DASWATI.ID – Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) menyelenggarakan Dialog Nasional bertajuk “Media Baru vs UU ITE” yang berfokus pada pembahasan komprehensif Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) Nomor 1 Tahun 2024.
Acara ini digelar di Kantor Pusat SMSI, Jalan Veteran II, Gambir, Jakarta Pusat, pada Selasa (28/10/2025), dengan tujuan utama menata ruang digital agar menjadi lebih sehat, bertanggung jawab, dan beretika.
Kegiatan yang diselenggarakan secara hybrid ini merupakan bagian dari rangkaian menuju Hari Pers Nasional (HPN) 2026.
Dalam sambutan pembukaannya, Ketua Umum SMSI, Firdaus, menekankan betapa pentingnya pemahaman hukum di tengah pesatnya perkembangan media digital.
Ia mengimbau agar para pelaku media baru memiliki literasi hukum dan etika digital sebagai kunci.
“Teman-teman media baru jangan sampai terperosok dalam pasal UU ITE. Mari kita pahami bersama agar bisa terus berkarya secara bertanggung jawab,” kata Firdaus.
Media diharapkan dapat terus berkarya secara bertanggung jawab tanpa terperosok dalam pasal-pasal UU ITE, memastikan kebebasan berekspresi tetap berjalan berdampingan dengan tanggung jawab sosial.
Dialog yang dipandu oleh Mohammad Nasir, Dewan Pakar SMSI dan mantan wartawan senior Harian Kompas, menghadirkan sejumlah narasumber lintas bidang, termasuk perwakilan dari Jaksa Agung Muda Bidang Intelijen Kejaksaan RI, Anang Supriatna; Anggota Dewan Pers, Dahlan Dahi; Guru Besar Universitas Airlangga, Prof. Dr. Henri Subiakto; dan konten kreator, Rudi S. Kamri.
Revisi UU ITE Bukan Pembatasan, Melainkan Penataan
Mewakili Jamintel Kejaksaan RI, Anang Supriatna menegaskan bahwa revisi UU ITE tidak dimaksudkan untuk membatasi kebebasan berekspresi.
Sebaliknya, revisi ini hadir sebagai upaya menata ruang digital agar lebih sehat dan beretika.
Menurutnya, tantangan terbesar saat ini adalah maraknya berita bohong (hoaks) dan ujaran kebencian melalui media sosial yang berpotensi memicu konflik sosial dan merusak persatuan bangsa.
“Berita hoaks dan ujaran kebencian bisa memicu konflik sosial dan merusak persatuan bangsa. Karena itu, literasi digital menjadi senjata utama bagi masyarakat agar tidak mudah terprovokasi,” ujar Anang.
Ia menambahkan dalam konteks penegakan hukum, Kejaksaan RI akan melaksanakannya secara selektif dan proporsional, dengan selalu memperhatikan konteks, motif, serta dampak sosial yang ditimbulkan oleh suatu kasus.
Keseimbangan Perlindungan Kehormatan dan Kebebasan Berekspresi
Dalam kesempatan yang sama, Prof. Dr. Henri Subiakto memberikan penjelasan mendalam mengenai aspek hukum revisi tersebut.
“UU ITE Nomor 1 Tahun 2024 merupakan upaya menyeimbangkan antara perlindungan terhadap nama baik dengan kebebasan berekspresi yang dijamin oleh konstitusi,” kata dia.
Prof. Henri menyoroti bahwa pasal-pasal yang sering digunakan dalam kasus pencemaran nama baik di ruang digital, yakni Pasal 27 ayat (3) dan 27A, kini menekankan unsur kesengajaan.
“Seseorang baru dapat dipidana jika terbukti memiliki niat jahat atau unsur ‘dengan sengaja’ untuk menyerang kehormatan orang lain melalui media elektronik. Unsur kesengajaan ini menjadi dasar utama penentuan pidana,” tegas dia.
Pentingnya Etika, Verifikasi, dan Niat Baik
Sementara itu, dari sudut pandang praktisi media, Dahlan Dahi mengingatkan semua pihak yang memproduksi informasi publik, baik melalui portal maupun platform digital seperti YouTube, untuk wajib memegang teguh prinsip verifikasi dan akurasi.
Ia menekankan bahwa seluruh produk informasi harus berlandaskan tanggung jawab, bukan sekadar mengejar sifat viral semata, serta harus senantiasa menjaga kode etik jurnalistik.
Adapun Rudi S. Kamri, seorang konten kreator, menyampaikan bahwa UU ITE tidak perlu ditakuti oleh pelaku media maupun kreator konten.
“Selama pelaku media memahami batas hukum, memiliki niat baik dalam berkarya, dan tidak menyebarkan fitnah atau tidak menghormati fakta, UU ITE justru berfungsi sebagai pedoman agar ruang digital menjadi lebih sehat,” ujar dia.
Diskusi yang berlangsung dinamis dan diikuti oleh pengurus SMSI dari seluruh Indonesia, baik secara daring maupun luring, membahas praktik jurnalisme digital, tanggung jawab hukum, dan strategi menjaga kebebasan berekspresi.
Acara ditutup dengan ajakan untuk memperkuat kolaborasi antara regulator, penegak hukum, dan pelaku media digital. Kolaborasi ini dianggap krusial dalam upaya bersama menciptakan ekosistem informasi yang profesional, beretika, dan berpihak kepada kepentingan publik.
Baca Juga: SMSI Dukung Kebebasan Pers Dunia

