DASWATI.ID – Penantian panjang seorang warga akan kepastian hukum menjadi cerminan buram penegakan hukum di Provinsi Lampung.
Selama 11 tahun, laporan polisi terkait kasus pencurian yang diajukan oleh Sarimin, almarhum suami Sariyem, tak kunjung menemui titik terang.
Kasus ini, yang kini diadvokasi oleh Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia-Lembaga Bantuan Hukum (YLBHI-LBH) Bandar Lampung, menyoroti ketimpangan tajam dalam pelayanan kepolisian terhadap masyarakat kecil.
Sariyem, mewarisi perjuangan suaminya yang telah meninggal dunia pada tahun 2016, terus mencari keadilan.
Laporan Polisi dengan Nomor TBLK/C-1/370/I/2014/LPG/RESTA BALAM, yang dibquat di Polresta Bandar Lampung pada 28 Januari 2014, hingga kini mandek tanpa kejelasan proses.
Atas dasar itu, YLBHI-LBH Bandar Lampung mendampingi ibu Sariyem untuk mengadukan mandeknya penanganan kasus ini ke Bidang Profesi dan Pengamanan (Propam) Polda Lampung.
“Penantian 11 tahun tidak melunturkan harapan besar Ibu Sariyem untuk mendapatkan sebuah keadilan,” demikian pernyataan Staf Bidang Sipil dan Politik LBH Bandar Lampung, M Arif Ridho Tawakal, dalam rilis persnya pada Jumat (19/9/2025).
Ironisnya, lambatnya penanganan kasus Ibu Sariyem kontras dengan kecepatan proses hukum yang dialami delapan petani Anak Tuha , Lampung Tengah, dampingan LBH Bandar Lampung.
Para petani tersebut dilaporkan oleh PT BSA ke Polsek Padang Ratu terkait sengketa lahan Hak Guna Usaha (HGU).
“Hanya dalam waktu kurang dari 1×24 jam, kedelapan petani tersebut langsung menerima surat pemanggilan untuk tahap penyidikan, sebuah proses kilat yang dinilai sebagai bentuk kriminalisasi,” tutur Ridho.
Baca Juga: Konflik Agraria Anak Tuha: Tirani Modal dan Represi Negara
Perbedaan perlakuan ini, menurut LBH Bandar Lampung, secara gamblang menunjukkan adanya ketimpangan antara rakyat kecil dengan perusahaan yang memiliki kuasa dalam proses hukum yang ditangani oleh kepolisian.
Fenomena ini bertentangan dengan mandat UUD NRI 1945 dan Pasal 4 Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian, yang mewajibkan Polri untuk melayani, mengayomi, melindungi masyarakat, serta menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM).
Masalah Sistemik dan Ancaman di Masa Depan
Kasus yang dialami Ibu Sariyem bukanlah anomali. LBH Bandar Lampung mencatat bahwa penanganan kasus yang berlarut-larut atau undue delay umumnya menimpa masyarakat kecil, miskin, buta hukum, perempuan, dan anak.
Dalam dua tahun terakhir saja, LBH Bandar Lampung menangani enam kasus serupa yang proses hukumnya mandek antara satu hingga dua tahun.
Secara prosedural, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) telah mengatur tahapan yang jelas dan terukur untuk setiap laporan polisi.
Prinsip due process of law menuntut kepolisian bekerja secara profesional dan transparan, termasuk kewajiban memberikan Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan (SP2HP) sebagai bentuk akuntabilitas dan jaminan kepastian hukum bagi pelapor.
Pengabaian terhadap hak ini dinilai sebagai cerminan ketidakprofesionalan institusi kepolisian.
Lebih jauh, LBH Bandar Lampung mengkhawatirkan bahwa kondisi ini dapat memburuk jika Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) disahkan dengan pasal-pasal yang problematik.
Alih-alih memperkuat perlindungan, RKUHAP dinilai berpotensi memperluas kewenangan aparat tanpa mekanisme pengawasan yang memadai, sehingga dapat mengabadikan ketimpangan dan memperluas impunitas aparat.
“Kegagalan ini harus menjadi catatan penting bagi institusi Polri untuk melakukan reformasi di dalam tubuhnya,” tegas Ridho.
Kasus ini juga menggarisbawahi kegagalan negara dalam memenuhi kewajibannya untuk melindungi hak-hak sipil dan politik warga negara, sebagaimana diamanatkan dalam Konvensi Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang telah diratifikasi Indonesia.