Aktivisme Yudisial MK: Batas Konstitusi dan Dampak Putusan Pemilu 2029

oleh
Aktivisme Yudisial MK: Batas Konstitusi dan Dampak Putusan Pemilu 2029

Oleh: Nicho Hadi Wijaya, Penggiat Lampung Democracy Studies

DASWATI.ID – Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024 mengenai pemisahan pelaksanaan Pemilu Nasional dan Pemilu Daerah mulai tahun 2029 telah memunculkan diskursus luas, tidak hanya terkait aspek teknis penyelenggaraan pemilu, tetapi juga menyangkut konstitusionalitas dan batas kewenangan MK.

Putusan ini memerintahkan agar Pemilu Presiden, DPR, dan DPD dilaksanakan terlebih dahulu, kemudian diikuti oleh Pemilu Kepala Daerah dan DPRD dalam rentang waktu 2 hingga 2,5 tahun setelahnya.

Meskipun Mahkamah menyatakan tujuan utamanya adalah penyederhanaan pemilu dan peningkatan kualitas demokrasi lokal, pendekatan yang diambil justru menampilkan ciri judicial activism yang kuat, dimana Mahkamah tidak hanya menafsirkan hukum, tetapi juga merumuskan norma baru yang berdampak struktural terhadap sistem ketatanegaraan.

Praktik judicial activism (aktivisme yudisial) oleh MK di Indonesia telah lama menjadi perdebatan, sebab lembaga ini pada dasarnya berfungsi sebagai penguji konstitusionalitas undang-undang (negative legislator), bukan sebagai perancang kebijakan publik (positive legislator).

Ketika MK tidak hanya membatalkan norma, tetapi juga menetapkan norma baru beserta batas waktu pelaksanaan pemilu, tindakan tersebut dinilai melampaui prinsip dasar pembagian kekuasaan (trias politica).

Dalam putusan ini, Mahkamah tidak sekadar menyatakan pemilu serentak bertentangan dengan prinsip demokrasi substantif, tetapi juga memberikan mandat teknis kepada pembentuk undang-undang, yang seharusnya merupakan domain legislatif.

Hal ini menandakan adanya pelebaran kewenangan yudisial yang problematika secara konstitusional.

Selain itu, putusan ini mengandung unsur ultra petita, yaitu Mahkamah memberikan putusan melebihi permohonan para pihak. Pemohon hanya mempermasalahkan konstitusionalitas pemilu serentak, namun MK justru menetapkan arsitektur pemilu ke depan.

Praktik semacam ini dapat menimbulkan kekhawatiran atas pengambilalihan kewenangan legislatif oleh lembaga yudikatif, terlebih Mahkamah tidak memiliki mekanisme akuntabilitas elektoral sebagaimana DPR.

Alasan-alasan Mahkamah yang didasarkan pada aspek teknis, seperti beban kerja penyelenggara dan kompleksitas logistik, seharusnya menjadi ranah eksekutif dan legislatif melalui reformasi administratif, bukan dengan mengubah struktur normatif pemilu secara permanen melalui putusan yudisial.

Dampak aktivisme yudisial ini tidak hanya pada aspek formil kewenangan, tetapi juga pada aspek praktis.

 

Ketika Mahkamah tidak menyediakan pedoman transisi yang memadai atas perbedaan waktu pelaksanaan pemilu nasional dan daerah, timbul kekosongan hukum mengenai masa jabatan kepala daerah dan anggota DPRD terpilih.

Ketidakpastian ini berpotensi membuka ruang politisasi penunjukan penjabat kepala daerah oleh pemerintah pusat, sehingga dapat merusak prinsip otonomi daerah dan netralitas birokrasi.

Lebih jauh, aktivisme yudisial yang berlebihan dapat menurunkan legitimasi institusional Mahkamah Konstitusi.

Ketika Mahkamah melangkah terlalu jauh dalam wilayah legislasi, publik dapat mempertanyakan independensinya dan menganggapnya sebagai aktor politik terselubung, sehingga membahayakan kredibilitas Mahkamah sebagai penjaga konstitusi yang netral dan objektif.

Dalam konteks demokrasi konstitusional, menjaga batas antara interpretasi hukum dan pembuatan hukum adalah keharusan mutlak. Pelanggaran batas tersebut dapat mengganggu sistem checks and balances dan menggantikan prinsip rule of law dengan rule by judges.

Dengan demikian, Putusan MK tentang Pemilu 2029 menjadi studi kasus penting dalam diskursus ketatanegaraan Indonesia terkait batas kewenangan yudikatif.

Aktivisme yudisial, meskipun sering dimaksudkan untuk menjawab kebutuhan praktis, dapat menjadi sumber problematika konstitusional yang lebih luas.

Dalam negara hukum yang demokratis, setiap lembaga negara harus tetap berada dalam rel kewenangannya agar sistem tetap seimbang dan konstitusi menjadi fondasi utama kehidupan bernegara.

Di ujung celotehan sederhana ini, penting untuk menegaskan kembali batas-batas kewenangan MK melalui revisi peraturan perundang-undangan, memperkuat sistem kontrol terhadap putusan ultra petita, dan mendorong transparansi dalam argumentasi putusan.

Ke depan, Mahkamah perlu lebih menekankan prinsip self-restraint yudisial agar tetap menjaga kemurnian tugasnya sebagai penjaga konstitusi, bukan sebagai perancang institusional. Tabik! (*)

Baca Juga: Perludem Dorong Kodifikasi UU Pemilu dan UU Pilkada Pasca Putusan MK

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *