Oleh: Mahendra Utama, Eksponen 1998
DASWATI.ID – Dalam lanskap politik lokal Indonesia, sebuah fenomena yang mengkhawatirkan kian mengemuka: tim sukses (timses) kepala daerah yang melampaui batas kewenangan setelah jagoannya terpilih.
Alih-alih kembali ke peran semula sebagai pendukung kampanye, mereka justru merambah ke kursi empuk birokrasi, bertindak layaknya “menteri bayangan” yang ikut mengatur anggaran, membubuhkan tanda tangan pada keputusan, bahkan mencampuri ranah teknis yang sejatinya adalah domain pejabat resmi.
Ini bukan sekadar pelanggaran etika politik; ini adalah erosi fundamental terhadap logika demokrasi. #Timses #DemokrasiIndonesia #PolitikLokal
Mandat rakyat secara eksplisit dan konstitusional hanya diberikan kepada kepala daerah yang terpilih, bukan kepada relawan atau tim sukses yang telah berjasa dalam kampanye.
Regulasi di Indonesia, khususnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, telah dengan tegas mengatur batasan pembentukan tim kampanye.
Pasal 280 ayat (2) UU Pemilu secara jelas melarang Aparatur Sipil Negara (ASN) untuk menjadi bagian dari tim kampanye, dengan ancaman sanksi pidana dan denda.
Demikian pula, beberapa pejabat negara seperti hakim, anggota BPK, direksi BUMN, hingga gubernur aktif, juga dilarang masuk timses.
Tugas utama tim kampanye sebatas menyampaikan visi-misi kandidat, menyambungkan aspirasi masyarakat, dan mengorganisasi massa—tidak lebih.
Namun, dalam praktiknya, garis batas ini sering kali kabur, memunculkan Timses yang merasa memiliki hak istimewa, bahkan berani menekan birokrasi demi kepentingan pribadi atau kelompok.
Praktik semacam ini sangat tidak lazim di negara-negara demokrasi mapan.
Di Amerika Serikat, staf kampanye presiden bubar setelah pemilu; jika ingin masuk pemerintahan, mereka harus melalui penunjukan resmi dan prosedur hukum yang ketat, bahkan memerlukan persetujuan Senat, menegaskan pemisahan jelas antara tim kampanye dan staf pemerintah.
Inggris pun menerapkan sistem civil service yang profesional dengan kode etik ketat, memastikan pemerintahan dijalankan oleh perdana menteri dan menteri sah, sementara tim kampanye kembali ke perannya semula. Campur tangan timses dianggap sebagai bentuk konflik kepentingan.
Serupa, di Jerman, meskipun partai politik mengorganisir kampanye, keputusan eksekutif sepenuhnya berada di tangan pejabat terpilih dan birokrasi profesional setelah pemilu.
Fenomena ini selaras dengan apa yang ditulis Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt dalam How Democracies Die (2018): “When campaign networks begin to operate as part of government, democracy becomes performative — not substantive.”
Ketika jaringan kampanye masuk ke ruang pemerintahan, demokrasi hanya menjadi panggung pertunjukan, bukan mekanisme substantif yang menjamin keadilan dan akuntabilitas. #Pemilu2024
Bahaya Timses yang menjelma menjadi penguasa bayangan membawa sejumlah risiko serius:
- Kaburnya akuntabilitas publik. Masyarakat akan kebingungan siapa sebenarnya pembuat keputusan yang sah: pejabat resmi atau tim bayangan?
- Birokrasi kehilangan netralitas. ASN yang seharusnya profesional dapat tergoda untuk mengikuti instruksi informal demi menjaga “restu” dari tim sukses, mengikis profesionalisme dan integritas.
- Pintu nepotisme terbuka lebar. Timses yang merasa berjasa akan menuntut balas jasa, baik berupa jabatan, proyek, maupun akses anggaran, mengorbankan meritokrasi.
- Demokrasi kehilangan substansinya. Mandat rakyat, yang merupakan dasar legitimasi kekuasaan, dialihkan secara de facto ke tangan pihak yang tidak memiliki legitimasi elektoral. #Birokrasi
Membayangkan birokrasi sebagai sebuah dapur umum, kepala daerah adalah koki utama yang bertanggung jawab, dan ASN adalah kru dapur yang memahami resep resmi.
Timses seharusnya duduk di meja makan, memberikan masukan yang konstruktif dan aspiratif. Namun, jika timses nekat masuk dapur, merebut sendok, dan mengubah resep sesuka hati, hasilnya bukan lagi masakan sehat, melainkan “eksperimen kacau yang bikin perut publik mules berjamaah”.
Maka, sudah saatnya bagi Indonesia untuk menegakkan batas-batas demokrasi ini dengan tegas. Diperlukan penegakan hukum yang konsisten terhadap pelanggaran Pasal 280 UU Pemilu.
Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) harus lebih proaktif dalam pengawasan, tidak hanya menunggu laporan.
Kepala daerah juga harus memiliki budaya politik yang sehat dan berani memisahkan secara tegas urusan timses dan birokrasi.
Terakhir, pendidikan publik krusial untuk menumbuhkan pemahaman bahwa timses bukanlah penguasa bayangan, melainkan sekadar penghubung saat kampanye. #SupremasiHukum
Timses adalah bagian tak terpisahkan dan penting dari demokrasi, namun perannya hanya relevan dalam konteks kampanye.
Setelah itu, mereka harus kembali ke peran semula di luar pemerintahan. Jika tidak, yang akan kita dapatkan bukanlah demokrasi yang substantif, melainkan demokrasi semu yang dikendalikan oleh “pejabat bayangan”. Ini adalah ancaman nyata terhadap integritas pemerintahan dan kepercayaan publik. (*)
Baca Juga: Lampung Kian Matang Berdemokrasi

