DASWATI.ID – Ratusan warga bersama LBH laporkan dugaan mafia tanah di Lampung Timur ke Menteri ATR/BPN Hadi Tjahjanto.
YLBHI-LBH Bandarlampung bersama 390 KK petani Desa Sripendowo dan 7 desa lainnya mengirimkan surat pengaduan ke Menteri ATR/BPN (Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional) untuk mengusut tuntas dugaan adanya mafia tanah di Lampung Timur.
“Surat tersebut sebagai upaya petani untuk menagih janji Menteri ATR/BPN untuk ‘GEBUK Mafia Tanah’,” ujar Direktur LBH Bandarlampung, Sumaindra Jarwadi, Jumat (1/12/2023).
LBH laporkan dugaan mafia tanah di Lampung Timur ke Menteri ATR/BPN.
Dalam keterangannya, Indra menuturkan pengaduan tersebut sebagai upaya masyarakat penggarap lahan untuk mencari keadilan atas tanah yang telah mereka garap sejak tahun 1968.
Sebelumnya, ratusan petani penggarap ini juga telah berupaya meminta keadilan ke Kanwil Kementerian ATR/BPN Provinsi Lampung pada Kamis (30/11/2023).
Baca Juga: Kanwil ATR/BPN Telusuri Dugaan Mafia Tanah di Lampung Timur
Para petani tersebut menggarap lahan seluas ±401 hektare di Desa Wana, Kecamatan Melinting, Kabupaten Lampung Timur.
Ratusan petani itu berasal dari delapan desa di Lampung Timur yakni Desa Sripendowo, Desa Bandar Agung, Desa Waringin Jaya, Desa Wana, Desa Srimenanti, Desa Giring Mulyo, Desa Sribhawono, Desa Brawijaya.
“Lahan yang telah mereka garap tersebut kemudian terbit Sertifikat Hak Milik (SHM) atas nama orang lain tanpa sepengetahuan para penggarap,” kata Indra.
Masyarakat dari delapan desa tersebut telah menggarap lahan di Desa Wana selama puluhan tahun turun temurun hingga hari ini.
“Kemudian di atas lahan yang mereka garap tersebut pada tahun 2021 terbit sertifikat atas nama orang lain tanpa sepengetahuan masyarakat penggarap,” jelas Indra.
Dia mengatakan masyarakat penggarap lahan tersebut tidak pernah mengalihkan lahan tersebut kepada orang lain, baik sewa menyewa maupun melakukan jual beli.
“Terlebih masyarakat penggarap lahan tidak pernah melihat atau bahkan tahu adanya pengukuran yang dilakukan oleh Kantor Pertanahan ATR/BPN Lampung Timur, bahkan jalan-jalan area garapan serta makam juga ikut masuk dalam sertifikat,” ujar Indra.
Petani penggarap lahan kemudian mengetahui terbitnya SHM itu pada tahun 2022 ketika ada seseorang yang tidak dikenal datang membawa bukti SHM dan meminta penggarap untuk membayar SHM tersebut.
“Sepengetahuan masyarakat, lahan yang mereka garap masuk ke dalam kawasan hutan Register 38 Gunung Balak,” tutur dia.
Sehingga, lanjut Indra, masyarakat tidak berupaya atau tidak pernah melakukan pengurusan secara administratif pertanahan dengan melakukan pendaftaran lahan ke Kantor Pertanahan ATR/BPN Lampung Timur.
Pasca terbitnya SHM, jelas Indra, petani penggarap kerap kali didatangi oknum-oknum yang mencari lahan dengan menunjukan kepemilikan SHM yang terbit pada tahun 2021.
“Masyarakat menerima bentuk-bentuk intimidasi, somasi, dan paksaan untuk membayar sertifikat sebesar Rp150.000.000 hingga Rp200.000.000 sesuai dengan luas lahan yang digarap,” ujar dia.
LBH Bandarlampung mencatat lebih dari 390 KK menjadi korban dugaan mafia tanah tersebut.
“Mereka diancam akan dilaporkan ke pihak kepolisian atas penyerobotan lahan,” pungkas Indra.
Baca Juga: Mafia Tanah di Lampung Timur Kembali Beraksi