DASWATI.ID – Pengamat politik Darmawan Purba mengatakan calon kepala daerah harus punya tiga modal ini jika ingin memenangkan pemilihan kepala daerah (pilkada).
“Konsep modalitas dalam kontestasi politik ini kita sebut 3M yaitu Modal Politik, Modal Sosial Kemasyarakatan, dan Modal Ekonomi,” kata dia di Bandarlampung, Jumat (29/3/2024).
Menurut Darmawan, idealnya calon kepala daerah harus punya tiga modal tersebut untuk berhasil di kontestasi politik.
Namun, lanjut dia, beranjak dari pilkada di Lampung sebelumnya, tidak semua tokoh-tokoh yang mengikuti pemilihan memiliki seluruh modalitas tersebut.
“Ada tokoh yang tidak terlalu terkenal, partainya tidak signifikan, tapi lingkungan sosial ekonominya memberikan ruang bagi tokoh tersebut. Karena difasilitasi oleh private sector atau oligarki,” ujar Darmawan.
“Atau tokoh yang sangat kuat mengakar, kemudian didukung oleh lembaga politik, meskipun ada keterbatasan ekonomi, juga bisa berkompetisi,” tambah dia.
Pasangan calon kepala daerah memiliki peluang besar terpilih manakala memiliki akumulasi lebih dari satu modal.
Semakin besar pasangan calon yang mampu mengakumulasi tiga modal itu, maka semakin berpeluang terpilih sebagai kepala daerah.
Darmawan mengibaratkan konsep modalitas itu dalam sebuah balapan mobil.
“Kalau mau balapan mobil ya harus punya mobil dulu atau dukungan lembaga politik,” kata dia.
Antarkandidat calon kepala daerah harus sebanyak mungkin memanfaatkan jaringan organisasi-organisasi politik untuk memperoleh dukungan politik karena kompetisi pilkada lebih menonjol terhadap pengaruh figur kandidat.
“Kemudian, modal sosial kemasyarakatan. Bisa ngebut nggak jadi sopir? Mobilnya bagus tapi nggak bisa bawa mobil?” Kata akademisi Universitas Lampung ini.
Modal sosial kemasyarakatan terkait hubungan calon kepala daerah dengan masyarakat sebagai pemilih.
Hal ini terlihat dari rekam jejak atau kinerja calon kepala daerah yang sudah dirasakan oleh masyarakat. Rekam jejak ini akan menumbuhkan kepercayaan pemilih kepada calon pemimpinnya.
“Terakhir, terkait dengan modal ekonomi. Untuk bisa memenangkan balapan mobil membutuhkan bahan bakar,” ujar Darmawan.
Modal ekonomi memiliki makna penting sebagai ‘penggerak’ dan ‘pelumas’ mesin politik yang dipakai.
Ia mengatakan kepemilikan modal ekonomi di tengah realitas biaya pemilihan langsung yang sangat tinggi tidak bisa dihindarkan.
“Baik itu kepemilikan modal langsung oleh tokoh atau elit yang basicly memiliki kekayaan yang signifikan, atau memiliki akses terhadap sumber-sumber pembiayaan,” kata dia.
Dalam pemilihan langsung, kepala daerah terpilih ditentukan oleh perolehan suara terbanyak melalui proses demokrasi secara prosedural maupun substansial.
Darmawan memandang panorama pilkada di Lampung lebih banyak didukung oleh dunia usaha atau private sector.
“Selama ini kan tokoh-tokoh ini lebih kepada kepemilikan akses. Bukan kepemilikan modal ekonomi diri sendiri,” ujar dia.
Modal politik calon kepala daerah harus transparan.
Ia mengatakan pembiayaan politik dari private sector tidak masalah selama prosesnya transparan dan akuntabel sesuai undang-undang.
“Persoalannya, terang benderang tidak proses dukungan pembiayaan itu? Kalau dalam undang-undang pemilihan kan jelas ada batasan jumlah sumbangan,” jelas Darmawan.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota (UU Pilkada) mengatur sejumlah sumber pendanaan kampanye pasangan calon kepala daerah.
UU Pilkada ini sudah berlaku sejak 2016 hingga Pilkada 2024 mendatang.
Ada batas maksimal sumbangan dana kampanye dari perorangan dan perusahaan atau organisasi swasta berbadan hukum.
Pasal 74 ayat 5 UU Pilkada menyebutkan bahwa :
“Sumbangan dana Kampanye sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dan ayat (2) dari perseorangan paling banyak Rp75 juta dan dari badan hukum swasta paling banyak Rp750 juta.”
Selain itu, UU Pilkada juga mengamanatkan partai politik atau koalisi partai politik yang mengusung kandidat kepala daerah wajib memiliki rekening khusus dana kampanye atas nama pasangan calon tersebut.
Beranjak dari pilkada-pilkada sebelumnya, Darmawan menilai pemilihan langsung ke depan masih memiliki banyak tantangan untuk mewujudkan pilkada yang substansial.
“Inikan terkait pendidikan politik yang pasang surut sehingga praktik berdemokrasi dalam pemilihan langsung ke depan, masih banyak tantangan. Terlebih kalau ingin bicara soal kualitas demokrasi. Tapi ya, kita sebagai masyarakat politik harus optimis,” pungkas dia.
Baca Juga: Sedekah Politik Momok Pilkada Lampung yang Menggerogoti Demokrasi