DASWATI.ID – Kanwil ATR/BPN telusuri dugaan mafia tanah di Lampung Timur.
Kepala Bidang Penanganan Sengketa Kanwil Kementerian ATR/BPN Provinsi Lampung, Yustin Iskandar Muda, menyampaikan hal itu saat menemui petani penggarap lahan yang berunjuk rasa di Kanwil Kementerian ATR/BPN Provinsi Lampung, Bandarlampung, Kamis (30/11/2023).
“Nanti akan kami kroscek dengan klaim warga penggarap dimana posisi tanahnya, dan juga sertifikat-sertifikat yang sekiranya sudah kami terbitkan,” ujar Yustin.
Ratusan petani penggarap lahan dari Kabupaten Lampung Timur menuntut Kanwil Kementerian ATR/BPN Provinsi Lampung untuk membongkar komplotan mafia tanah yang memiliki sertifikat tanah atas lahan garapan mereka.
Para petani garapan ini berasal dari Desa Sripendowo, Desa Bandar Agung, Desa Waringin jaya, Desa Wana, Desa Srimenanti, Desa Giring Mulyo, Desa Sribhawono, Desa Brawijaya.
Yustin mengaku pihaknya tidak mengetahui proses pengukuran dan penerbitan sertifikat tanah garapan yang terjadi pada tahun 2021 lalu.
“Kami kan di kantor wilayah, (pengukuran) itu pekerjaan kantor pertanahan (Kantah ATR/BPN Lampung Timur). Nanti kami kroscek. Karena dinamika 2021, kami belum mendapatkan informasi utuh,” kata dia.
Kanwil ATR/BPN telusuri dugaan mafia tanah di Lampung Timur.
Yustin berharap persoalan penerbitan sertifikat tanah atas lahan garapan petani yang dimiliki orang lain bisa diselesaikan dengan persuasif lewat mediasi.
“Nanti akan kami uraikan semua secara komprehensif. Kami kumpulkan data fisik dan data yuridis. Mudah-mudahan ada titik temu terhadap persoalan ini,” ujar dia.
Kanwil Kementerian ATR/BPN Provinsi Lampung, lanjut Yustin, akan terus memantau dinamika di lapangan sebelum membentuk tim untuk menyelesaikan persoalan tersebut.
“Kalau nanti sekiranya memungkinkan, persoalan ini memang skalanya atau eskalasinya cukup tinggi, nanti akan kami bentuk tim. Nanti kami lihat dinamika di lapangan seperti apa,” kata dia.
Tanah garapan seluas ±401 hektare di delapan desa di Lampung Timur diduga berada di kawasan hutan Register 38 Gunung Balak.
“Status tanah yang kami dapatkan seperti itu (register), tapi kami belum dapat informasi itu dari kantor pertanahan,” kata dia.
Namun, tambah Yustin, tanah register sepanjang sudah dikeluarkan dari kawasan hutan, bisa diterbitkan sertifikat tanah.
“Bisa, sepanjang sudah dikeluarkan dari kawasan hutan lindung,” pungkas dia.
Direktur LBH Bandarlampung, Sumaindra Jarwadi, menegaskan bahwa lahan yang digarap petani sejak tahun 1968 berada di luar kawasan Register 38 Gunung Balak.
“Faktanya objek tanah itu berada di luar kawasan,” ujar dia.
Sebelumnya, tutur Indra, masyarakat mengira lahan yang mereka garap masuk ke dalam kawasan Register 38 Gunung Balak.
Sehingga masyarakat tidak berupaya atau tidak pernah melakukan pengurusan secara administratif dengan melakukan pendaftaran tanah ke Kantor Pertanahan BPN Lampung Timur.
Masyarakat penggarap baru mengetahui lahan tersebut telah terbit sertifikat pada tahun 2021 ketika ada seseorang yang tidak dikenal datang membawa bukti Sertifikat Hak Milik (SHM) dan meminta penggarap untuk membayar SHM tersebut.
Indra berharap pihak-pihak terkait memberikan perhatian terhadap petani penggarap lahan yang telah mengelola tanah garapan secara turun-temurun sejak tahun 1968 hingga saat ini.
“Artinya, kalau kita merujuk pada UU Pokok Agraria, seharusnya tanah itu dapat dimiliki oleh masyarakat penggarap,” tegas dia.
Baca Juga: Mafia Tanah di Lampung Timur Kembali Beraksi