Regulasi Macet, DJP Belum Petakan Potensi Pajak Karbon Hutan Lampung

oleh
Lapor Pajak Senyaman Belanja Online? Aktifkan Akun Coretax DJP Sekarang
Kepala Kantor Wilayah DJP Bengkulu dan Lampung, Retno Sri Sulistyani. Foto: Josua Napitupulu

DASWATI.ID – Implementasi kebijakan pajak karbon di tingkat daerah hingga kini masih tertahan di level administratif.

Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atau Kanwil DJP Bengkulu dan Lampung, Retno Sri Sulistyani, mengungkapkan bahwa pihaknya belum melakukan pemetaan potensi penerimaan pajak perdagangan karbon secara spesifik di wilayah Lampung maupun Bengkulu.

Hal ini disebabkan oleh ketiadaan kerangka regulasi teknis dari kantor pusat yang mengatur klasifikasi objek pajak serta mekanisme pelaksanaan operasionalnya secara mendalam.

“Meskipun pajak karbon telah diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), Kanwil DJP sebagai unit pelaksana kebijakan masih berada dalam posisi menunggu aturan di bawahnya,” kata Retno di Bandar Lampung, Jumat (19/12/2025). 

Ia menjelaskan fokus utama Kanwil DJP adalah menghimpun penerimaan negara di wilayah kerja masing-masing serta mengoordinasikan langkah-langkah strategis untuk meningkatkan efektivitas penagihan pajak.

Baca Juga: Lapor Pajak Senyaman Belanja Online? Aktifkan Akun Coretax DJP Sekarang

Kewenangan Kanwil DJP mencakup seluruh siklus administrasi perpajakan, mulai dari pendaftaran Wajib Pajak, pengawasan, dan pemeriksaan, hingga penegakan hukum melalui penyidikan tindak pidana perpajakan yang dilakukan berkolaborasi dengan pihak Kepolisian dan Kejaksaan.

“Terkait perdagangan karbon, kami belum melakukan pemetaan potensi penerimaan secara spesifik. Hal ini dikarenakan belum adanya kerangka regulasi yang mengatur mengenai klasifikasi objek pajak serta mekanisme teknis pelaksanaannya secara mendalam,” ujar Retno. 

Secara nasional, pajak karbon didesain sebagai instrumen untuk mengendalikan emisi gas rumah kaca guna mendukung pencapaian target Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia.

Subjek pajaknya mencakup orang pribadi atau badan yang membeli barang mengandung karbon atau melakukan aktivitas penghasil emisi.

Pemerintah telah menetapkan tarif minimal sebesar Rp30,00 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e) atau mengikuti harga pasar yang lebih tinggi.

Namun, saat ini implementasinya masih menggunakan mekanisme Cap and Tax yang terbatas pada sektor pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara.

Di sisi lain, potensi Nilai Ekonomi Karbon (NEK) di Lampung sudah mulai muncul melalui rencana restorasi di Taman Nasional Way Kambas (TNWK), Lampung Timur, sebagai pilot project perdagangan karbon di kawasan taman nasional.

Balai TNWK mengusulkan pengalihan status lahan seluas 59.935,82 hektare menjadi Zona Pemanfaatan agar dapat menjalankan skema karbon guna mendanai pemulihan 43.780 hektare hutan yang terdegradasi.

Revisi zonasi ini mengubah 59.935,82 hektare Zona Inti menjadi Zona Pemanfaatan seluas 31.947,45 hektare.

“Dari luasan yang diubah, 61% bertujuan untuk kepentingan perlindungan, 38% untuk restorasi ekosistem, dan 1% untuk pengembangan wisata alam berkelanjutan,” ungkap Kepala Balai TNWK, Zaidi, dalam keterangan tertulisnya pada Kamis (18/12/2025) malam. 

Zaidi menyampaikan TNWK, yang memiliki luas 125.621,30 hektare dan menjadi habitat penting bagi lima satwa kunci Sumatra (gajah sumatra dan badak sumatra), saat ini telah mengalami degradasi seluas 43.780 hektare, atau 34,85% dari total luasnya.

“Kerusakan ini sebagian besar disebabkan oleh kebakaran hutan yang berulang dan gangguan tumbuhan invasif, yang menyebabkan menurunnya daya dukung habitat, termasuk di Zona Inti,” kata dia. 

Zaidi menyatakan bahwa restorasi ekosistem di Zona Inti TNWK memerlukan biaya yang sangat besar.

“Oleh karena itu, upaya pemulihan diupayakan melalui skema pemanfaatan nilai karbon (NEK), yakni melalui skema Restorasi Ekosistem (ARR) dan skema Perlindungan (Protection/Avoidance),” jelas dia. 

Ia menjamin bahwa apabila kondisi ekosistem telah pulih, Zona Pemanfaatan tersebut akan dikembalikan menjadi Zona Inti.

Namun, rencana ini memicu perdebatan dengan aktivis lingkungan. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia atau WALHI Lampung menilai perdagangan karbon sebagai “solusi palsu” perubahan iklim.

Direktur Eksekutif Daerah WALHI Lampung, Irfan Tri Musri, mempertanyakan klasifikasi dana yang diterima dari perdagangan karbon: apakah akan diklasifikasikan sebagai penerimaan negara secara murni (yang bebas dialokasikan ke mana saja) atau sebagai hibah.

Ia menyoroti kekhawatiran historis bahwa hasil kekayaan hutan selama ini cenderung tidak kembali untuk pengelolaan hutan, melainkan masuk ke pos-pos anggaran kementerian/lembaga lain, yang menyulitkan perawatan hutan.

“Jika dana diklasifikasikan sebagai hibah, maka dana tersebut harus digunakan sesuai dengan judul hibahnya, seperti kembali untuk pengelolaan hutan,” ujar Irfan.

Selain itu, ia mencatat bahwa perdagangan karbon diatur hampir sama seperti perdagangan saham, melibatkan lembaga perantara (broker) yang menghubungkan pembeli korporasi dengan kawasan hutan seperti TNWK.

“Pihak perantara inilah yang dikhawatirkan akan mendapatkan keuntungan yang lebih besar,” tegas dia. 

Rencana Balai TNWK ini juga dikhawatirkan memicu dampak sosial di kalangan masyarakat sekitar kawasan hutan.

Baca Juga: Mengapa Zona Inti Way Kambas Dijual untuk Karbon?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *