DASWATI.ID – Guru Besar Bidang Ilmu Kepemimpinan Daerah Universitas Lampung Prof. Dr. Feni Rosalia, M.Si mengatakan transformasi kepemimpinan adalah kunci untuk mencapai pembangunan berkelanjutan di daerah.
“Pemimpin yang visioner dan inklusif berperan penting dalam mengarahkan kebijakan serta mendorong inovasi yang seimbang secara ekonomi, sosial, dan lingkungan,” ujar Prof Feni dalam orasi ilmiahnya di Gedung Serbaguna Universitas Lampung, Bandarlampung, Kamis (19/12/2024) siang.
Prof Feni baru saja dikukuhkan sebagai Guru Besar bersama tujuh Guru Besar lainnya yakni Prof. Dr. Ayi Ahadiat; Prof. Dr. Ir. Ahmad Zaenudin; Prof. Dr. Bambang Utoyo; Prof. Muhammad Karami; Prof. Dr. Ir. Samsul Rizal; Prof. Dr. Indra Gumay Febryano; dan Prof. Ir. Maria Viva Rini.
Feni menyampaikan transformasi kepemimpinan dapat mendorong pembangunan berkelanjutan di daerah.
Menurut dia, meskipun ada tantangan, dengan strategi yang tepat dan kolaborasi antarpemangku kepentingan, pembangunan berkelanjutan dapat tercapai dengan meningkatkan kualitas hidup masyarakat dan melestarikan lingkungan untuk generasi mendatang.
“Pendekatan kepemimpinan transformatif memungkinkan daerah untuk lebih responsif terhadap isu seperti perubahan iklim dan ketimpangan sosial, serta memastikan kesejahteraan jangka panjang,” kata Feni.
Sehingga upaya kolektif dan partisipasi masyarakat menjadi pondasi penting untuk menciptakan daerah yang maju, inklusif, dan berkelanjutan.
“Kepala daerah memegang peran penting dalam pelaksanaan pemerintahan lokal dan penerjemahan kebijakan nasional ke dalam konteks lokal,” ujar dia.
Kualitas kepemimpinan kepala daerah sangat mempengaruhi keberhasilan pembangunan daerah.
Namun, tantangan utama yang dihadapi adalah adanya patologi kepemimpinan, yaitu penyimpangan dalam praktik kepemimpinan yang mengabaikan norma dan etika publik.
“Ketika pemimpin lebih mementingkan keuntungan pribadi atau kelompok daripada pelayanan publik, tujuan kepemimpinan menjadi terdistorsi,” kata Feni.
Patologi kepemimpinan ini seringkali terkait dengan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), yang merusak tata kelola pemerintahan dan berdampak negatif pada kualitas pelayanan publik serta kepercayaan masyarakat.
“Penyalahgunaan wewenang ini menjadi masalah serius yang mempengaruhi stabilitas ekonomi, sosial, dan politik di tingkat pemerintah daerah,” jelas dia.

Patologi Kepemimpinan: Korupsi, Kolusi, Nepotisme (KKN).
KORUPSI di Indonesia sering muncul dalam bentuk pengadaan barang dan jasa yang tidak sesuai prosedur, penggelembungan anggaran, dan gratifikasi, terutama yang melibatkan kepala daerah.
“Penyebab korupsi tidak hanya karena celah regulasi atau pengawasan, tetapi juga disebabkan oleh kegagalan moral dan etika individu yang berkuasa,” kata Feni.
Penyimpangan ini turut dipicu faktor-faktor seperti kepemimpinan yang tidak visioner, rendahnya integritas, dan manajemen oportunistik.
“Dampak dari praktik korupsi sangat luas, mulai dari kerugian finansial hingga penurunan kepercayaan publik terhadap pemerintah,” ujar Feni.
Untuk mengatasi masalah ini, lanjut dia, diperlukan langkah-langkah transformatif dalam membangun kepemimpinan yang berintegritas, termasuk penguatan sistem pengawasan, reformasi birokrasi, dan penegakan hukum yang tegas.
“Upaya ini harus diimbangi dengan pembentukan budaya kepemimpinan yang etis dan bertanggung jawab untuk meminimalkan korupsi dan menciptakan pemerintahan yang lebih bersih serta responsif terhadap kebutuhan masyarakat,” jelas dia.
Sementara KOLUSI merupakan bentuk patologi kepemimpinan yang umum terjadi di Indonesia, dimana proyek-proyek pemerintahan diatur untuk menguntungkan pihak tertentu tanpa memperhatikan prinsip persaingan yang sehat.
“Praktik ini sering muncul dalam pengadaan barang dan jasa, dimana pejabat daerah berkolusi dengan pengusaha tertentu untuk memenangkan proyek dengan imbalan tertentu,” kata Feni.
Akibatnya, kualitas proyek menurun dan potensi kerugian bagi daerah meningkat. Hal ini mencerminkan kegagalan kepemimpinan dalam pengelolaan sumber daya publik secara akuntabel.
Kolusi dipicu oleh rendahnya mekanisme pengawasan, ketergantungan pada hubungan informal antara pejabat dan pengusaha, serta budaya yang permisif terhadap korupsi.
“Pejabat publik yang kurang berkomitmen terhadap integritas sering memanfaatkan kekuasaan untuk membangun aliansi pribadi,” ujar Feni.
Proyek yang dikerjakan melalui kolusi cenderung tidak memenuhi standar kualitas, menyebabkan infrastruktur rentan terhadap kerusakan dini dan meningkatkan biaya perawatan.
“Pengusaha yang terlibat juga aktif menawarkan keuntungan finansial atau politik sebagai imbalan atas proyek yang dimenangkan,” kata dia.
Kemudian, patologi kepemimpinan NEPOTISME adalah praktik dimana pejabat publik memilih anggota keluarga atau kerabat untuk posisi tertentu tanpa mempertimbangkan kemampuan dan kualifikasi yang memadai.
“Praktik ini mencerminkan kegagalan pemimpin dalam menjaga integritas dan mengutamakan kepentingan umum, serta menunjukkan penyalahgunaan kekuasaan yang merugikan efektivitas pengelolaan pemerintahan,” ujar Feni.
Nepotisme mengakibatkan kapasitas birokrasi melemah dan profesionalisme dalam lembaga pemerintah terhambat.
“Praktik nepotisme kepala daerah menciptakan ketidakadilan di masyarakat, karena kesempatan dan sumber daya dikuasai oleh segelintir orang yang memiliki hubungan kekerabatan,” kata dia.
Oleh karena itu, lanjut Feni, untuk mengatasi nepotisme diperlukan reformasi mendalam terhadap transparansi, akuntabilitas, dan pendidikan etika bagi para pemimpin.
“Selain itu, penguatan lembaga pengawasan dan penegakan hukum yang independen sangat penting untuk mencegah praktik nepotisme dan meningkatkan kualitas pelayanan publik serta kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah,” ujar dia.

Korupsi dan Pembangunan Berkelanjutan.
Feni menyatakan korupsi merupakan hambatan serius bagi pencapaian dua tujuan utama Sustainable Development Goals (SDGs), yaitu pengentasan kemiskinan ekstrem pada tahun 2030 dan peningkatan kesejahteraan bagi 40% masyarakat termiskin.
“SDGs memprioritaskan pemberantasan korupsi karena dampaknya yang merugikan ekonomi dan pembangunan, yang tidak hanya terjadi di negara maju tetapi juga di negara berkembang,” kata dia.
Praktik korupsi yang meluas di negara berkembang membuat tindakan tersebut sering dianggap sah.
Padahal korupsi berdampak negatif pada kondisi ekonomi, menghambat investasi, menurunkan kesejahteraan, serta merusak lingkungan. Hal ini merugikan struktur ekonomi, politik, dan sosial masyarakat.
“Hubungan antara korupsi dan pembangunan berkelanjutan sangat kompleks, dampak korupsi terlihat dari penyalahgunaan dana publik dan kerugian bagi sektor bisnis,” ujar Feni.
Namun, pembangunan berkelanjutan dapat menciptakan kondisi yang mendukung pengurangan korupsi melalui partisipasi masyarakat, transparansi, dan integritas.
Pun demikian, terdapat beberapa hambatan dalam mewujudkan pembangunan daerah berkelanjutan. Di antaranya keterbatasan sumber daya dan ketergantungan pada model pembangunan yang eksploitasi sumber daya alam, serta dinamika sosial dan politik yang tidak stabil.
Untuk mengatasi masalah ini, ungkap Feni, diperlukan transformasi kepemimpinan yang tidak hanya melibatkan pergantian pemimpin, tetapi juga perubahan gaya dan pola pikir pemimpin daerah.
“Kepemimpinan transformasional diharapkan dapat mendukung pelaksanaan pembangunan berkelanjutan dengan cara yang lebih efektif,” kata dia.

Gaya Kepemimpinan Transformasional.
Kepemimpinan merupakan elemen kunci dalam keberhasilan organisasi, baik di sektor publik maupun swasta.
Salah satu gaya kepemimpinan yang relevan dengan tantangan modern adalah kepemimpinan transformasional, yang berfokus pada perubahan positif dan motivasi anggota tim untuk mencapai tujuan bersama.
“Kepemimpinan transformasional menjadi elemen kunci dalam mendorong pembangunan berkelanjutan di daerah,” tegas Feni.
Ia mengatakan kepemimpinan transformasional akan menciptakan masyarakat yang tangguh, inklusif, dan siap menghadapi tantangan global.
Karakteristik utama dari pemimpin ini adalah kemampuannya untuk melampaui kepentingan pribadi demi mencapai tujuan bersama, dengan mendorong inovasi melalui teknologi ramah lingkungan dan kebijakan inklusif.
“Kepala daerah diharapkan dapat mengadopsi gaya kepemimpinan ini dengan fokus pada visi jangka panjang, pemberdayaan tim, inovasi, dan integritas tinggi,” ujar Feni.
Dengan pendekatan yang adaptif dan empati, pemimpin dapat menjembatani kepentingan yang berbeda serta membangun kepercayaan di antara semua pihak.
Pasca pemilihan presiden, tutur Feni, kepala daerah memiliki peran strategis dalam menjaga stabilitas dan melaksanakan agenda pembangunan nasional di tingkat lokal.
“Oleh karena itu, mereka perlu mengadopsi gaya kepemimpinan yang adaptif dan transformasional untuk menciptakan perubahan positif dan memberdayakan masyarakat secara berkelanjutan,” jelas Feni.
Beberapa aspek yang perlu diadaptasi oleh kepala daerah yaitu fokus pada pemberantasan korupsi; pembangunan inklusif dan infrastruktur; inovasi dan teknologi; serta meningkatkan stabilitas sosial dan politik lokal.
“Kepala daerah juga harus memiliki prinsip-prinsip kepemimpinan untuk pembangunan berkelanjutan,” sambung Feni.
Prinsip kepemimpinan untuk pembangunan berkelanjutan ini meliputi Keterlibatan Stakeholder; Inovasi dan Pendidikan; Transparansi dan Akuntabilitas.
“Hal ini menciptakan lingkungan yang kondusif untuk kolaborasi, inovasi, dan partisipasi aktif, yang pada akhirnya memperkuat implementasi pembangunan berkelanjutan di berbagai wilayah,” kata dia.

Kepemimpinan Transformasional untuk Pembangunan Berkelanjutan.
Feni mengatakan kepemimpinan transformasional dalam konteks pembangunan berkelanjutan harus fokus pada kesejahteraan sosial, keadilan ekonomi, dan lingkungan.
“Tujuannya adalah memastikan distribusi manfaat pembangunan yang adil kepada seluruh lapisan masyarakat, terutama kelompok rentan dan marginal,” ujar dia.
Salah satu prinsip utama dalam pembangunan berkelanjutan yakni Keadilan Lingkungan, Keadilan Ekonomi, dan Keadilan Sosial, bertujuan menciptakan keseimbangan antara kebutuhan manusia, perlindungan lingkungan, dan pertumbuhan ekonomi.
“Ketiga dimensi ini saling terkait dan harus diwujudkan secara bersamaan agar pembangunan tidak hanya berorientasi pada pertumbuhan, tetapi juga pada kesejahteraan manusia secara holistik,” kata Feni.
Dengan demikian, transformasi kepemimpinan dalam pembangunan daerah berkelanjutan adalah sebuah keniscayaan.
“Pembangunan berkelanjutan di daerah merupakan tanggung jawab utama pemimpin daerah dan merupakan suatu keniscayaan yang dapat dicapai melalui berbagai cara yang efektif,” ujar dia.
Untuk mewujudkannya, pemimpin daerah harus memiliki visi, misi, dan program yang mendukung keberlanjutan, serta melakukan transformasi kepemimpinan yang melibatkan semua stakeholder.
Pemimpin perlu menciptakan visi bersama yang seimbang antara dimensi sosial, ekonomi, dan lingkungan, serta memberdayakan masyarakat dengan memberikan kesempatan untuk terlibat dalam pengambilan keputusan.
“Kepemimpinan seorang kepala daerah menentukan arah pembangunan suatu daerah. Pemimpinlah yang memegang kendali melalui teladan yang diberikan,” kata Feni.
Kepribadian kepala daerah tidak hanya tercermin dalam kata-kata, tetapi juga dalam tindakan sehari-hari yang konsisten dan dapat diandalkan dalam menerapkan nilai-nilai baik yang diyakininya.
“Pada hakikatnya program pembangunan akan berhasil jika masyarakat termotivasi karena kesadaran dan bukan karena adanya paksaan,” ujar dia.
Feni menyampaikan beberapa daerah di dunia telah berhasil menerapkan konsep kepemimpinan transformasional dalam pembangunan berkelanjutan. Misalnya, Curitiba di Brasil dan Vancouver di Kanada.
“Kota Curitiba dikenal karena pendekatannya yang inovatif terhadap perencanaan kota, transportasi, dan pelestarian lingkungan,” kata dia.
Salah satu pencapaian utamanya adalah sistem transportasi Bus Rapid Transit (BRT) yang efisien, murah, dan ramah lingkungan, yang menjadi model bagi banyak kota lain di dunia.
Selain itu, Curitiba memiliki program daur ulang yang sukses dan taman kota yang dirancang untuk mengatasi banjir sekaligus menyediakan ruang hijau bagi warganya.
Sementara Vancouver di Kanada, merupakan salah satu kota terdepan dalam pembangunan berkelanjutan di dunia.
“Kota ini memiliki visi ambisius untuk menjadi kota paling ramah lingkungan di dunia melalui inisiatif Greenest City Action Plan (GCAP),” ujar Feni.
Keberhasilan Vancouver dalam menjaga kualitas udara, melestarikan keanekaragaman hayati, dan mengintegrasikan aspek lingkungan dalam perencanaan kotanya telah menjadikannya model inspiratif bagi kota-kota lain di dunia.
Baca Juga: Arizka Warganegara Pelopor Studi Geografi Politik di Indonesia