Lampung 2025: Sektor Pertanian Menua di Tengah Ledakan Bonus Demografi

oleh
Serikat Petani Lampung Bakal Geruduk Kementerian ATR/BPN Tagih Hak Tanah Garapan
Aksi unjuk rasa Serikat Petani Lampung di Tugu Adipura Kota Bandarlampung, Rabu (29/5/2024). Foto: Josua Napitupulu

DASWATI.ID – Provinsi Lampung kini berada di persimpangan jalan krusial dalam pembangunan daerahnya.

Sebagai salah satu lumbung pangan nasional, Lampung menghadapi tantangan besar berupa krisis regenerasi petani di saat daerah ini sebenarnya sedang menikmati ledakan bonus demografi pemuda.

Laporan terbaru dari Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Lampung dalam publikasi “Analisis Isu Terkini Provinsi Lampung 2025” pada Jumat (19/12/2025) mengungkapkan bahwa sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan masih menjadi tulang punggung ekonomi dengan kontribusi mencapai 26,21 persen terhadap PDRB Lampung tahun 2024.

Sektor ini juga menjadi penyerap tenaga kerja terbesar yang menampung sekitar 41,17 persen penduduk bekerja pada Agustus 2025.

Baca Juga: Senjakala Petani dan Kedaulatan Pangan Lampung

Ironi di Pematang Sawah

Namun, di balik dominasinya, wajah pertanian Lampung kian menua.

Data BPS Lampung menunjukkan bahwa pelaku usaha tani perorangan didominasi oleh kelompok usia 45–54 tahun (27,36%), sementara kelompok usia di atas 65 tahun masih sangat aktif mencapai 13,71 persen.

Sebaliknya, partisipasi pemuda sangat minim; kelompok usia 15–24 tahun hanya menyumbang 1,15 persen pelaku usaha tani.

Rendahnya minat generasi muda untuk terjun ke ladang dipicu oleh beberapa faktor struktural.

Fragmentasi lahan menyebabkan rata-rata penguasaan lahan petani semakin sempit, yang berdampak langsung pada rendahnya produktivitas dan pendapatan.

Selain itu, sektor pertanian masih identik dengan pekerja informal, mencapai hampir 90 persen di Lampung, yang minim perlindungan sosial dan hukum.

Baca Juga: Pengawasan Hutan Lampung: Antara Pusat dan Korporasi

Potensi Besar Pemuda yang Bergeser

Di sisi lain, Lampung memiliki modal besar berupa pemuda (usia 16–30 tahun) yang mencakup 22,71 persen dari total populasi, atau sekitar 1 dari 5 penduduk adalah pemuda.

Kelompok ini merupakan “gerbong besar” yang diharapkan menjadi motor akselerasi menuju visi Indonesia Emas 2045.

Sayangnya, potensi ini belum mengalir ke sektor pertanian. Mayoritas pemuda Lampung kini lebih memilih bekerja di sektor jasa (57,57%) ketimbang sektor pertanian (27,73%).

Hal ini disebabkan oleh persepsi bahwa pertanian adalah sektor yang kurang bergengsi dan tidak menjamin masa depan dibandingkan sektor tersier.

Tantangan Pendidikan dan Kesejahteraan

Kapasitas pemuda Lampung juga masih memerlukan penguatan. Meski angka melek huruf hampir mencapai 100 persen, proporsi pemuda yang menamatkan perguruan tinggi di Lampung adalah yang terendah di Pulau Sumatra, yakni hanya 9,20 persen.

Kesejahteraan petani yang diukur melalui Nilai Tukar Petani (NTP) memang secara konsisten berada di atas angka 100.

Namun, data subjektif menunjukkan bahwa 56,94 persen petani merasa kondisi ekonomi mereka stagnan atau “sama saja” dibandingkan tahun sebelumnya.

Menuju Solusi Kolaboratif

BPS Lampung menekankan bahwa pembangunan kepemudaan dan pertanian harus dilakukan melalui pendekatan kolaboratif.

Modernisasi pertanian, penguatan agroindustri, dan akses kredit yang lebih mudah, mengingat 52,82 persen petani masih terkendala agunan, menjadi kunci agar sektor ini kembali menarik bagi generasi muda.

Jika potensi bonus demografi ini tidak segera diarahkan untuk memodernisasi sektor pertanian yang sedang “menua”, Lampung berisiko kehilangan momentum emasnya dalam pembangunan ekonomi yang berkelanjutan.

Baca Juga: Lakon Pangan di Tanah Sai Bumi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *