DASWATI.ID – Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), M. Isnur, menyoroti tantangan hukum yang akan terjadi pada tahun 2026 pasca pengesahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang dinilai sangat besar.
KUHP dan KUHAP baru telah disahkan di tahun 2025 dan akan berlaku efektif bersamaan pada tanggal 2 Januari 2026. KUHP baru (UU Nomor 1 Tahun 2023) disahkan pada tahun 2023, tetapi baru berlaku efektif pada tanggal tersebut, sementara KUHAP baru disahkan dalam rapat paripurna DPR pada 18 November 2025.
Baca Juga: KUHAP Disahkan: Menkum Harap Hukum Acara Pidana Jadi Lebih Adil
Isnur mengibaratkan kondisi implementasi undang-undang ini sebagai bencana tsunami dalam penegakan hukum.
Secara keseluruhan, kurangnya kejelasan dan persiapan ini membuat aparat penegak hukum—polisi, penyidik, penuntut, dan hakim—dengan segala kewenangan yang mereka miliki, berpotensi sangat tinggi untuk berlaku sewenang-wenang di lapangan.
Kekurangan Persiapan dan Regulasi Turunan
Tantangan implementasi diperparah dengan minimnya persiapan yang dilakukan. Aparat penegak hukum seperti kepolisian, jaksa, dan hakim, dilaporkan belum memahami undang-undang tersebut.
Hingga kini, belum ada waktu yang memadai untuk sosialisasi, klarifikasi, pemahaman, atau perencanaan detail pelaksanaannya.
“Kapan waktu untuk sosialisasi, kapan waktu untuk klarifikasi, kapan waktu untuk memahami dan berpikir tentang bagaimana melaksanakan detail-detailnya. Itu enggak ada waktu. Artinya akan terjadi bencana tsunami dalam penegakan hukum,” jelas Isnur di Bandar Lampung, Kamis (27/11/2025).
Selain masalah pemahaman aparat, hingga kini belum ada peraturan turunannya, seperti Peraturan Pemerintah (PP), yang padahal sudah dimandatkan untuk dibuat dalam tiga tahun sejak pengesahan KUHP.
Kekosongan regulasi turunan ini juga menimbulkan masalah terkait living law (hukum yang hidup di masyarakat).
“KUHP tidak mengatur dengan jelas penyelesaian konflik-konflik agraria yang melibatkan adat, dan karena peraturan pemerintahnya belum tersedia, penanganan pidana terkait living law menjadi tidak jelas,” kata Isnur.
Potensi dampak terburuknya adalah hak-hak ruang hidup rakyat dapat tergerus, misalnya dalam kasus penggusuran rakyat ketika sebuah wilayah mengklaim tanah adat mereka padahal tanah tersebut sudah dikelola perusahaan.
Menurut Isnur, fakta bahwa KUHP yang dijadwalkan berlaku pada Januari 2026 kini diikuti oleh pembahasan mendadak mengenai RUU Penyesuaian Pidana yang sedang dikebut di DPR, membuktikan bahwa KUHP yang dulu diprotes memang terbukti banyak memiliki kesalahan dan kekeliruan.
Namun, sosialisasi mengenai RUU Penyesuaian Pidana ini juga belum jelas.
“Sekarang, pembahasan RUU Penyesuaian Pidana sedang dikebut di DPR, lantas kapan sosialisasi Penyesuaian Pidana itu? Enggak ada. Bahkan KUHP yang sudah tiga tahun dimandatkan untuk membuat tiga peraturan pemerintah (PP), sampai sekarang PP-nya belum ada. Jadi mau melaksanakan KUHP seperti apa? Nah, ini tantangan yang luar biasa,” ujar dia.
Substansi Hukum Represif dan Konflik Kewenangan
Secara umum, kata Isnur, KUHP dan KUHAP yang baru dianggap masih jauh dari substansi keadilan hukum dan memungkinkan pemidanaan masyarakat menjadi lebih represif. Hal ini dianggap sangat berbahaya bagi masyarakat di daerah, serikat buruh, petani, dan bahkan jurnalis.
“Ada banyak pasal-pasal yang sangat membahayakan masyarakat karena bersifat multi-interpretasi,” jelas dia.
Selain itu, terdapat pasal-pasal baru yang dapat memidanakan warga negara yang melakukan demonstrasi jika dianggap mengganggu ketertiban umum.
Kondisi pasal-pasal ini tidak hanya membahayakan masyarakat tetapi juga bagi aparat dari sisi prosedur, karena berpotensi menyebabkan pertentangan yang membahayakan penegakan hukum.
“KUHAP yang baru telah mencabut kewenangan beberapa penyidik di sektor lain yang sebelumnya diatur dalam undang-undang sektoral mereka. Misalnya penyidik di BNN (Badan Narkotika Nasional) di daerah-daerah, bea cukai, imigrasi, penyidik kasus kerusakan lingkungan, dan PPNS (Penyidik Pegawai Negeri Sipil),” kata Isnur.
Kini, KUHAP melarang mereka melakukan penangkapan tanpa perintah dari penyidik Polri, membuat mereka menjadi subordinasi dari penyidik Polri.
Baca Juga: TNI Serahkan 194.631 Butir Pil Ekstasi ke Polda Lampung
“Dalam praktiknya, situasi ini sangat berbahaya karena berpotensi menimbulkan konflik kepentingan atau konflik penegakan hukum di lapangan,” ujar Isnur.
Desakan YLBHI untuk Penundaan Pelaksanaan
Menghadapi potensi tsunami dalam penegakan hukum ini, YLBHI menetapkan strategi mendesak Presiden RI untuk mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) mengenai penundaan pelaksanaan dan mengubah kembali KUHAP.
YLBHI juga mendorong masyarakat untuk bersama-sama mendesak Presiden dan para menteri sektoral terkait, yaitu Menteri Keuangan, Menteri Kehutanan, Menteri Lingkungan Hidup, serta BNN, untuk menyampaikan perlunya menunda berlakunya KUHAP dan segera memperbaiki pasal-pasal bermasalah.
Masyarakat didorong untuk bersama-sama membaca, memahami, dan menolak KUHP dan KUHAP yang baru tersebut.
“Jadi harus bareng-bareng kita baca, pahami, dan tolak. KUHP dan KUHAP yang baru masih jauh dari substansi keadilan,” pungkas Isnur.

