Oleh: Refi Meidiantama, S.H., M.H.– Dosen Hukum Pidana Universitas Lampung
DASWATI.ID – Dalam tradisi hukum acara pidana di Indonesia, “Undue Delay” atau keterlambatan penanganan perkara secara tidak wajar dan penundaan berlarut khususnya oleh kepolisian selama ini ditempatkan dalam ruang gelap proses penegakan hukum.
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) 1981 tidak pernah menyediakan mekanisme evaluasi atau koreksi terhadap tindakan penyidik yang menunda penanganan perkara tanpa alasan sah.
Kekosongan ini bukan sekadar celah administratif, melainkan ruang impunitas yang menggerogoti sendi-sendi keadilan.
Ketika penyidik dapat menahan berkas, membiarkan laporan masyarakat mengendap hingga bertahun-tahun, atau menunda penyidikan tanpa kontrol yuridis.
Keterlambatan ini bukanlah asumsi atau wacana normatif belaka. Data empiris memperlihatkan kenyataan yang sebenarnya.
Dalam liputan Konsentris.id misalnya berkaitan dengan kasus pemerkosaan anak di Bandar Lampung yang tidak kunjung diproses selama empat tahun, meski identitas pelaku telah diketahui, bukti visum telah lengkap, dan desakan keluarga telah berulang kali disampaikan.
Di Bandar Lampung, jika merujuk pada kasus yang ditangani, YLBHI LBH Bandar Lampung mencatat enam kasus undue delay dalam dua tahun terakhir, mayoritas dialami perempuan, anak, dan masyarakat miskin kelompok yang paling minim akses politik dan paling rentan diabaikan.
Situasi ini memperlihatkan bahwa undue delay bukan kesalahan teknis, melainkan gejala ketidaksetaraan struktural.
Dalam perspektif hak asasi manusia, undue delay adalah bentuk penyangkalan terhadap hak fundamental korban dan tersangka.
Konvensi ICCPR (International Covenant on Civil and Political Rights) atau Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik secara tegas menyatakan Hak untuk diadili tanpa penundaan yang tidak semestinya atau right to be tried without undue delay merupakan hak sipil yang diatur dalam Pasal 14 ayat (3) ICCPR yang diratifikasi oleh Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan ICCPR.
Undue delay memungkinkan pelaku terus bebas dan berpotensi mengulangi kejahatan, memperpanjang luka korban, dan mengikis legitimasi lembaga hukum.
Ia tidak hanya memproduksi ketidakpastian hukum, tetapi juga menciptakan rantai viktimisasi yang terus berulang: korban kembali menjadi korban, kejahatan kembali menjadi kejahatan, dan negara kembali abai.
Dalam konteks draf RUU KUHAP yang baru disahkan kemarin terdapat Pasal 158 huruf e sebagai koreksi struktural yang lama tertunda.
Ketentuan ini memberikan kewenangan baru dalam praperadilan untuk menguji “penundaan penanganan perkara tanpa alasan yang sah.”
Norma ini tidak hanya penting, tetapi mendesak, ia hadir untuk menutup kekosongan hukum yang telah menyebabkan ribuan korban kehilangan hak atas kejelasan penyidikan.
Dengan adanya norma ini, penyidik tidak lagi dapat berlindung di balik jawaban klise seperti “masih menunggu petunjuk”, “masih dalam proses”, atau “keterbatasan sumber daya”, karena semua alasan tersebut dapat diuji secara yuridis di hadapan hakim.
Baca Juga: KUHAP Disahkan: Menkum Harap Hukum Acara Pidana Jadi Lebih Adil
Objek Praperadilan yang diperluas ini merupakan mekanisme akuntabilitas bukan hanya terhadap tindakan koersif, tetapi juga terhadap kelambanan birokratis yang selama ini tidak tersentuh.
Selain itu, terdapat pula ketentuan dalam pasal 23 ayat (6) Dalam hal Penyelidik atau Penyidik tidak menanggapi Laporan atau Pengaduan, dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) Hari terhitung sejak Laporan atau Pengaduan diterima, pelapor atau pengadu dapat melaporkan Penyelidik atau Penyidik yang tidak menindaklanjuti Laporan atau Pengaduan kepada atasan Penyidik atau pejabat pengemban fungsi pengawasan dalam Penyidikan.
Namun pasal ini hanya akan menjadi pasal mati apabila tidak didukung oleh keberanian institusi peradilan dan ketegasan mekanisme pengawasan internal Polri.
Undue delay sejatinya merupakan bentuk kegagalan institusional pada tiga tingkatan: kegagalan profesionalisme ketika penyidik tidak bekerja sesuai standar waktu yang wajar; kegagalan independensi ketika kepolisian selalu memilih untuk menunda laporan masyarakat kecil; dan kegagalan akuntabilitas ketika tidak ada konsekuensi bagi penyidik yang bertindak lamban.
Selama kegagalan ini tidak diperbaiki, maka pembaruan hukum acara pidana hanya akan menjadi bias belaka.
Pada akhirnya, undue delay adalah wajah paling senyap dari ketidakadilan. Ia tidak menimbulkan letupan gas air mata seperti dalam aksi unjuk rasa, tetapi pelan-pelan merobek kepercayaan masyarakat terhadap negara, dan berdampak pada meluasnya hashtag No Viral No Justice di media sosial.
Undue delay membiarkan pelaku bebas, membiarkan korban menunggu, dan membiarkan hukum kehilangan makna. Negara tidak bisa terus membiarkan ruang-ruang gelap ini terbuka.
Pasal 158 huruf e dalam draf RUU KUHAP terbaru membuka peluang koreksi, tetapi peluang ini hanya bermakna apabila negara berani menegakkan akuntabilitas tanpa pandang bulu.
Jika tidak, maka kita sedang menyaksikan bukan hanya keterlambatan penanganan perkara, tetapi keterlambatan negara dalam menjalankan mandat keadilannya.
Dan persoalan undue delay bukan hanya soal efisiensi prosedur, tetapi soal apakah negara masih menghormati hak warga negaranya untuk mendapatkan keadilan apalagi mekanisme praperadilan merupakan Tindakan Post Factum bukan Pre Factum. (*)

