Dinamika Budidaya Tembakau dalam Pusaran Waktu Indonesia

oleh
Dinamika Budidaya Tembakau dalam Pusaran Waktu Indonesia
Muhammad Kamil Sadili saat di Kebun Tembakau Cerutu milik PTPN 1 di Jember Jawa Timur. Foto: Instagram @muhammadkamilsadili

Oleh: Muhammad Kamil Sadili & Mahendra Utama

DASWATI.ID – Budidaya tembakau di Indonesia telah menempuh perjalanan panjang yang kaya akan sejarah dan transformasi, dari awal kedatangannya hingga menjadi komoditas strategis dalam perekonomian nasional.

Tanaman ini tidak hanya membentuk lanskap pertanian, tetapi juga memainkan peran krusial dalam dinamika sosial, ekonomi, dan politik di Indonesia sepanjang abad.

Awal Mula dan Penyebaran di Nusantara

Tembakau pertama kali dikenal di Nusantara pada akhir abad ke-16 hingga awal abad ke-17.

Catatan sejarah, khususnya naskah Babad Ing Sangkala, menyebutkan bahwa tembakau mulai muncul di masyarakat Jawa sekitar tahun 1601-1602 Masehi, bersamaan dengan wafatnya Penembahan Senopati di Kerajaan Mataram, yang kemudian memicu kebiasaan merokok di kalangan masyarakat.

Bangsa Portugis diyakini membawa tembakau ke Indonesia, mengingat masa penjajahan mereka dari tahun 1512-1641, meskipun ada pula dugaan bahwa Spanyol membawanya pada periode 1521-1529.

Thomas Stamford Raffles dalam bukunya “The History of Java” (1817) mencatat bahwa pada sekitar tahun 1600-an, tembakau telah tumbuh melimpah di berbagai wilayah Jawa.

Masa Kolonial dan Sistem Tanam Paksa

Pengembangan tembakau untuk pasar Eropa dimulai secara sistematis pada tahun 1830 melalui penerapan sistem tanam paksa (cultuurstelsel). 

Sistem yang digagas oleh Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch ini mewajibkan setiap desa menyisihkan 20% lahannya untuk ditanami komoditas ekspor, termasuk tembakau, yang hasilnya harus diserahkan kepada pemerintah kolonial.

Bersama kopi, tebu, indigo, dan teh, tembakau menjadi komoditas vital yang dikembangkan di daerah-daerah seperti Rembang, Surabaya, Madiun, Kediri, Blitar, dan Priangan.

Meskipun sistem ini memberikan keuntungan besar bagi Belanda, pelaksanaannya menimbulkan penderitaan signifikan bagi rakyat Indonesia.

Dampak sosial-ekonomi yang terjadi antara lain:

  • Eksploitasi tenaga kerja: Petani dipaksa bekerja jauh melampaui ketentuan awal tiga bulan setahun, dengan contoh di Parahyangan, laki-laki harus bekerja di perkebunan indigo selama tujuh bulan terus-menerus.
  • Kelaparan dan kemiskinan: Fokus pada tanaman ekspor menyebabkan petani kekurangan waktu untuk menggarap lahan pangan sendiri, berujung pada kelaparan di Cirebon, Purwodadi, Demak, dan Grobogan.
  • Kritik dan penghapusan: Sistem tanam paksa menuai kritik dari berbagai pihak, termasuk humanis Belanda seperti Eduard Douwes Dekker (Multatuli) melalui bukunya “Max Havelaar”. Sistem ini akhirnya dihapus secara bertahap antara tahun 1860-1870.

Perkembangan Perkebunan Tembakau Besar

Setelah penghapusan tanam paksa, periode 1870-1940 menandai munculnya perkebunan tembakau besar-besaran untuk tujuan ekspor.

Pusat-pusat produksi tembakau cerutu berkembang di tiga wilayah agroklimatologi ideal:

  • Deli (Sumatera Utara): Terkenal dengan tembakau cerutu pembungkus (wrapper) kelas dunia;
  • Klaten (Jawa Tengah): Menghasilkan tembakau cerutu berkualitas tinggi;
  • Karesidenan Besuki (Jawa Timur): Populer dengan tembakau Besuki Na-Oogst untuk isi cerutu.

Usaha perkebunan tembakau berskala besar dimulai pada tahun 1856 oleh George Birnie bersama Mr. C. Shanderberg Mattiessen dan A.D. Van Gennep, yang mendirikan “Landbouw Maatschappij Oud Djember (LMOD)”.

Keberhasilan pemasaran tembakau Besuki di pasar internasional menarik banyak pengusaha Belanda lain untuk berinvestasi, dengan pendirian perusahaan seperti Landbouw Maatschappij Sukowono (LMS), Besoekische Tabaks Maatschappij (BTM), dan Amsterdam Besoekische Tabaks Maatschappij (ABTM).

Era Pasca Kemerdekaan dan Nasionalisasi

Pasca kemerdekaan, pada tahun 1950, para pengusaha Belanda mendirikan Yayasan Perkebunan Rakyat Indonesia (YAPERRIN) untuk memberikan bimbingan teknis dan bantuan modal kepada petani tembakau.

Namun, YAPERRIN hanya beroperasi hingga tahun 1957 karena adanya perubahan politik dan kebijakan nasionalisasi.

Pemerintah Indonesia mengambil langkah strategis dengan nasionalisasi perusahaan Belanda melalui Undang-Undang No. 58 Tahun 1958.

Seluruh perusahaan perkebunan Belanda diambil alih dan menjadi Perusahaan Perkebunan Negara Kesatuan Jatim IX, sebagai bagian dari upaya penguasaan sumber daya ekonomi pasca kemerdekaan.

Restrukturisasi dan Pengembangan Modern

Transformasi kelembagaan terus berlanjut. Pada tahun 1963, Kesatuan Jatim IX Tembakau dipecah menjadi PPN V Tembakau Besuki dan PPN VI Tembakau Besuki.

Kedua perusahaan ini kemudian digabung kembali pada tahun 1968 menjadi PT Perkebunan XXVII yang berkedudukan di Jember, mengelola 14 kebun.

Restrukturisasi signifikan kembali terjadi pada tahun 1996, ketika PTP XIX, PTP XXI-XXII, dan PTP XXVII dilebur menjadi PT Perkebunan Nusantara X (PTPN X).

Pada tahun 2023 dan 2024, PTPN Holding Perkebunan Nusantara melakukan restrukturisasi besar dengan penggabungan anak perusahaan melalui regionalisasi. Pada 1 Desember 2023, PTPN X dimerger dengan PTPN IX menjadi PTPN I Regional 4 Unit Tembakau.

Selanjutnya, pada 1 Juni 2024, PTPN I Regional 4 dan PTPN I Regional 5 dilebur menjadi PTPN I Regional 5.

Reorganisasi ini bertujuan untuk meningkatkan efisiensi operasional, memperkuat daya saing, dan menekan biaya produksi yang tinggi.

Kondisi Budidaya Tembakau Saat Ini

Saat ini, Unit Tembakau PTPN I Regional 5 mengelola tiga kebun utama: Kebun Ajong Gayasan dan Kebun Kertosari di Jember, serta Kebun Klaten di Jawa Tengah.

Kebun Ajong Gayasan dikenal sebagai penghasil tembakau terbaik di Indonesia, dengan produksi 5.983 ton daun hijau pada tahun 2021 dengan kualitas NW mencapai 27,10%.

Proses budidaya dan pengolahan di perkebunan modern melibatkan teknologi dan manajemen canggih, meliputi pembibitan menggunakan polibag sosis, pemeliharaan dengan kriteria panen spesifik (semburat kuning pada daun, muncul bunga 5-10% per ha, klorofil meter 290-320), pemanenan oleh tim khusus, dan pengeringan daun selama 18-20 hari di gudang.

Namun, budidaya tembakau menghadapi tantangan serius dari perubahan iklim, khususnya fenomena kemarau basah yang menyebabkan masa tanam mundur dan kematian tanaman muda.

Anomali cuaca ini juga mengancam kualitas tembakau rajangan karena mayoritas petani mengandalkan panas matahari untuk pengeringan dan pewarnaan.

Untuk mengatasi hal ini, strategi adaptasi seperti penyesuaian waktu tanam, pengembangan teknologi pengeringan alternatif, dan pemuliaan varietas tahan kelembaban tinggi terus dikembangkan.

Pasar Ekspor dan Kontribusi Ekonomi

Tembakau Indonesia, terutama dari Kebun Ajong Gayasan, telah berhasil menembus pasar ekspor internasional ke produsen cerutu global seperti BSB Group dari Swiss.

Tembakau ekspor harus memenuhi kriteria ketat untuk mencapai standar Top Grade, yaitu mutu daun NW (Natural Wrapper) dan LPW (Light Painted Wrapper) dengan indikator daun bersih, utuh, warna rata, dan ukuran daun kurang dari 38 cm, dengan harga jual mencapai Rp 1 juta/kg.

Secara nasional, budidaya tembakau memiliki peran strategis. Berdasarkan data Kementerian Pertanian 2024, tiga sentra produksi tembakau utama adalah Jawa Timur (47,67% produksi nasional), Nusa Tenggara Barat (23,67%), dan Jawa Tengah (21,63%).

Di Jawa Timur sendiri, terdapat enam jenis tembakau yang dibudidayakan: Jawa (30%), Kasturi (18%), Madura (16%), Virginia (12%), Besuki (11%), dan Paiton (10%).

Kontribusi tembakau dalam perekonomian nasional sangat signifikan, meliputi:

  • Penyerapan tenaga kerja: Menyediakan lapangan kerja bagi jutaan petani dan pekerja industri pengolahan.
  • Penerimaan negara: Memberikan kontribusi substansial melalui pajak dan devisa ekspor.
  • Pengembangan wilayah: Mendorong pertumbuhan daerah sentra produksi tembakau.
  • Nilai budaya: Menjadi bagian tak terpisahkan dari tradisi masyarakat di berbagai daerah.

Perkembangan Teknik Budidaya Inovatif dan Adaptasi

Dalam rangka meningkatkan efisiensi lahan dan pendapatan petani, sistem tumpangsari (intercropping) antara tembakau dengan tanaman lain mulai dikembangkan.

Penelitian menunjukkan respons positif petani terhadap tumpangsari tembakau dengan gandum, yang dapat meningkatkan pendapatan dan pengetahuan petani.

Selain itu, adaptasi terhadap perubahan iklim terus menjadi fokus, dengan strategi seperti penyesuaian jadwal tanam, pengembangan metode pengeringan yang tidak sepenuhnya bergantung pada matahari, dan pemuliaan varietas tembakau yang lebih tahan terhadap kondisi kelembaban tinggi.

Tantangan dan Prospek Masa Depan

Meskipun perannya strategis, budidaya tembakau di Indonesia menghadapi tantangan kompleks di masa depan:

  • Tekanan kesehatan global: Kampanye anti-tembakau yang semakin gencar di dunia;
  • Perubahan iklim: Anomali cuaca yang mengganggu produksi dan kualitas;
  • Regulasi pemerintah: Kebijakan yang semakin ketat terkait produk tembakau;
  • Perubahan preferensi konsumen: Tren kesehatan yang mengurangi konsumsi produk tembakau.

Namun, prospek pengembangan tembakau tetap ada melalui strategi yang tepat:

  • Diversifikasi produk: Pengembangan produk tembakau non-rokok, seperti ekstrak nikotin untuk farmasi;
  • Peningkatan kualitas: Fokus pada produksi tembakau berkualitas tinggi untuk pasar premium;
  • Agrowisata tembakau: Pengembangan wisata perkebunan, seperti yang telah dilakukan di Klaten;
  • Ekspansi pasar ekspor: Peningkatan nilai ekspor melalui produk berkualitas tinggi.

Kesimpulan

Dinamika budidaya tembakau di Indonesia mencerminkan perjalanan sejarah yang panjang dan adaptif.

Dari awal kedatangan di abad ke-17, pengaruh kebijakan kolonial, hingga nasionalisasi dan restrukturisasi pasca kemerdekaan, tembakau telah menjadi pilar ekonomi dan budaya.

Meskipun menghadapi tantangan modern seperti isu kesehatan global, perubahan iklim, dan regulasi, dengan fokus pada kualitas, nilai tambah, dan diversifikasi, budidaya tembakau berpotensi untuk terus memberikan kontribusi signifikan bagi perekonomian nasional, khususnya dalam penciptaan lapangan kerja dan perolehan devisa ekspor. (*)

__________________________________________________

Tentang Muhammad Kamil Sadili & Mahendra Utama 

Muhammad Kamil Sadili seorang pelajar, peneliti tani, ternak, pedagang, serta ayah dari anak-anak yatim dan dhuafa di Persada Yatim Indonesia (PYI), sebuah organisasi media belajar dan berbagi.

Mahendra Utama adalah eksponen Aktivis 98. Saat ini ia menduduki beberapa posisi strategis, antara lain sebagai Pendiri PT KSWD Lampung, Pendiri PT SLDU Lampung, Komisaris Utama PT DMKB Sumatera Utara, dan CEO PT Solusi Aksara Graphics Unggul.

Selain itu, ia juga memiliki pengalaman karier profesional lainnya seperti Konsultan Media Massa, Tenaga Ahli Gubernur Lampung bidang Hukum & Pemerintahan, Sekretaris Khusus Gubernur Lampung, serta fasilitator di berbagai bidang.

Ia diangkat sebagai Komisaris PT Mitratani Dua Tujuh sejak tanggal 5 Juli 2023.

Baca Juga: Tabir Asap Gelap: Jutaan Batang Rokok Ilegal Terkuak di Gerbang Sumatra

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *