Guru Besar Ilmu Politik FISIP Universitas Lampung Prof. Dr. Ari Darmastuti, M.A. membacakan pernyataan sikap civitas akademika dan kelompok masyarakat sipil Lampung di Student Lounge Fakultas Hukum Universitas Lampung, Rabu (7/2/2024). Foto: Josua Napitupulu
DASWATI.ID – Sebanyak 41 akademisi dan puluhan mahasiswa dari perguruan tinggi negeri dan swasta serta kelompok masyarakat sipil menyampaikan seruan moral dari Lampung Tanoh Lado kepada penyelenggara negara.
“Seruan moral ini kami tujukan kepada penyelenggara negara dan kepada siapapun karena pada prinsipnya konstitusi yang sekarang sudah diingkari,” ujar Dr. HS. Tisnanta, S.H., M.H dari Fakultas Hukum Universitas Lampung (FH Unila) di Student Lounge FH Unila, Rabu (7/2/2024).
Ia mengatakan seruan moral dari Lampung Tanoh Lado ini untuk mengawal konstitusi, menyuarakan keadilan, dan menyuarakan nilai-nilai demokrasi substansial.
“Kita akan menghadapi sebuah hajatan yang besar, dan hajatan besar ini membutuhkan landasan etik, landasan moral, dan tidak cukup hanya landasan hukum saja,” kata dia.
Prof. Dr. Ari Darmastuti, M.A. menambahkan seruan akademisi Lampung untuk keadilan dan demokrasi akan meneguhkan kembali bangunan dan pondasi demokrasi berdasarkan empat pilar nilai demokrasi yaitu kebebasan, kesetaraan, keadilan, tertib hukum.
Guru Besar Ilmu Politik pertama di FISIP Unila ini menilai keempat pilar nilai demokrasi itu mengalami erosi pasca Reformasi bergulir di tahun 1998 lalu.
“Keempat pilar ini kami lihat sedang mengalami erosi. Ada upaya-upaya untuk menarik kembali ke masa otoritarianisme. Sehingga kami terpanggil untuk menyuarakan keprihatinan kami terhadap proses bangunan demokrasi di Indonesia yang semestinya mengalami penguatan, pendalaman, dan pen-substansi-an,” ujar dia.
Seruan moral akademisi dan kelompok masyarakat sipil Lampung.
Selanjutnya, Prof. Ari mewakili civitas akademika yang hadir membacakan naskah keprihatinan akademisi Lampung sebagai berikut:
Situasi dan kondisi terakhir telah menunjukkan gejala pudarnya keteladanan dan perilaku politik yang tak memenuhi kaidah etika, sikap demokratis dan rasa keadilan.
Oleh karena itu, kami menyampaikan hal-hal berikut:
Keprihatinan atas pelanggaran etika yang dilakukan oleh penyelenggara negara. Sebuah sikap yang tidak berdiri di atas kepentingan masyarakat dan bangsa;
Pelanggaran etika tidak hanya mencoreng citra penyelenggaraan negara yang bersih dan berwibawa, tetapi juga merugikan dan bahkan meruntuhkan hak fundamental warga negara untuk berpartisipasi aktif dalam pemilihan umum yang langsung, umum, bebas, rahasia (luber) serta jujur dan adil (jurdil);
Pernyataan, sikap dan tindakan yang merusak prinsip demokrasi dan mengancam pondasi penyelenggaraan negara akan menimbulkan ketidakpercayaan mendalam dan kehilangan legitimasi dalam penyelenggaraan dan hasil pemilihan umum yang demokratis dan berkeadilan.
Civitas akademika dari berbagai perguruan tinggi dan kelompok masyarakat sipil di Provinsi Lampung menyampaikan keprihatinan atas situasi keadilan dan demokrasi Indonesia saat ini di Student Lounge Fakultas Hukum Universitas Lampung, Rabu (7/2/2024). Foto: Josua Napitupulu
Sebagai akademisi perguruan tinggi, secara nurani kami terpanggil untuk menyuarakan dan menyerukan:
Kebebasan berpendapat wajib dihargai dan dijunjung tinggi sebagai amanat konstitusi, sekaligus menghormati dan menghargai keragaman pilihan politik;
Perbedaan pilihan dan preferensi dalam pemilihan umum, adalah sesuatu yang wajar dengan tidak memberi tempat/ruang dan menolak kepada siapa saja yang melakukan kampanye hitam, menyebarluaskan pesan yang tidak benar (hoaks) dan ujaran kebencian;
Mengoreksi pejabat dan penyelenggara negara dan memastikan tidak terjadi lagi sikap dan perilaku yang nyata-nyata sebagai pelanggaran etika, tidak demokratis, dan tidak memenuhi rasa keadilan. Dengan demikian, dapat mengembalikan dan memulihkan kepercayaan masyarakat pada proses demokrasi yang adil, jujur, dan bermartabat;
Mengingatkan kepada presiden, menteri, gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, walikota dan wakil walikota, penyelenggara negara lainnya, aparatur sipil negara (ASN), dan kepala desa menjaga sikap benar-benar netral dalam pemilihan umum untuk mewujudkan keadilan dan demokrasi di Indonesia.
Sinyal rusaknya keadilan dan demokrasi.
Usai membacakan naskah keprihatinan, Prof Ari menyampaikan seruan moral dari Lampung Tanoh Lado ini merupakan yang kali pertama di era Reformasi.
“Kami termasuk saksi hidup mengawal Reformasi dari pertama. Selama 25 tahun Reformasi kami tidak pernah melakukan seperti ini karena tidak ada masalah yang mendasar,” kata dia.
Menurut Prof Ari, persaingan dalam setiap kontestasi politik adalah hal yang wajar tanpa merusak aturan.
Dia memandang Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90/PUU-XXI/2023 telah merusak sendi-sendi bernegara.
“Kami tidak melihat selama ini ada upaya-upaya untuk merusak sendi-sendi bernegara. Yang kami lihat, tentu sangat mendasar adalah putusan MK Nomor 90. Pengambilan keputusan melalui proses yang sangat tidak wajar. Prinsip tidak punya konflik kepentingan dilanggar,” jelas Prof Ari.
Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 dinilai tidak beretika dan menjadi sinyal pertama rusaknya demokrasi.
“Konflik kepentingan tidak boleh memengaruhi sebuah peraturan,” kata dia.
Sinyal berikutnya adalah pelanggaran aturan turunan tentang penerimaan pencalonan bakal pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Diketahui, KPU tidak mengubah Peraturan KPU Nomor 19 Tahun 2023 tentang Pencalonan Peserta Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden pasca pembacaan putusan MK Nomor 90 pada 16 Oktober 2023.
“Pelanggaran etika yang kedua adalah tentang pencalonan tanpa merubah undang-undang yang merupakan konsekuensi dari keputusan MK, juga Peraturan KPU yang seharusnya diubah sebelum pasangan calon diterima,” ujar Prof Ari.