pada masyarakat dan pembela HAM,” ujar Indra.

Catahu 2024 LBH Bandarlampung didominasi masalah struktural.

Indra menyatakan dalam konteks isu-isu sosial yang terjadi sepanjang tahun 2024, beberapa masalah struktural masih mendominasi dan saling terkait, menciptakan lingkaran kompleks yang memengaruhi berbagai aspek kehidupan masyarakat.

“Salah satunya adalah angka pengaduan yang cukup signifikan dalam isu perburuhan, dimana berbagai pola sengketa hak terus terjadi,” ujar dia.

Isu perburuhan mulai dari pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak, pesangon yang tidak dibayarkan, hingga tindak pidana perburuhan, menunjukkan betapa rentannya posisi pekerja dalam menghadapi kekuatan korporasi dan negara.

Menurut Indra, hal itu tidak terlepas dari modus operandi pelaku yang cenderung didorong oleh motif ekonomi, seperti akumulasi modal dalam konteks investasi korporasi, pembangunan infrastruktur, serta arogansi lembaga negara dalam menjalankan tugas dan wewenangnya.

“Kondisi ini memperparah ketimpangan relasi kuasa antara pekerja, korporasi, dan negara,” kata dia.

Polda Lampung dan BPN Tinjau Lahan Garapan Masyarakat Terkait Dugaan Mafia Tanah
Polda Lampung dan BPN Lampung Timur bersama masyarakat Desa Wana meninjau lahan garapan petani setempat terkait dugaan mafia tanah, Kamis (30/1/2025). Foto: Arsip LBH Bandarlampung

Selain itu, penyempitan ruang sipil juga menjadi isu krusial di tengah era keterbukaan informasi dan berkembangnya penggunaan media sosial.

“Meskipun masyarakat sipil memiliki akses yang lebih luas untuk menyuarakan kritik, mereka masih dihantui oleh jerat UU ITE yang sering digunakan untuk membungkam suara kritis,” ujar Indra.

Dia memandang hal tersebut menciptakan ketakutan dan ketidakpastian, terutama bagi mereka yang berusaha mengadvokasi hak-hak buruh atau isu-isu sosial lainnya.

“Penyempitan ruang sipil ini tidak hanya memengaruhi kebebasan berekspresi, tetapi juga memperlemah upaya masyarakat dalam mengawasi praktik-praktik korporasi dan negara yang merugikan,” kata Indra.

Di sisi lain, lanjut dia, kasus kekerasan seksual masih menjadi masalah struktural yang dominan sepanjang tahun 2024.

Berdasarkan data korban yang disandingkan dengan pelaku, terlihat jelas bahwa relasi kuasa yang timpang masih menjadi akar persoalan ini.

“Kekerasan seksual dapat terjadi dimana saja, termasuk di lingkungan sekitar rumah dan kampus, yang seharusnya menjadi tempat aman bagi individu,” ujar Indra.

Namun, kenyataannya, kedua lingkungan tersebut masih belum mampu memberikan perlindungan yang memadai dari ancaman perilaku kekerasan seksual.

“Hal ini menunjukkan bahwa masalah kekerasan seksual tidak hanya bersifat individual, tetapi juga terkait dengan struktur sosial yang lebih luas, termasuk ketimpangan relasi kuasa yang juga terlihat dalam isu perburuhan dan penyempitan ruang sipil,” jelas Indra.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *