Iklim dan Demokrasi Indonesia Pasca Pemilu 2024

oleh
Iklim dan Demokrasi Indonesia Pasca Pemilu 2024
Direktur Eksekutif Daerah Walhi Lampung Irfan Tri Musri usai acara Diskusi Publik “Masa Depan Perjuangan Lingkungan Hidup di Tengah Krisis Multidimensi” , Bandarlampung pada Selasa (5/3/2024). Foto: Josua Napitupulu

DASWATI.ID – Situasi demokrasi Indonesia saat ini memunculkan kekhawatiran terhadap upaya mitigasi perubahan iklim.

Direktur Eksekutif Daerah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Lampung Irfan Tri Musri menilai demokrasi dan perubahan iklim memiliki keterkaitan satu sama lain.

“Tidak sedikit pihak yang menaruh kekhawatiran dengan situasi demokrasi hari ini terhadap kemerosotan kualitas lingkungan hidup dan sumber daya alam ke depan,” kata Irfan dalam Catatan Akhir Tahun Lingkungan Hidup Provinsi Lampung 2023.

Catatan Akhir Tahun (Catahu) 2023 ini diluncurkan dalam acara Diskusi Publik “Masa Depan Perjuangan Lingkungan Hidup di Tengah Krisis Multidimensi” di Bandarlampung pada Selasa (5/3/2024).

Dalam Catahu 2023, Irfan menyampaikan salah satu titik krusial permasalahan demokrasi di Indonesia adalah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengubah syarat batas usia dalam pencalonan presiden dan wakil presiden.

“Putusan MK ini memberikan peluang besar bagi Gibran, putra sulung Presiden RI Joko Widodo, untuk maju mendampingi Prabowo Subianto di Pemilu 2024,” ujar Irfan.

Baca Juga: Mahkamah Konstitusi Ubah Ketentuan Syarat Usia Capres-Cawapres

Walhi Lampung memandang pasangan Capres Cawapres, Prabowo Subianto – Gibran Rakabuming Raka, sebagai perpanjangan rezim Joko Widodo – Ma’ruf Amin untuk lima tahun ke depan.

Hal inilah yang memunculkan kekhawatiran Walhi terhadap lingkungan hidup dan sumber daya alam Indonesia.

“Jika kita lihat sembilan tahun ke belakang dalam periode kepemimpinan Presiden Joko Widodo, seluas 1,48 juta Ha hutan di Indonesia diberikan kepada korporasi melalui skema izin pengelolaan ataupun Hak Guna Usaha,” kata Irfan.

Kebijakan Joko Widodo (Jokowi) dinilai meliberalisasi hutan Indonesia dan sumber-sumber penghidupan masyarakat.

Penerbitan izin-izin tersebut menimbulkan banyak konflik sosial karena pendekatannya bersifat top-down.

“Masyarakat lah yang menerima dampak dari kebijakan tersebut. Inilah yang menjadi persamaan antara Rezim Jokowi dan Rezim Soeharto,” kata Irfan.

Kebijakan lingkungan era Soeharto dan Jokowi.

Pada masa Orde Baru, Soeharto menerbitkan beberapa paket kebijakan seperti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok-Pokok Kehutanan, dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Pertambangan.

“Paket kebijakan ini menjadi titik balik eksploitasi hutan Indonesia,” ujar Irfan.

Di era Reformasi, setali tiga uang, Jokowi juga menerbitkan paket kebijakan yang semakin memperbesar eksploitasi dengan menjamin perluasan ekspansi izin.

  1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja;
  2. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Mineral dan Batubara;
  3. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi;
  4. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara;
  5. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2023 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara;
  6. Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang Nilai Ekonomi Karbon;
  7. Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2024 tentang Penangkapan dan Penyimpanan Karbon atau Carbon Capture and Storage (CCS);
  8. Peraturan Pemerintah Nomor 64 Tahun 2021 tentang Badan Bank Tanah;
  9. Peraturan Menteri LHK Nomor 4/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2020 tentang Penyediaan Kawasan Hutan untuk Pembangunan Food Estate;
  10. Peraturan Presiden yang kemudian menjadi Peraturan Menteri Perekonomian tentang Proyek Strategis Nasional (PSN);
  11. Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2023 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 62 Tahun 2018 tentang Penanganan Dampak Sosial Kemasyarakatan Dalam Rangka Penyediaan Tanah untuk Pembangunan Nasional.

Pendekatan kebijakan bersifat top-down ini juga berdampak terhadap lingkungan dan masyarakat Provinsi Lampung lewat Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut.

“Di Lampung misalnya pembangunan tanpa izin lingkungan dihilangkan unsur pidananya dalam Undang-Undang Cipta Kerja,” kata Irfan.

Baca Juga: Gakkum KLHK Setop Kegiatan Ilegal PT HKKB di Bandarlampung

Sementara, Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 mengancam keberlanjutan ekosistem pesisir dan masyarakat pesisir Lampung.

Mengingat hubungan erat antara iklim dan demokrasi, Irfan menekankan pentingnya memperkuat demokrasi agar dapat mengatasi perubahan iklim secara efektif.

“Lahirnya rezim baru tentu akan membawa dinamika baru dalam pengelolaan negara karena kebijakan di Indonesia lahir dari keputusan politik di tingkat eksekutif maupun legislatif,” ujar dia.

Baca Juga: Walhi Lampung: carbon trade tidak efektif atasi krisis iklim

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *