Usut Kasus Diksar Mahepel Unila Bersama APH dan LPSK

oleh
Usut Kasus Diksar Mahepel Unila Bersama APH dan LPSK
Kepala Divisi Advokasi LBH Bandar Lampung, Prabowo Pamungkas. Dokumentasi Pribadi

DASWATI.ID – Kepala Divisi Advokasi LBH Bandar Lampung, Prabowo Pamungkas, mendorong pelibatan aparat penegak hukum (APH) dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) untuk mengusut tuntas dugaan kekerasan yang terjadi dalam giat diksar organisasi Mahepel Unila (Universitas Lampung).

Menurut Bowo, tidak ada alasan pembenaran apapun atas tindakan kekerasan yang dilakukan oleh organisasi kampus dalam proses kaderisasi di lingkungan kampus.

“Oleh karena itu, aparat penegak hukum wajib untuk mengungkap secara tuntas dan menindak tegas dugaan kasus “Diksar Maut” yang mengakibatkan hilangnya nyawa seorang mahasiswa,” kata dia dalam keterangannya, Minggu (1/6/2025) malam. 

Peristiwa Diksar “maut” Mahepel Unila terjadi pada 10-14 November 2024 di kaki Gunung Betung, Desa Talang Mulya, Kabupaten Pesawaran.

Kegiatan Pendidikan Dasar (Diksar) ini diikuti enam mahasiswa baru Fakultas Ekonomi dan Bisnis Unila yang menjadi peserta, serta senior dan alumni organisasi.

Selama Diksar, peserta diduga mengalami kekerasan fisik berat. Salah satu peserta, Pratama Wijaya Kusuma, meninggal dunia pada 28 April 2025 setelah berbulan-bulan sakit dan menjalani perawatan usai mengikuti diksar.

“Peristiwa yang terjadi pada akhir tahun 2024 tersebut baru terungkap belakangan ini,” tutur Bowo.

Tragedi Diksar Mahepel Unila: Kekerasan dan Kematian Mahasiswa
Ratusan mahasiswa FEB Unila menggelar aksi unjuk rasa di depan Gedung Rektorat Unila pada Rabu (28/5/2025). Foto: Istimewa

Ia menduga hal itu disebabkan adanya keterlibatan sejumlah pihak di lingkungan kampus serta anggota organisasi mahasiswa yang melakukan intimidasi, sekaligus meminta korban untuk menyetujui agar tidak melakukan penuntutan terkait peristiwa tersebut.

Meskipun pihak Rektorat dan Dekanat FEB Unila telah membentuk tim investigasi untuk menangani kasus ini, namun diketahui tim tersebut bekerja secara tertutup guna menghindari tekanan dari pihak-pihak tertentu.

“Pengungkapan kasus semestinya dilakukan secara transparan dan akuntabel,” tegas dia. 

Bowo menyatakan pentingnya keterlibatan APH agar proses investigasi menghasilkan keputusan yang jelas, terang, serta mampu memberikan keadilan bagi korban.

Sebagai institusi pendidikan, Unila dinilai belum menunjukkan upaya pembelajaran yang memadai dari pengalaman-pengalaman sebelumnya, mengingat peristiwa serupa telah berulang kali terjadi dan bukan merupakan kejadian yang pertama.

“Selain itu, belum terlihat adanya evaluasi yang mendalam terhadap organisasi kemahasiswaan (ormawa) yang diduga masih melakukan praktik kekerasan dalam aktivitas kaderisasi,” tambah dia.

Dalam hal ini, lanjut Bowo, pelaku kekerasan di lingkungan pendidikan dapat dikenai sanksi pidana sesuai dengan ketentuan Pasal 170 ayat (1) dan ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Tragedi Diksar Mahepel Unila: Kekerasan dan Kematian Mahasiswa
Salah satu korban diksar Mahepel FEB Unila, Muhammad Arnando Al Faaris. Foto: Istimewa

Pasal 170 ayat (1) dan ayat (2) KUHP mengatur tindak pidana kekerasan yang dilakukan secara bersama-sama dengan ancaman pidana penjara maksimal antara 7 hingga 12 tahun.

“Ketentuan ini berlaku baik untuk tindakan kekerasan yang mengakibatkan luka ringan, luka berat, maupun hilangnya nyawa seseorang,” ujar Bowo.

Pihak civitas akademika yang diduga terlibat dalam upaya penutupan kasus ini, termasuk melakukan intimidasi, harus diberikan sanksi tegas oleh Unila.

Dia berharap pemberian sanksi yang tegas kepada seluruh pihak yang terlibat dapat memutus praktik impunitas yang selama ini terjadi.

“Impunitas dalam mengungkap perilaku kekerasan di lingkungan pendidikan menjadi salah satu faktor utama yang menyebabkan peristiwa serupa terus berulang,” kata Bowo.

Korban, dalam hal ini peserta diksar, wajib mendapatkan perlindungan serta kesempatan untuk menyampaikan kesaksiannya.

Berdasarkan informasi yang beredar, dari enam peserta Diksar yang menjadi korban, hanya satu orang yang berani melaporkan peristiwa tersebut.

“Maka dalam hal ini, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) juga dapat didorong untuk memberikan layanan perlindungan kepada para korban untuk menjamin proses penegakan hukum yang sedang berlangsung,” pungkas Bowo.

Baca Juga: Tragedi Diksar Mahepel Unila: Kekerasan dan Kematian Mahasiswa

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *