Membangun Budaya Risiko, Mencegah Maladministrasi Pelayanan Publik

oleh
Membangun Budaya Risiko, Mencegah Maladministrasi Pelayanan Publik
Perencana Ahli Madya Kementerian PPN/Bappenas, Andi Setyo Pambudi. Foto: Istimewa

Oleh: Andi Setyo Pambudi—Perencana Ahli Madya Kementerian PPN/Bappenas

DASWATI.ID — Dalam dunia pembangunan yang semakin dinamis, istilah Volatility, Uncertainty, Complexity, dan Ambiguity (VUCA) bukan sekadar jargon manajemen.

Ia adalah potret nyata dari situasi yang kita hadapi hari ini: perubahan yang cepat, ketidakpastian yang tinggi, kompleksitas kebijakan, dan ambiguitas arah pembangunan.

Di tengah kondisi itu, pemerintah dituntut untuk tidak hanya merencanakan dengan baik, tetapi juga mengelola risiko dengan cerdas dan membangun kepercayaan publik yang kokoh.

Peraturan Presiden Nomor 39 Tahun 2023 tentang Manajemen Risiko Pembangunan Nasional (MRPN) bisa dibilang sebagai titik balik penting dalam cara pemerintah melihat pembangunan.

Kalau dulu fokusnya hanya pada “bagaimana menyelesaikan masalah,” kini perhatiannya bergeser menjadi “bagaimana mengantisipasi risiko sebelum masalah itu muncul.

Risiko tidak lagi dianggap musuh yang harus dihindari, melainkan bagian dari kenyataan yang perlu dipahami, dikelola, dan dikendalikan agar tidak menggagalkan tujuan besar pembangunan nasional.

Langkah ini semakin kuat dengan terbitnya Keputusan Menteri PPN/Kepala Bappenas Nomor KEP.84/M.PPN/HK/10/2025 yang membentuk Sekretariat Komite MRPN.

Kehadiran sekretariat ini bukan sekadar tambahan struktur birokrasi, melainkan simpul strategis yang menghubungkan berbagai kementerian dan lembaga agar manajemen risiko bisa berjalan selaras lintas sektor.

Di sinilah pembangunan mulai bergerak ke arah yang lebih matang. Bukan hanya merencanakan program, tapi juga memastikan setiap rencana siap menghadapi ketidakpastian.

Inilah wajah baru birokrasi yang sedang dibangun.

Bukan hanya bekerja cepat, tetapi juga berpikir jauh ke depan. Di sinilah letak pentingnya budaya risiko, sebuah nilai bersama yang menumbuhkan kebiasaan berpikir antisipatif, terbuka terhadap perubahan, dan berani bertanggung jawab atas setiap keputusan.

Karena pada akhirnya, budaya risiko bukan hanya tentang manajemen proyek atau laporan teknis, melainkan tentang cara kita membangun bangsa dengan kesadaran bahwa masa depan harus dijaga sejak hari ini.

Namun, pembangunan tidak akan berarti banyak tanpa pelayanan publik yang bersih dan adil. Sayangnya, realitas di lapangan masih menunjukkan betapa maladministrasi menjadi penyakit lama yang sulit sembuh.

Berdasarkan laporan Ombudsman RI tahun 2024, bentuk maladministrasi paling banyak adalah penundaan berlarut (32,27%), tidak memberikan pelayanan (30,80%), dan penyimpangan prosedur (20,01%).

Angka-angka ini bukan sekadar statistik, tapi potret ketidakpastian yang dialami masyarakat setiap hari ketika berhadapan dengan birokrasi.

Maladministrasi sejatinya adalah cermin buram dari tata kelola publik. Ia muncul ketika aparatur melampaui wewenang, mengabaikan kewajiban, atau menggunakan kekuasaan untuk tujuan yang menyimpang.

Dampaknya pun luas: dari kerugian ekonomi masyarakat, hilangnya potensi investasi, hingga runtuhnya kepercayaan publik terhadap pemerintah. Di sinilah pengawasan memegang peranan vital.

Tanpa pengawasan yang efektif (baik internal melalui Inspektorat K/L/D maupun eksternal melalui Ombudsman dan masyarakat), maladministrasi akan terus hidup dalam diam, seperti api kecil di balik sekam birokrasi.

Pelayanan publik, sebagai contoh di sektor kehutanan, menghadapi tantangan yang tak kalah kompleks. Dari izin pemanfaatan hasil hutan, penanganan konflik tenurial, hingga konservasi keanekaragaman hayati. Semuanya menuntut tata kelola yang transparan dan akuntabel.

Namun, di lapangan, pelayanan kerap tersendat oleh tumpang tindih kewenangan, minimnya literasi risiko, dan budaya kerja yang belum sepenuhnya inklusif terhadap prinsip kehati-hatian.

Banyak pegawai teknis yang masih menganggap risiko sebagai urusan pimpinan atau auditor, bukan bagian dari tanggung jawab bersama.

Untuk itu, membangun budaya risiko di sektor kehutanan bukan pilihan, melainkan keharusan. Budaya risiko mengajarkan setiap pegawai untuk berpikir “bagaimana jika.” 

Bagaimana jika terjadi kebakaran hutan besar? Bagaimana jika izin yang dikeluarkan menimbulkan konflik sosial? Bagaimana jika kebijakan tidak berpihak pada keberlanjutan lingkungan?

Pertanyaan-pertanyaan semacam ini menumbuhkan kesadaran bahwa risiko bukan sekadar ancaman, melainkan peluang untuk memperbaiki sistem sebelum bencana terjadi.

Tantangan lain datang dari kapasitas sumber daya manusia. Tidak semua aparatur memahami konsep manajemen risiko strategis dan operasional.

Padahal, dalam era VUCA-BANI (Brittle, Anxious, Non-linear, Incomprehensible), ketidakmampuan mengelola risiko bisa berakibat fatal: proyek tertunda, anggaran terserap tanpa hasil, bahkan krisis kepercayaan publik.

Oleh karena itu, pelatihan berkelanjutan, penyusunan risk register, dan pembentukan sistem peringatan dini (early warning system) menjadi investasi penting bagi birokrasi masa depan.

Peran Inspektorat menjadi semakin strategis. Ia bukan lagi sekadar “penjaga kepatuhan,” tetapi juga katalis tata kelola risiko.

Inspektorat dituntut menjadi agen perubahan yang mendorong audit berbasis risiko, mengawal perencanaan berbasis bukti, dan memastikan pembangunan nasional berjalan adaptif serta berintegritas.

Kolaborasi antara Inspektorat, perencana pembangunan (Bappenas/Bappeda), dan pengendali pembangunan menjadi kunci untuk memastikan risiko diidentifikasi sejak tahap perencanaan hingga evaluasi.

Lebih jauh, sinergi antara Kementerian Kehutanan dan Ombudsman RI akan membuka peluang baru untuk memperkuat akuntabilitas publik.

Melalui budaya risiko, pengawasan tidak hanya bersifat reaktif (menangani laporan), tetapi juga proaktif (mencegah maladministrasi).

Misalnya, dengan sistem pelaporan terbuka yang memungkinkan masyarakat melaporkan potensi pelanggaran sejak dini, atau penggunaan dashboard risiko berbasis data untuk memantau tumpang tindih izin dan konflik tenurial.

Transparansi bukan hanya simbol keterbukaan, tapi juga mekanisme perlindungan publik.

Langkah-langkah strategis untuk memperkuat budaya risiko sudah mulai dirintis di Kementerian Kehutanan seperti integrasi analisis risiko ke dalam Renstra, peningkatan kapasitas SDM, penguatan peran Inspektorat Jenderal, dan pemanfaatan teknologi seperti big data dan GIS.

Dengan data spasial, misalnya, pemerintah bisa memantau perubahan tutupan lahan secara real time, mendeteksi potensi kebakaran hutan, hingga memprediksi area rawan konflik.

Semua ini bermuara pada satu tujuan yaitu agar kebijakan tidak hanya cepat dan efisien, tapi juga tepat sasaran dan berkelanjutan.

Pada akhirnya, membangun budaya risiko dan menekan maladministrasi bukan sekadar urusan administratif. Ia adalah perjalanan menuju birokrasi yang lebih manusiawi, yang melayani dengan hati, bekerja dengan data, dan memutus mata rantai penyimpangan.

Sebab, kepercayaan publik tidak lahir dari pidato atau slogan, melainkan dari konsistensi tindakan kecil yang membangun rasa aman dan adil.

Di situlah pembangunan sejati berakar, yaitu ketika pelayanan publik menjadi wajah keadilan, dan budaya risiko menjadi nadi yang menjaga keberlanjutan bangsa. (*)

Baca Juga: Langkah Awal Sawit yang Lebih Berkelanjutan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *