Partai Politik Harus Direformasi Jika Pilkada Tidak Langsung

oleh
74 Persen TPS di Provinsi Lampung Terindikasi Rawan
Simulasi Pemungutan dan Penghitungan Suara (Tungsura) di TPS Lokasi Khusus Lapas Kelas I Bandarlampung pada Senin (18/11/2024. Foto: Josua Napitupulu

DASWATI.ID – Akademisi Universitas Lampung Darmawan Purba mengatakan partai politik harus direformasi jika pilkada tidak langsung.

“Dalam konteks pilkada tidak langsung, reformasi partai politik menjadi suatu keharusan yang mendesak,” ujar Darmawan di Bandarlampung, Sabtu (14/12/2024).

Sekjen Asosiasi Dosen Ilmu Pemerintahan Seluruh Indonesia (ADIPSI) 2024-2027 ini mengatakan reformasi partai politik merupakan syarat penting bagi kesuksesan pilkada tidak langsung.

“Masyarakat mungkin akan lebih terbuka menerima pilkada tidak langsung jika partai politik melakukan reformasi untuk menjadi lebih modern, transparan, akuntabel, dan partisipatif,” kata dia.

Dalam pilkada tidak langsung, pemilih tidak memilih langsung calon kepala daerah, melainkan melalui perwakilan, seperti anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).

Sistem pilkada tidak langsung menuntut partai politik untuk beradaptasi dan berinovasi agar dapat menciptakan proses demokrasi yang responsif terhadap kebutuhan masyarakat.

Hal ini menunjukkan pentingnya bagi partai untuk membangun hubungan yang lebih baik dan lebih transparan dengan publik agar kepercayaan tersebut dapat terbangun kembali.

“Saat ini, kepercayaan masyarakat terhadap partai politik dalam hal rekrutmen, kaderisasi, meritokrasi, dan pengembangan talenta politik masih menjadi pertanyaan yang perlu dijawab,” kata dia.

Tanpa adanya reformasi yang signifikan, jelas Darmawan, partai politik berisiko terjebak dalam praktik-praktik lama yang tidak lagi relevan, sehingga menghambat kemajuan demokrasi lokal.

“Dengan demikian, memperkuat struktur internal, meningkatkan kualitas kader, dan memperbaiki mekanisme pengambilan keputusan dalam partai merupakan langkah penting untuk memastikan pilkada tidak langsung berjalan efektif dan melahirkan pemimpin yang sesuai dengan harapan masyarakat,” ujar dia.

Kamuflase Paslon Tunggal di Pilkada Bandarlampung 2024
Pakar politik dari FISIP Universitas Lampung Darmawan Purba. Foto: Josua Napitupulu

Pilkada tidak langsung ibarat membeli kucing dalam karung.

Darmawan Purba menuturkan peralihan dari pilkada tidak langsung ke pilkada langsung di Indonesia dimulai setelah reformasi 1998, yang membuka jalan bagi demokratisasi. Sebelumnya, pilkada dilakukan oleh DPRD atau diangkat oleh pemerintah pusat.

“Meski begitu, implementasinya ternyata tidak sesuai dengan apa yang diharapkan publik. Pilkada tidak langsung diwarnai politik transaksional di DPRD,” kata dia.

Istilah ‘beli kucing dalam karung’ sering digunakan untuk menggambarkan proses pemilihan di DPRD yang tidak jelas, tidak terukur, tidak transparan, dan tidak merepresentasikan pilihan masyarakat.

“Sehingga masyarakat menginginkan terlibat secara langsung dalam menentukan pemimpin,” lanjut Darmawan.

Momen penting ini terjadi dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, yang menetapkan bahwa kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat.

“Pilkada langsung pertama kali dilaksanakan pada tahun 2005, memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk memilih pemimpin daerah secara langsung dan meningkatkan partisipasi dalam proses demokrasi lokal,” kata dia.

Pilkada langsung di Indonesia menghadapi tantangan.

Darmawan menuturkan pada awal pelaksanaan pilkada langsung, suasana kontestasi politik sangat kompetitif.

Namun, seiring berjalannya waktu, mulai terlihat adanya masalah dalam praktik demokrasi ini, yang mengarah pada pembusukan politik di berbagai elemen yang terlibat dalam pemilihan.

“Situasi ini mencerminkan tantangan yang dihadapi oleh partai politik, penyelenggara pemilu, dan masyarakat dalam menyesuaikan diri dengan sistem pemilihan langsung,” ujar Darmawan.

Ia memandang tingkat partisipasi pemilih yang rendah dalam Pilkada Serentak 27 November 2024 lalu bisa dilihat sebagai bentuk kritik dari masyarakat terhadap sistem pemilihan langsung.

Baca Juga: Legitimasi Calon Terpilih di Tengah Partisipasi Pemilih yang Minim

“Banyak yang merasa bahwa pilkada tidak lebih penting dibandingkan dengan pekerjaan sehari-hari, dan mereka meragukan kemampuan pilkada untuk membawa perubahan yang berarti,” kata dia.

TPS Rawan di Bandarlampung, dari Penggunaan Hak Pilih hingga Lokasi
Simulasi Pemungutan dan Penghitungan Suara (Tungsura) di TPS Lokasi Khusus Lapas Kelas I Bandarlampung pada Senin (18/11/2024. Foto: Josua Napitupulu

Selain itu, lanjut Darmawan, calon yang ada seringkali dianggap tidak memenuhi harapan publik, dengan praktik politik yang terkesan liberal dan transaksional.

“Semua ini berujung pada sikap pragmatis yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan norma keagamaan,” ujar dia.

