Ketika Gagasan Jadi Barang Bukti: Dari Marx Sampai Pramoedya di Sel Polisi

oleh
Ketika Gagasan Jadi Barang Bukti: Dari Marx Sampai Pramoedya di Sel Polisi
Direktur Kelokmpok Studi Kader (KLASIKA) Lampung, Ahmad Mufid. Ilustrasi: Josua Napitupulu

Oleh: Ahmad Mufid, Direktur KLASIKA

DASWATI.ID – Beberapa waktu belakangan ini, kita kembali disuguhi sebuah praktik yang mengkhawatirkan dan membangkitkan ingatan kolektif bangsa terhadap sejarah kelam pembredelan buku di Indonesia.

Aparat kepolisian di berbagai daerah menjadikan buku sebagai barang bukti dalam kasus kerusuhan yang terjadi saat demonstrasi.

Tindakan ini bukan sekadar persoalan prosedur hukum, melainkan sebuah bentuk kriminalisasi terhadap pemikiran dan ancaman serius bagi kebebasan berekspresi yang dijamin oleh konstitusi.

Pola ini terlihat jelas di beberapa kota. Di Bandung, Polda Jawa Barat menyita novel Anak Semua Bangsa karya Pramoedya Ananta Toer bersama buku-buku lain seperti Estetika Anarkis, dan Sastra dan Anarkisme.

Dalihnya, buku-buku tersebut diyakini menjadi rujukan aksi anarkis dan berperan besar membentuk pola pikir para pelaku.

Menurut aparat, bacaan tersebut telah memantik ideologi antikemapanan dan menjadi pemicu kerusuhan.

Praktik serupa terjadi di Jakarta saat penyidik Polda Metro Jaya menyita sejumlah buku dari kantor Lokataru Foundation dan kediaman Delpedro Marhaen.

Di Surabaya, dalam kasus pembakaran pos lantas, polisi juga menyita 11 judul buku, termasuk Pemikiran Karl Marx karya Franz Magnis-Suseno dan Anarkisme karya Emma Goldman.

Lagi-lagi, alasannya adalah untuk menyelidiki sejauh mana narasi dalam buku-buku itu memengaruhi tindakan para tersangka.

Argumentasi aparat penegak hukum ini sangat bermasalah. Menjadikan buku sebagai bukti kejahatan dengan asumsi isinya secara langsung menyebabkan tindakan anarkis adalah sebuah lompatan logika yang berbahaya.

Buku adalah ruang gagasan, bukan alat kekerasan. Langkah ini tidak hanya berpotensi membungkam kebebasan intelektual, tetapi juga cacat secara hukum dan prosedural.

Secara hukum, KUHAP (UU No. 8 Tahun 1981), jelas mengatur bahwa penyidik hanya boleh menyita benda yang “patut diduga digunakan untuk melakukan tindak pidana” atau dapat menjadi alat bukti.

Jika sebuah buku disita hanya karena isinya dianggap berbahaya, tanpa ada bukti konkret bahwa buku tersebut secara fisik digunakan dalam tindak pidana, maka penyitaan itu tidak sah secara prosedural dan melanggar hak atas kepastian hukum.

Lebih mendasar lagi, praktik ini bertentangan dengan konstitusi (inkonstitusional). Hak untuk memiliki dan membaca buku dilindungi oleh UUD NRI 1945.

Pasal 28E menjamin kebebasan berekspresi, sementara Pasal 28F menjamin hak setiap orang untuk memperoleh, memiliki, dan menyimpan informasi.

Poin ini dipertegas oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan No. 6-13-20/PUU-VIII/2010, yang menegaskan bahwa pelarangan atau penyitaan buku tidak bisa dilakukan sepihak oleh aparat penegak hukum.

Hanya pengadilan yang berwenang menyatakan sebuah buku terlarang setelah melalui proses peradilan yang adil. Dengan demikian, penyitaan buku tanpa mekanisme peradilan jelas merupakan pelanggaran konstitusi.

Atas dasar itu, Kelompok Studi Kader (KLASIKA) menyatakan sikap tegas:

1. Menolak bangkitnya kembali praktik-praktik otoritarianisme. Sejarah telah mencatat bagaimana rezim di masa lalu menggunakan dalih keamanan untuk membredel, melarang, dan menyita buku demi membungkam kritik. Kita tidak boleh membiarkan trauma kolektif ini hidup kembali dan menggerus demokrasi.

2. Mendesak aparat penegak hukum untuk menghentikan praktik penyitaan buku yang tidak relevan dengan tindak pidana. Mengaitkan isi buku dengan perbuatan pidana tanpa hubungan langsung adalah tindakan yang keliru dan melanggar prinsip hukum yang adil.

3. Meminta pemerintah dan semua pihak untuk menghormati kebebasan berekspresi dan kebebasan akademik. Kebebasan ini adalah syarat mutlak bagi tumbuhnya kehidupan demokrasi yang sehat, sebagaimana dijamin dalam Pasal 28E dan 28F UUD 1945.

Demokrasi tumbuh dari keberanian untuk berbeda pendapat dan kebebasan untuk membaca.

Menyita buku secara serampangan hanya akan mengulang pola lama pembungkaman yang seharusnya sudah kita tinggalkan. Demokrasi hanya bisa tumbuh jika keberagaman gagasan dijaga, bukan dibungkam. (*)

Baca Juga: Klasika Lampung Tolak Revisi UU TNI

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *