DASWATI.ID – Sejak Pilkada 2005 hingga Pilkada 2020 kerja sama politik antarpartai di Provinsi Lampung selalu didasarkan pada kepentingan.
Pilkada 2005 merupakan pemilihan kepala daerah secara langsung pertama dalam sejarah pemilu Indonesia.
Di Provinsi Lampung, pilkada ini diselenggarakan di Lampung Selatan, Lampung Tengah, Lampung Timur, Way Kanan, Kota Bandarlampung, dan Kota Metro.
“Secara konseptual, kerja sama politik di daerah hanya ada dua, ideologis dan pragmatis,” kata pengamat politik dari Universitas Lampung Darmawan Purba di Bandarlampung, Minggu (31/3/2024).
Koalisi partai politik secara ideologis lebih kepada kesamaan ideologi atau prinsip dasar yang mengutamakan nilai dan program atau gagasan.
“Sedangkan pragmatis tentu bicara tentang pertemuan kepentingan dan kerja sama politik yang mendesak. Pertanyaannya kemudian, apakah ada koalisi partai yang ideologis?” Ujar Darmawan.
Menurut dia, model koalisi partai politik secara ideologis sulit ditemukan dalam penyelenggaraan pilkada, bahkan pemilu sekalipun.
Pengikat koalisi antarpartai secara ideologi dan program cenderung lebih cair, kecuali dalam hal isu agama.
Sehingga kerja sama politik yang terbangun antarpartai lebih kepada figur bakal calon kepala daerah.
“Secara ideologis mungkin sudah sulit ditemukan pemodelan koalisi seperti itu. Mayoritas koalisi itu karena faktor-faktor kepentingan yang mendesak dan ambang batas yang 20 persen,” kata dia.
Ambang Batas dan Sistem Multipartai
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada mensyaratkan partai politik atau gabungan partai politik dapat mendaftarkan pasangan calon jika telah memenuhi persyaratan perolehan paling sedikit 20% dari jumlah kursi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau 25% dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah di daerah yang bersangkutan.
Darmawan menilai syarat ambang batas 20% dalam UU Pilkada memberatkan partai politik dengan sistem multipartai di Indonesia.
“Ambang batas itu ukuran yang sangat tinggi sebenarnya, apalagi tidak ada partai dominan. Akhirnya kerja sama pragmatis lebih terkondisi dalam koalisi partai untuk pilkada,” jelas dia.
Ia mengatakan koalisi pragmatis ini pada akhirnya akan merugikan pemilih dengan tidak kompetitifnya kontestasi dalam pemilihan.
Pemilih disajikan bakal calon kepala daerah yang terjebak dalam kepentingan-kepentingan aktor politik tertentu.
“Pemilih dihadapkan pada pilihan-pilihan yang tidak memiliki prinsip rivalitas antara bakal calon kepala daerah seperti integritas, kapasitas, dan kredibilitas. Koalisi partai yang terbangun pragmatis mengabaikan ukuran-ukuran itu,” ujar Darmawan.
Koalisi Campuran
Koalisi partai politik campuran seringkali beranjak dari kepentingan pragmatis, bukan ideologis.
“Sejauh kita mengamati periode pertama kali pilkada langsung, koalisi yang terbentuk itu koalisi campuran, tidak tegak lurus dengan poros koalisi nasional,” kata Darmawan.
Keputusan membentuk koalisi partai politik di daerah pun tidak lepas dari campur tangan pengurus pusat.
Pembentukan koalisi partai politik ini dipengaruhi tarik menarik kepentingan.
“Tarik menarik kepentingan akan sangat memengaruhi kecuali partai-partai yang mengusung Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud sudah tegas memilih di luar pemerintahan,” ujar dia.
Darmawan memandang koalisi partai politik di Pilkada Serentak 2024 akan lebih ramping apabila gabungan partai politik pendukung Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud memilih jadi oposisi pemerintahan.
Kerja sama antarpartai pendukung kedua pasangan capres cawapres di tingkat lokal diharapkan dapat menciptakan keseimbangan politik pada kontestasi Pemilu 2029.
“Karena di 2029 mendatang, untuk bisa menjaga pemilu lebih kompetitif salah satunya dengan mengimbangi penguasaan pemerintah di tingkat lokal. Apalagi ke depan tidak ada lagi penjabat kepala daerah,” tutup Darmawan.
Baca Juga: Calon Kepala Daerah Harus Punya Tiga Modal Ini Jika Ingin Menang Pilkada