Darmawan menyampaikan kualitas praktik pemilihan langsung sangat dipengaruhi oleh dua faktor utama, yaitu tingkat pendidikan masyarakat dan kondisi ekonomi yang mereka hadapi.

“Tingkat pendidikan yang dimaksud tidak hanya mencakup pendidikan formal, tetapi juga meliputi pengetahuan, kesadaran, dan budaya politik masyarakat dalam membuat pilihan,” kata dia.

Kemudiaan, kondisi ekonomi yang baik sangat penting, karena ketika masyarakat memiliki kemampuan ekonomi yang memadai, mereka lebih mampu menghindari praktik-praktik politik transaksional, pragmatisme, dan jual beli suara.

Kedua aspek ini memainkan peran penting dalam menentukan seberapa baik masyarakat dapat berpartisipasi dan memahami proses demokrasi langsung.

“Tetapi kita masih memiliki banyak pekerjaan rumah untuk mencapainya. Hal ini terlihat dari masih maraknya praktik politik uang, yang seringkali menjadi faktor penentu dalam pemilihan langsung,” ujar Darmawan.

Lampung Kian Matang Berdemokrasi
Salah satu warga Kota Bandarlampung menggunakan hak pilihnya di TPS 01 Kelurahan Rawa Laut, Kecamatan Enggal, Rabu (27/11/2024). Foto: Josua Napitupulu

Kekuatan partai politik harus seimbang dengan aspirasi masyarakat.

Dalam praktik demokrasi di Indonesia dengan sistem multipartai, kekuatan partai politik harus seimbang dengan aspirasi masyarakat untuk mencapai pemerintahan yang efektif dan akuntabel.

Oleh karena itu, selain partai politik harus direformasi jika pilkada tidak langsung, prestasi elektoral partai politik dalam pemilu legislatif juga dapat menjadi salah satu pertimbangan penting.

Prestasi elektoral partai politik dalam pemilu legislatif perlu dihargai dengan memberikan kesempatan kepada partai pemenang untuk mencalonkan kadernya sebagai kepala daerah.

“Ini sudah diterapkan dengan menjadikan ketua DPRD berasal dari partai politik yang meraih kemenangan dalam pemilu,” kata Darmawan.

Hal itu diyakini dapat menciptakan stabilitas politik, dimana kepala daerah yang terpilih akan memperoleh legitimasi politik, dan kinerja partai politik akan lebih terukur dalam konteks pilkada tidak langsung.

Baca Juga: Krisis Legitimasi Calon Kepala Daerah Terpilih 2024

“Hasil pemilu legislatif ini juga menggambarkan distribusi peran partai politik di setiap daerah,” ujar Darmawan.

Sistem multipartai yang mencerminkan keragaman masyarakat Indonesia memberikan ruang bagi berbagai aspirasi masyarakat untuk terwakili dalam proses politik di parlemen.

“Dalam pilkada tidak langsung, diharapkan semua partai politik mendapatkan ruang yang proporsional berdasarkan kinerja elektoralnya di masing-masing wilayah, misalnya PKB di Jawa Timur, PDIP di Jawa Tengah, serta PKS, Gerindra, dan Golkar di Jawa Barat,” kata Darmawan.

Suara Demokrasi dari Balik Jeruji Besi Polresta Bandarlampung
Seorang tahanan Polresta Bandarlampung mencelupkan jari ke tinta usai menggunakan hak pilihnya di Pilkada Serentak 2024, Rabu (27/11/2024). Foto: Josua Napitupulu
Pilkada tidak langsung dalam NKRI.

Pilkada tidak langsung dalam NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) dapat menguatkan hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah sehingga menciptakan stabilitas politik dan mengurangi biaya politik yang tinggi.

Dalam konteks Indonesia sebagai negara kesatuan, jelas Darmawan, pemerintah daerah secara struktural berfungsi sebagai bagian dari pemerintah pusat.

“Tapi mengapa kepala daerah perlu menang dalam pilkada langsung, jika pada kenyataannya kebijakannya sering kali terbatas?” Kata dia.

Hal ini terlihat dari visi dan misi kepala daerah yang harus diselaraskan dengan visi dan misi pemerintah pusat.

Selanjutnya, ada proses pengawasan dari pemerintah pusat terhadap APBD yang telah disahkan oleh pemerintah daerah.

Hal yang sama juga berlaku untuk peraturan daerah. Proses koreksi terhadap peraturan daerah dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri, yang merupakan perwakilan dari presiden.

Darmawan menegaskan meskipun pemerintah daerah diberikan hak untuk mengelola urusan mereka sendiri, otoritas dan pengakuan terhadap kekuasaan mereka masih sangat dipengaruhi oleh pemerintah pusat.

“Legitimasi politik itu tetap berada pada pemerintah pusat. Apakah pemerintah daerah yang merupakan struktur dari pemerintah pusat perlu mendapatkan legitimasi politik yang kuat melalui proses pilkada langsung, meskipun memerlukan biaya yang cukup besar?” Ujar dia.

Menurut Darmawan, masyarakat perlu mempertimbangkan usulan Presiden RI Prabowo Subianto agar pilkada dilakukan oleh DPRD dengan alasan biaya mahal jika memakai sistem pemilihan langsung.

“Masyarakat perlu mempertimbangkan pilkada tidak langsung tetapi disertai reformasi partai politik, dan adaptasi prestasi elektoral atau kinerja partai politik dalam pemilu. Karena Indonesia menganut sistem multipartai, ada sebaran basis kekuatan politik yang harus dipertimbangkan juga,” pungkas dia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *