Darah di Balik Legitimasi Moral

oleh
Darah di Balik Legitimasi Moral
Presiden RI kedua, Soeharto, menyampaikan pengunduran diri dari jabatannya pada 21 Mei 1998 setelah runtuhnya dukungan untuk kepresidenannya yang telah berlangsung selama kurang lebih 32 tahun. Wakil Presiden B.J. Habibie (kanan) kemudian mengambil alih kursi kepresidenan. Foto: Istimewa

Oleh: Prabowo Pamungkas–Kadiv Advokasi YLBHI-LBH Bandar Lampung

DASWATI.ID – Pada hari Selasa, 21 Oktober 2025, isu pemberian gelar pahlawan nasional kembali mengemuka setelah Menteri Sosial Saifullah Yusuf menyerahkan berkas calon kepada Menteri Kebudayaan sekaligus Ketua Dewan Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan (GTK), Fadli Zon.

Di tengah daftar 40 nama tersebut, terselip nama yang menimbulkan kegelisahan mendalam dan penolakan keras: mantan Presiden RI, Soeharto.

Soeharto adalah sosok yang selama 32 tahun menjalankan praktik kekuasaan dengan watak yang sangat otoriter dan militeristik.

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandar Lampung menyatakan penolakan tegas terhadap rencana pemberian gelar kepahlawanan ini.

Penolakan ini berakar pada pemahaman fundamental mengenai makna kepahlawanan dan rekam jejak kelam yang melekat pada rezim Orde Baru.

Gelar Pahlawan: Bukan Sekadar Simbol, Tapi Legitimasi Moral

Gelar pahlawan nasional bukanlah sekadar penghargaan simbolik semata.

Ia adalah bentuk legitimasi moral yang diberikan oleh negara dan diakui oleh rakyat.

Oleh karena itu, memberikan gelar pahlawan kepada figur yang memiliki catatan penuh pelanggaran hak asasi manusia (HAM) masa lalu merupakan tindakan yang tidak hanya abai terhadap sejarah, tetapi juga penghinaan terhadap para korban dan keluarganya yang hingga kini masih memperjuangkan kebenaran dan keadilan.

Status kepahlawanan harus diberikan kepada figur yang benar-benar mencerminkan nilai-nilai kemanusiaan, keberanian, moralitas, dan pembelaan terhadap rakyat.

Luka Sejarah yang Belum Kering

Rekam jejak kekuasaan otoriter yang dijalankan oleh Soeharto telah meninggalkan luka menganga, khususnya di Provinsi Lampung. Salah satu tragedi HAM paling kelam di wilayah ini adalah Peristiwa Talangsari pada 7 Februari 1989.

Ratusan warga sipil menjadi korban akibat operasi militer yang menewaskan, menghilangkan, serta menahan warga secara paksa. Hingga saat ini, banyak keluarga korban yang belum mendapatkan pemulihan dan keadilan yang layak dari negara.

Selain itu, bukti nyata lain penggunaan kekuatan represif untuk membungkam kritik dan mengekang kebebasan berekspresi terlihat dalam kasus kekerasan aparat yang berujung pada tewasnya dua mahasiswa, sebuah tragedi yang kemudian dikenal sebagai peristiwa “UBL Berdarah”.

Kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Provinsi Lampung selama Orde Baru berkuasa ini adalah bukti nyata bagaimana kekuasaan kala itu secara sengaja menciptakan ketakutan sistemik. Luka sejarah itu belum sembuh, dan negara tidak boleh sedikit pun melupakannya.

Mempertaruhkan Fondasi Etis Bangsa

Pemberian gelar pahlawan kepada sosok yang menjalankan kekuasaan dengan tangan besi yang berlumuran darah membawa risiko etis yang sangat besar.

Jika legitimasi moral ini diberikan, maka generasi mendatang dapat menganggap bahwa kekerasan negara dapat diterima dan dilupakan, asalkan pembangunan ekonomi dijadikan pembenaran utama.

Alhasil, saat ini kita sedang mempertaruhkan fondasi etis bangsa. Pilihan kita sederhana dan tegas: apakah kita memilih untuk berdiri di sisi korban yang hak-haknya telah dirampas, ataukah kita memilih berdiri di sisi kekuasaan yang tidak pernah mau bertanggung jawab atas praktik represif?

LBH Bandar Lampung berpegang teguh pada posisi moral: kekerasan negara tidak boleh dihormati.

Dengan segala hormat dan pertimbangan terhadap kemanusiaan dan keadilan, kami menyatakan penolakan tegas terhadap rencana pemberian gelar kepahlawanan kepada mantan Presiden Soeharto. (*)

Baca Juga: Sanksi UU PDP Bayangi Fotografer Jalanan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *