DASWATI.ID – Kelompok masyarakat sipil di Provinsi Lampung mendesak pemerintah dan aparat penegak hukum untuk menutup celah perdagangan BBL ilegal di Lampung.
Desakan ini muncul setelah Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) berhasil menggagalkan penyelundupan lebih dari 51.000 ekor benih bening lobster (BBL) di Kabupaten Pesisir Barat.
Baca Juga: Lampung ‘Jalur Kiri’ Ekspor Benih Bening Lobster ke Vietnam
Direktur Mitra Bentala Lampung, Rizani, mengatakan perdagangan ilegal BBL sangat menggiurkan karena perbedaan harga yang signifikan, bisa mencapai sepuluh kali lipat dibandingkan dengan jalur resmi.
“Artinya lobster memiliki nilai ekonomi yang sangat tinggi, dan potensi keberadaan lobster di Indonesia sangat menjanjikan,” kata dia di Bandarlampung, Senin (16/12/2024).
Mitra Bentala yang konsen pada isu pesisir dan pulau-pulau kecil mengharapkan adanya penguatan di tingkat komunitas atau lembaga nelayan.
Mereka percaya bahwa dengan mendaftarkan dan meregistrasi kelompok-kelompok nelayan, jalur perdagangan ilegal lobster dapat dipersempit.
“Kami melihat jalur perdagangan ilegal lobster ini bisa dipersempit ketika kelompok-kelompok nelayan itu terdaftar dan teregistrasi,” ujar Rizani.
Ia mengatakan pemerintah telah membuka keran ekspor lobster melalui Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 7 Tahun 2024 tentang Pengelolaan Lobster (Panulirus spp.), Kepiting (Scylla spp.), dan Rajungan (Portunus spp.)
“Menariknya, peraturan terkait komoditas ini sering mengalami perubahan, hampir tiga hingga empat kali. Dari pengamatan kami, perubahan yang terjadi paling signifikan adalah pada lobster, termasuk dalam hal kuota ekspornya,” jelas Rizani.
Namun, di balik daya tarik tersebut, terdapat dampak serius yang dapat merugikan masyarakat dan lingkungan.
“Menindak perdagangan ilegal BBL sangatlah penting, namun yang lebih utama adalah memastikan keberlanjutan pengelolaan sumber daya lobster serta meningkatkan kesejahteraan nelayan,” kata Rizani.
Hal ini perlu dilakukan melalui kolaborasi dengan masyarakat untuk mendukung peningkatan pendapatan asli daerah (PAD) di Provinsi Lampung.

Tutup keran ekspor BBL.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) secara tegas meminta pemerintah untuk menutup celah perdagangan BBL ilegal di Lampung dengan mencabut Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 7 Tahun 2024.
Mengenai ekspor BBL, Direktur Eksekutif Daerah Walhi Lampung Irfan Tri Musri menekankan bahwa dalam penangkapan BBL, baik yang legal maupun ilegal, akan mengurangi potensi volume tangkapan nelayan terhadap lobster dewasa untuk konsumsi di masa mendatang.
“Keberlanjutan populasi lobster di pantai barat Provinsi Lampung tidak dapat dipertahankan untuk kuota di masa depan, yang berakibat pada keanekaragaman hayati dan kehidupan para nelayan setempat,” kata Irfan di Bandarlampung.
Menurut dia, pembukaan keran ekspor lobster tidak sepenuhnya menyelesaikan berbagai persoalan dan potensi masalah yang mungkin muncul.
“Pembukaan keran ekspor lobster justru memunculkan persoalan lama yang terus berulang. Kemudian, peraturan ini belum memberikan sanksi yang cukup berat bagi mereka yang melanggar ekspor BBL,” ujar Irfan.
Saat ini, lanjut Irfan, pelaku ilegal ekspor BBL hanya dikenakan sanksi Administratif, yang mungkin tidak cukup untuk mencegah tindakan ilegal tersebut.
Oleh karena itu, Walhi Lampung mengapresiasi penegakan hukum yang dilakukan KKP dengan mengungkap kasus penyelundupan BBL di Pesisir Barat.
Namun, di sisi lain, Irfan mempertanyakan pengungkapan kasus BBL ilegal dilakukan oleh KKP, sementara Pemerintah Provinsi Lampung melalui Dinas Kelautan dan Perikanan, serta Polda Lampung, belum mengambil langkah serupa.
“Kami mengharapkan agar pemerintah dan aparat penegak hukum dalam penegakan hukum tidak hanya berhenti pada penangkapan kurir, tetapi juga mengidentifikasi aktor-aktor yang terlibat di balik praktik BBL ilegal,” pungkas Irfan.
Baca Juga: Wahrul Curiga Ada Pembiaran APH dalam Kasus Penyelundupan BBL di Lampung

Kebijakan ekspor lobster bermasalah.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandarlampung, Sumaindra Jarwadi, menyampaikan hal senada bahwa kebijakan pemerintah terhadap legalisasi ekspor BBL bermasalah.
“Tindakan penangkapan ikan secara ilegal dan ekspor BBL mencerminkan adanya masalah dalam pengelolaan perlindungan sumber daya alam, terutama lobster,” kata Indra.
LBH Bandarlampung mendorong KKP melalui DKP Provinsi Lampung dan aparat penegak hukum untuk meningkatkan pengawasan dalam proses ekspor BBL.
Di Kabupaten Pesisir Barat, tutur Indra, alat untuk menangkap lobster tersebar di sepanjang pantai, yang memungkinkan pengamatan terhadap praktik ekspor BBL ilegal.
“Pertanyaannya adalah, berapa banyak perusahaan dan kelompok nelayan yang terdaftar secara resmi di daerah tersebut?” Ujar dia.
Indra menilai akses legal untuk ekspor BBL bersifat diskriminatif karena hanya nelayan tertentu yang terdaftar yang diperbolehkan melakukan penangkapan.
“Namun, legalisasi ekspor lobster ini dapat menyebabkan eksploitasi sumber daya BBL,” tutup dia.