DASWATI.ID – Dosen FISIP Jurusan Ilmu Pemerintahan Universitas Lampung (Unila) Dr. Syarief Makhya memandang peta persaingan politik tanah air saat ini diwarnai pertarungan demokrasi melawan oligarki.
“Ada pertarungan antara kepentingan untuk terus mempertahankan demokrasi, tapi di sisi lain ada kepentingan oligarki yang mendikte dan mendominasi peta persaingan politik,” ujar dia.
Hal itu disampaikan usai acara diskusi Konferensi Rakyat Sipil di Sekretariat Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Lampung, Kota Bandarlampung, pada Kamis (14/12/2023) malam.
Menurut Syarief Makhya, oligarki yang kian mendominasi peta politik tanah air menimbulkan bias demokrasi.
“Kelompok oligarki jauh lebih dominan, lebih kuat, dalam menguasai sumber daya di berbagai aspek, baik sumber daya ekonomi maupun politik, dan seterusnya,” kata dia.
Diketahui, bias demokrasi adalah suatu keadaan yang mengatasnamakan kehidupan demokrasi, namun secara realitas justru kontraproduktif dengan esensi demokrasi yang membatasi kekuasaan pemerintah dengan hukum, dan melindungi hak-hak perorangan warga negara.
Pertarungan demokrasi melawan oligarki ini, lanjut Makhya, berdampak bagi daerah. Bahkan kekuasaan di daerah menjadi cerminan dari kekuasaan pemerintah pusat.
“Karena negara kita adalah negara kesatuan dan seluruh regulasi diatur oleh pusat, maka mau tidak mau, daerah juga kemudian terimbas dari pengaruh situasi politik nasional, dan itu merefleksi pada kekuasaan di daerah yang juga tidak jauh beda dengan yang terjadi di pusat,” jelas Makhya.
Kebijakan pemerintah pusat memengaruhi berbagai aspek kehidupan di daerah meskipun daerah memiliki hak otonom.
“Otonomi daerah harusnya diimbangi dengan kekuatan anggaran yang cukup. Faktanya, selama ini, dana PAD (Pendapatan Asli Daerah) sangat kecil dan daerah sangat tergantung pada dana transfer pusat. Akibatnya daerah tetap menjadi subordinat dari pemerintah pusat,” ujar dia.
Syarief Makhya mencontohkan viralnya kritik konten kreator Bima Yudho Saputro pada April 2023 lalu terkait jalan rusak di Lampung Timur dan Lampung Tengah, hingga akhirnya Presiden RI Joko Widodo turun tangan memperbaiki jalan tersebut.
Baca Juga: Banyak Laporan Jalan Rusak di Lampung, Efek Bima?
“Akibat keterbatasan anggaran, kebijakan tentang infrastruktur tidak bisa terselesaikan. Itu adalah bagian dari fenomena otonomi yang tidak diimbangi dengan kekuatan finansial,” tegas dia.
Format politik Indonesia yang demikian, lanjut Makhya, mengancam integrasi nasional.
Pemerintah dinilai perlu mempertimbangkan masa depan Indonesia dengan menjaga relasi pusat dan daerah.
“Artinya, kalau format politik yang ada seperti sekarang itu dipertahankan, maka ada potensi terjadinya ketidakpuasan, dan sangat mungkin terjadi disintegrasi nasional. Oleh karena itu, fenomena ini harus diimbangi dengan penguatan desentralisasi asimetris dan pendanaan yang mandiri,” pungkas Syarief Makhya.
Direktur Eksekutif LBH Bandarlampung, Sumaindra Jarwadi, yang memimpin jalannya diskusi Konferensi Rakyat Sipil mengatakan kegiatan itu bertujuan mempertemukan narasi-narasi kritis dalam merefleksikan persoalan demokrasi, HAM (Hak Asasi Manusia), dan negara hukum hari ini.
“Kami merasa banyak sekali persoalan-persoalan yang kemudian mengingkari demokrasi, HAM, dan negara hukum,” kata dia usai diskusi.
Konferensi Rakyat Sipil ini diikuti jaringan kelompok masyarakat sipil, akademisi, mahasiswa, kelompok komunitas kritis, dan korban HAM, dalam rangka memeringati Hari HAM Internasional yang jatuh setiap tanggal 10 Desember.
Indra berharap melalui kegiatan tersebut akan tumbuh narasi-narasi kritis di semua sektor, khususnya dari kelompok-kelompok yang terpinggirkan oleh refleksi kekuasaan dan masif mengorbankan rakyat.
“Situasi kekuasaan hari ini memproduksi kekerasan dan kriminalisasi. Kami membangun sebuah narasi yang clear, dan seharusnya negara mengemban mandat demokrasi, HAM, dan negara hukum sebagaimana mestinya,” ujar dia.
Baca Juga: LBH Laporkan Dugaan Mafia Tanah di Lampung Timur ke Menteri ATR/BPN