DASWATI.ID – Pemerintah Provinsi Lampung melakukan penggusuran terhadap warga Sabah Balau, Lampung Selatan, pada Rabu (12/2/2025) lalu.
Penggusuran yang melibatkan 1.200 aparat gabungan ini berlangsung represif, mengakibatkan kekerasan terhadap warga, termasuk perempuan dan anak-anak.
Bahkan, beredar video yang menunjukkan seorang perempuan hamil mengalami pendarahan saat penggusuran berlangsung.
Solidaritas Perempuan (SP) Sebay Lampung menilai penggusuran ini melanggar prinsip perlindungan hak asasi manusia, khususnya Komentar Umum PBB Nomor 7 Tahun 1997 tentang Penggusuran Paksa, yang menyatakan bahwa penggusuran seharusnya menjadi opsi terakhir dan dilakukan dengan mekanisme yang melindungi hak-hak warga terdampak.
Namun, dalam kasus ini, pemerintah dinilai gagal memenuhi prosedur tersebut, terutama dalam hal pemberian kompensasi yang layak pasca-penggusuran.
Pelanggaran Hak Dasar dan Dampak Berlapis pada Perempuan di Sabah Balau.
Ketua Badan Eksekutif Komunitas SP Sebay Lampung, Reni Yuliana Meutia, menyoroti akar masalah penggusuran warga di Desa Sabah Balau.
Menurutnya, minimnya akses rakyat terhadap kebutuhan dasar, seperti papan, menjadi penyebab utama warga menempati lahan kosong.
“Kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat, terutama perempuan, telah memperparah kemiskinan struktural,” ujar Reni dalam pernyataan tertulisnya, Selasa (18/2/2025).
Perempuan kehilangan akses terhadap air bersih, kesehatan reproduksi, dan pendidikan anak.
“Mereka juga rentan mengalami kekerasan seksual dan pelecehan,” tambah dia.
Dampak penggusuran ini tidak hanya dirasakan saat ini, tetapi juga menciptakan lingkaran kemiskinan berulang.
“Sebagian warga Sabah Balau yang kini mengungsi di Sekretariat SP Sebay Lampung ternyata juga merupakan korban penggusuran sebelumnya, menunjukkan belum adanya pemulihan hak yang layak bagi warga terdampak,” jelas Reni.
Baca Juga: SP Sebay Lampung Dorong Perlindungan Pekerja Migran Perempuan di Forum Internasional
Tuntutan Solidaritas Sebay Lampung
Merespons situasi ini, SP Sebay Lampung mengajukan tujuh tuntutan kepada Pemerintah Provinsi Lampung:
1. Usut tuntas pelaku tindakan represif terhadap warga Sabah Balau.
2. Berikan ganti rugi yang layak atas bangunan dan tanaman warga yang hancur.
3. Sediakan pemulihan trauma bagi warga terdampak, sesuai Komentar Umum PBB No. 7 Tahun 1997.
4. Sediakan pemukiman layak huni gratis atau bersubsidi bagi warga miskin ekstrem, termasuk akses air bersih.
5. Berikan ruang pengelolaan lahan kosong tidak produktif kepada warga dengan perjanjian yang mengikat.
6. Berikan pelatihan soft skill dan ciptakan lapangan kerja bagi masyarakat Lampung.
7. Cabut kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat, terutama perempuan.
Latar Belakang Hukum dan Kritik terhadap Kebijakan
Selain itu, lanjut Reni, penggusuran warga Desa Sabah Balau juga dinilai bertentangan dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, yang menyatakan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam harus digunakan untuk kemakmuran rakyat.
Praktik penguasaan tanah yang mirip dengan kolonialisme, seperti dalam Agrariasche Wet 1870 dan Domein Verklaring, seharusnya tidak lagi diterapkan setelah lahirnya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA).
Namun, kebijakan pemerintah saat ini justru mengedepankan pendekatan militeristik dan represif dalam pembebasan lahan.
“Hal ini semakin memperparah ketimpangan penguasaan lahan antara perusahaan ekstraktif dan masyarakat, serta memperkuat kemiskinan struktural di Provinsi Lampung,” pungkas Reni.
Baca Juga: Pemprov Lampung Diminta Hadirkan Solusi Persuasif untuk Warga Sabah Balau