Tak Hanya Pelanggaran TSM yang Berpotensi Membatalkan Pencalonan

oleh
Dugaan Jual Beli Suara oleh Oknum Bawaslu OKU Tindak Pidana Pemilu
Ketua Program Studi Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Baturaja (UNBARA) Yahnu Wiguno Sanyoto. Foto: Istimewa

DASWATI.ID – Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang selanjutnya disebut Pemilihan adalah suatu proses dimana para pemilih memilih orang-orang untuk mengisi jabatan-jabatan kepala daerah.

Secara yuridis, Pemilihan diartikan sebagai pelaksanaan kedaulatan rakyat di Provinsi maupun Kabupaten/Kota untuk memilih Gubernur, Bupati, dan Wali Kota secara langsung dan demokratis.

Pada konteks yang lebih luas, Pemilihan dapat juga berarti proses mengisi jabatan-jabatan. Jabatan-jabatan yang dimaksud disini beraneka-ragam, mulai dari, wakil rakyat di pelbagai tingkat pemerintahan, sampai kepala desa.

Pemilihan sebagai agenda besar 5 (lima) tahunan merupakan sarana untuk memanifestasikan keinginan warga negara untuk mendapatkan pemimpin yang terbaik dan mau berjuang demi kemajuan daerah, bangsa, dan negara.

Hal ini tentunya akan sangat dipengaruhi oleh persepsi pemilih. Persepsi masyarakat (baca: pemilih) pada dasarnya terbagi menjadi dua yaitu: persepsi terhadap objek (lingkungan fisik) dan persepsi terhadap manusia (persepsi sosial).

Persepsi terhadap objek dapat dilakukan melalui simbolisme atau lambang-lambang fisik sedangkan persepsi terhadap manusia/individu dilakukan melalui simbolisme atau lambang-lambang verbal dan non-verbal.

Objek tidak bereaksi sedangkan manusia/individu bereaksi. Oleh karena itu, persepsi terhadap individu (dalam hal ini adalah Pasangan Calon Kepala Daerah) dapat berubah sewaktu-waktu, lebih cepat daripada persepsi terhadap objek fisik.

Artinya, jika mayoritas publik mempersepsikan negatif terhadap pasangan Calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah tertentu maka kecenderungan pemilih akan mencari figur alternatif yang dapat lebih baik.

Berkaca pada kerawanan Pemilihan Umum (Pemilu) ke Pemilu maupun dari Pemilihan ke Pemilihan, salah satu hal yang berpotensi terjadi dalam upaya meyakinkan pemilih atas pilihannya adalah politik uang.

Politik uang sebagai salah satu larangan yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Wali Kota (selanjutnya disebut UU Pilkada) Pasal 73 Ayat (1) adalah kegiatan Calon dan/atau Tim Kampanye menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi penyelenggara Pemilihan dan/atau Pemilih.

Selanjutnya, apabila terbukti calon melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tersebut, berdasarkan putusan Bawaslu Provinsi dapat dikenai sanksi administrasi pembatalan sebagai pasangan calon oleh KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota.

Inilah yang kemudian dikenal dengan istilah pelanggaran administrasi Pemilihan yang terjadi secara terstruktur, sistematis, dan masif (TSM).

Apa Itu Pelanggaran Administrasi Pemilihan TSM?

Pelanggaran Administrasi Pemilihan TSM muncul pengaturannya pada UU Pilkada Pasal 135A yang berbunyi:

“Pelanggaran administrasi Pemilihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (2) merupakan pelanggaran yang terjadi secara terstruktur, sistematis, dan masif. Pada penjelasan peraturan dimaksud, terstruktur adalah kecurangan yang dilakukan oleh aparat struktural, baik aparat pemerintah maupun penyelenggara Pemilihan secara kolektif atau secara bersama-sama.”

Sistematis adalah pelanggaran yang direncanakan sangat matang, tersusun, bahkan sangat rapi. Sedangkan masif adalah dampak pelanggaran yang sangat luas pengaruhnya terhadap hasil pemilihan bukan hanya sebagian-sebagian.

Penanganan Pelanggaran Administrasi Pemilihan TSM menjadi kewenangan Bawaslu Provinsi untuk menerima, memeriksa, dan memutusnya. Dan itu dilakukan dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja.

Laporan disampaikan sejak penetapan peserta Pemilihan sampai dengan hari pemungutan suara. Pemeriksaannya pun dilakukan secara terbuka dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Mengenai ketentuan lebih lanjut terkait Penanganan Pelanggaran Administrasi Pemilihan TSM diatur didalam Peraturan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Perbawaslu) Nomor 9 Tahun 2020 tentang Tata Cara Penanganan Pelanggaran Administrasi Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota yang Terjadi Secara Terstruktur, Sistematis, dan Masif.

Pemeriksaan yang dilakukan melalui tahapan pembacaan materi laporan oleh pelapor, pembacaan jawaban oleh terlapor, pembuktian, dan penyampaian kesimpulan pihak pelapor dan terlapor.

KPU Kabupaten/Kota wajib menindaklanjuti Putusan Bawaslu Provinsi dengan menerbitkan Keputusan KPU Kabupaten/Kota dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak diterbitkannya Putusan Bawaslu Provinsi.

Keputusan KPU sebagai tindak lanjut Putusan Bawaslu Provinsi dapat berupa sanksi administrasi pembatalan pasangan calon.

Pasangan calon yang dikenai sanksi administrasi pembatalan dapat mengajukan upaya hukum ke Mahkamah Agung (MA) dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak Keputusan KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota ditetapkan.

Dan MA memprosesnya dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak berkas perkara diterima oleh MA.

Apabila MA membatalkan Keputusan KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota, maka KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota wajib menetapkan kembali sebagai pasangan calon. Sifat putusan MA ini adalah final dan mengikat.

Pelanggaran Administrasi Berpotensi Membatalkan Pencalonan

Selain pelanggaran administrasi Pemilihan TSM, setidaknya ada 3 (tiga) hal yang juga dapat membatalkan pencalonan Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah.

Pertama, menyangkut persoalan penggantian pejabat sebagaimana diatur di dalam UU Pilkada Pasal 71 Ayat (2) yang menyatakan bahwa:

“Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Walikota atau Wakil Walikota dilarang melakukan penggantian pejabat 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan akhir masa jabatan kecuali mendapatkan persetujuan tertulis dari Menteri.”

Kedua, menyangkut persoalan penyalahgunaan wewenang, program, dan kegiatan sebagaimana diatur di dalam UU Pilkada Pasal 71 Ayat (3) yang menyatakan bahwa:

“Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Wali Kota atau Wakil Wali Kota dilarang menggunakan kewenangan, program, dan kegiatan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon baik di daerah sendiri maupun di daerah lain dalam waktu 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan penetapan pasangan calon terpilih.”

Sanksi atas kedua pelanggaran tersebut diatur dalam Pasal 71 Ayat (5) yang menyatakan bahwa:

“Dalam hal Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Wali Kota atau Wakil Wali Kota selaku petahana melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan (3), petahana tersebut dikenai sanksi pembatalan sebagai calon oleh KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota.”

Ketiga, menyangkut persoalan pelaporan dana kampanye. Hal ini diatur di dalam UU Pilkada Pasal 76 Ayat (1) yang menyatakan bahwa:

“Partai Politik dan/atau gabungan Partai Politik yang mengusulkan pasangan calon dan pasangan calon perseorangan dilarang menerima sumbangan atau bantuan lain untuk Kampanye yang berasal dari: (a) negara asing, lembaga asing, lembaga swadaya masyarakat asing, dan warga negara asing; (b) penyumbang dan pemberi bantuan yang tidak jelas identitasnya; (c) Pemerintah dan Pemerintah Daerah; dan (d) badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, badan usaha milik desa atau sebutan lain. 

Sanksi atas pelanggaran tersebut diatur di dalam Pasal 76 Ayat (3) yang menyatakan bahwa:

“Partai Politik dan/atau gabungan Partai Politik yang mengusulkan pasangan calon, yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi berupa pembatalan pasangan calon yang diusulkan.” 

Hal yang sama juga dilakukan kepada pasangan calon perseorangan yang apabila melakukan hal yang dilarang pada ayat (1) akan dikenai sanksi berupa pembatalan sebagai pasangan calon.

Adapun pembatalan sebagaimana dimaksud dilakukan oleh KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota.

Pada konteks pelanggaran administrasi Pemilihan karena sifatnya yang rekomendatif dan sanksi terhadap pelanggaran administrasi diberikan oleh KPU Provinsi dan/atau KPU Kabupaten/Kota maka setelah dijatuhkannya sanksi, tidak ada upaya hukum lain yang diatur di dalam UU Pilkada, yang dapat mengubah sanksi yang diberikan oleh KPU Provinsi dan/atau KPU Kabupaten/Kota atas dilaksanakannya rekomendasi Bawaslu Provinsi dan/atau Bawaslu Kabupaten/Kota.

PENUTUP

Jalur konstitusional sudah disiapkan oleh pembentuk undang-undang untuk menjadi saluran ajudikasi dalam rangka memperjuangkan hak-hak (asasi) bagi warga negara Indonesia, termasuk dalam ruang lingkup kontestasi Pemilihan Kepala Daerah yang merupakan sarana untuk menyalurkan keinginan warga negara dalam rangka mendapatkan pemimpin yang terbaik dan mau berjuang demi kemajuan daerah, bangsa dan negara.

Dimanfaatkan ataupun tidak dimanfaatkan saluran tersebut merupakan hak dari para pihak yang berkontestasi. Wallahu’alam bisawab. (*)

*Penulis: Yahnu Wiguno Sanyoto (Ketua Program Studi Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Baturaja)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *