Kriminalisasi Petani Anak Tuha: Negara Pro-Korporasi

oleh
Kriminalisasi Petani Anak Tuha: Negara Pro-Korporasi
Ratusan petani Anak Tuha menggeruduk Mapolres Lampung Tengah pada Senin (6/10/2025) pagi. Dokumentasi YLBH-LBH Bandar Lampung

DASWATI.ID – Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) – LBH Bandar Lampung mengecam keras tindakan kriminalisasi yang menimpa delapan petani di Kecamatan Anak Tuha, Kabupaten Lampung Tengah.

Kriminalisasi ini dianggap sebagai potret nyata keberpihakan aparat penegak hukum kepada kepentingan modal, bukan kepada keadilan rakyat, dan merupakan bentuk pelanggaran hak asasi manusia serta penghianatan terhadap amanat konstitusi.

“Delapan petani Anak Tuha yang dipanggil dan diperiksa oleh Polres Lampung Tengah bukanlah pelaku kejahatan, melainkan korban dari sistem agraria yang timpang, negara yang abai, dan aparat yang lebih sibuk mengamankan kepentingan korporasi ketimbang melindungi rakyatnya,” kata Direktur LBH Bandar Lampung, Sumaindra Jarwadi, dalam siaran persnya, Senin (6/10/2025) sore. 

Simbol Perlawanan di Tengah Konflik Agraria

Indra menuturkan pemanggilan delapan petani tersebut terjadi di tengah konflik agraria yang telah berlangsung bertahun-tahun di Anak Tuha.

Ratusan petani dilaporkan memadati halaman Polres Lampung Tengah pagi tadi untuk mengawal rekan mereka, suasana yang digambarkan sebagai simbol perlawanan terhadap praktik kriminalisasi.

“Konflik ini berakar dari ketimpangan struktural dalam penguasaan tanah di Lampung. Tanah yang sebelumnya menjadi sumber kehidupan warga kini dikuasai oleh korporasi perkebunan besar yang bersekutu dengan kekuasaan lokal,” jelas Indra. 

Baca Juga: Benang Kusut Perampasan Ruang Hidup di Tanah Andalas

LBH menyoroti bahwa kriminalisasi ini terjadi ketika:

  1. Petani menanam, mereka dituduh menyerobot;
  2. Petani bertahan, mereka disebut melawan hukum;
  3. Petani bersuara, mereka dikriminalisasi.

“Para petani dituduh melanggar hukum padahal tanah-tanah tersebut telah mereka olah sejak jauh sebelum perusahaan datang dengan izin yang sering kali penuh rekayasa, alat berat, dan pagar kawat,” tegas Indra. 

Kritik terhadap Kegagalan Negara dan Aparat Penegak Hukum

Indra menegaskan bahwa kriminalisasi terhadap petani Anak Tuha merupakan potret nyata dari kegagalan reforma agraria dan kegagalan penegakan hukum yang berkeadilan. LBH Bandar Lampung menyebut bahwa negara tidak boleh terus menutup mata.

“Negara seharusnya hadir sebagai pelindung, bukan penindas; sebagai penegak keadilan, bukan perpanjangan tangan modal,” harap dia.

Namun, realitasnya menunjukkan bahwa aparat penegak hukum justru menjadi alat represi, menakut-nakuti rakyat dengan ancaman hukum yang dimanipulasi demi melanggengkan kekuasaan ekonomi segelintir orang.

Kehadiran ratusan petani di depan Polres hari itu juga dinyatakan sebagai pernyataan politik bahwa rakyat kecil tidak akan diam ketika hak-hak dasarnya dirampas, serta menegaskan bahwa tanah adalah soal eksistensi dan martabat manusia, bukan sekadar soal ekonomi.

Tuntutan Penghentian Proses Hukum

LBH Bandar Lampung mendesak Kepolisian Republik Indonesia, khususnya Polres Lampung Tengah, untuk segera menghentikan seluruh proses hukum terhadap para petani.

LBH menegaskan bahwa proses hukum yang sedang berjalan saat ini cacat secara moral dan politis, karena berpijak pada kriminalisasi, bukan pada keadilan. LBH juga mendesak agar institusi kepolisian mengembalikan fungsinya sebagai pelindung dan pengayom masyarakat.

Selain itu, LBH mendesak Pemerintah Provinsi Lampung dan pemerintah pusat untuk segera turun tangan dan menyelesaikan akar konflik melalui jalur reforma agraria sejati, bukan dengan pendekatan keamanan.

“Kasus di Anak Tuha hanyalah salah satu dari banyak tragedi agraria di Indonesia. Kriminalisasi terhadap petani adalah kriminalisasi terhadap masa depan bangsa, karena petani adalah penjaga kehidupan, bukan musuh negara,” ujar dia.

LBH Bandar Lampung juga mengingatkan bahwa selama negara membiarkan korporasi menguasai tanah dengan kekerasan dan menindas rakyat, selama itu pula demokrasi bangsa akan tetap pincang.

Baca Juga: Mencari Keadilan di Ruang Parlemen: Suara Warga Anak Tuha Didengar Komisi I DPRD

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *