DASWATI.ID – Hak atas pendidikan seorang remaja di Bandar Lampung, GDS (16), harus terhenti secara tragis di tengah jalan. GDS, yang merupakan siswa SMPN 13 Bandar Lampung, terpaksa putus sekolah saat ia masih duduk di bangku kelas VIII akibat perundungan (bullying) yang intens dari teman-temannya.
Kini, alih-alih menikmati masa remajanya di bangku sekolah, GDS harus beralih ke jalanan, membantu ibunya mencari rongsokan demi memenuhi kebutuhan pangan keluarga.
Berawal dari Hinaan “Anak Pemulung”
GDS menceritakan bahwa perundungan yang dialaminya bermula dari status ekonomi orangtuanya.
“Saya sering di-bully sama teman saya, mereka menghina orangtua saya pemulung, tukang rongsokan hingga akhirnya saya dikeluarkan sekolah saat saya duduk dibangku kelas VIII,” ungkap GDS didampingi ibunya, Misna Megawati (42), di Bandar Lampung, Rabu (22/10/2025).
Meskipun GDS menyatakan dirinya sebenarnya masih ingin bersekolah, ia kini harus membantu mencari rongsokan agar bisa makan.
Penderitaan GDS sangat dirasakan oleh sang ibu, Misna Megawati (42), yang harus membesarkan enam orang anaknya seorang diri dengan bekerja sebagai pemulung, mencari botol bekas hingga kardus. Misna mengungkapkan ia tidak tega anaknya dihina dan dirundung.
Misna Megawati juga menyebutkan alasan pihak sekolah memulangkan GDS. Menurut keterangan kepala sekolah yang diterima Misna, GDS dipulangkan dengan alasan, “daripada milih satu dan yang lainnya bubar akhirnya anak saya dikeluarin”.
Baca Juga: Fenomena Fatherless di Bandar Lampung: Dampak Kompleks dan Krisis Perlindungan Anak
Dilema Ekonomi yang Tak Tertanggungkan Sekolah
Latar belakang ekonomi keluarga GDS menunjukkan perjuangan hidup yang sangat berat. Misna menyebutkan bahwa kadang keluarganya tidak makan selama sehari bahkan dua hari.
Dengan enam anak, penghasilan Misna dari memulung hanya sekitar Rp600.000 sebulan.
Jumlah tersebut harus dialokasikan untuk membayar sewa rumah sebesar Rp300.000 dan sisanya dibelikan 5 kilogram beras, menyisakan utang di warung.
“Alhamdulillah yang tua bekerja walaupun gajinya sedikit. masih ngirimin orangtua Rp500 ribu. Nggak cukup itu, untuk beli beras saja berapa sekarang,” tutur dia.
Misna berharap agar anak-anaknya dapat bersekolah sampai tamat agar bisa “jadi orang” dan mengangkat nama baik orangtua, dan tidak bernasib sama dengannya yang tidak tamat SD.
Air Mata dan Pengakuan Kegagalan Pihak Sekolah
Kepala SMPN 13 Bandar Lampung, Amaroh, tidak menutupi rasa sedihnya atas kasus yang menimpa GDS. Amaroh merasa gagal, meskipun pihak sekolah telah berusaha agar GDS tetap berada di sekolah.
Amaroh dan timnya telah berusaha menahan dan membimbing GDS selama hampir dua tahun.
Pihak sekolah bahkan memaafkan setiap pelanggaran yang dilakukan GDS, dengan harapan GDS bisa melewati masa sulitnya.
Namun, Amaroh mengakui bahwa penderitaan GDS yang sangat mendalam—di mana ia tidak akan diberi makan jika tidak memulung—adalah kenyataan yang membuat pihak sekolah menangis dan merasa bahwa penderitaan tersebut “tidak bisa teratasi oleh sekolah”.
“Saya merasa sedih, ada satu anak lagi yang tidak sekolah. Saya merasa gagal walaupun saya sudah berusaha untuk anak kami GDS ini tetap berada di sekolah,” kata dia.
Pihak sekolah juga mencatat perilaku ekstrem GDS sebagai upaya mengatasi tekanan, termasuk upayanya melukai diri sendiri (tangannya dibeset-beset) dan kebiasaannya pulang memulung setiap malam hingga pukul 22.00 WIB.
Amaroh memohon agar semua pihak lebih perhatian terhadap anak-anak bernasib serupa dan secara pribadi meminta maaf kepada GDS, mempersilakannya datang kapan saja ke sekolah.
“Kiranya mohon kepada semua pihak, mari kita lebih perhatian lagi terhadap anak-anak yang memiliki nasib seperti ini, dan maafkan saya, saya tidak bisa berbuat lebih banyak,” ujar dia.
Intervensi Pemerintah Kota dan Jaminan Pendidikan
Kasus GDS ini mendapat perhatian serius dari Pemerintah Kota Bandar Lampung. Kepala Dinas PPPA Kota Bandar Lampung, Maryamah, menyatakan bahwa GDS sudah berada dalam pendampingan mereka.
Berdasarkan instruksi Wali Kota Bandar Lampung, yang disebut sangat perhatian terhadap warganya, hak GDS sebagai anak harus dipenuhi dan dilindungi.
“Instruksi wali kota bagaimana hak anak itu harus (dipenuhi) dan dilindungi. Wali kota tetap perhatian banget dengan warganya,” kata dia.
Dinas PPPA, bersama dengan camat dan dinas sosial, siap membantu mengurus administrasi kependudukan (adminduk) serta memastikan hak GDS untuk bersekolah terjamin.
“Tidak ada alasan dia tidak harus sekolah, didorong baik oleh keluarga maupun lingkungannya, karena masa depan dia di situ,” tegas Maryamah.
Selain menjamin hak pendidikan, Pemerintah Kota juga berkomitmen memberikan pendampingan psikologis, baik kepada GDS maupun keluarganya.
Baca Juga: Rantai Anak di Mesuji: Dilema Hukum dan Jerat Kemiskinan

