DASWATI.ID – Pemerintah Kota Bandarlampung berupaya menghidupkan sejarah Telukbetung yang kaya akan nilai-nilai keberagaman budaya dan agama.
Telukbetung dan Tanjungkarang, dua kota kembar di zaman kolonial Hindia Belanda, merupakan cikal-bakal lahirnya Kota Bandarlampung sebagai ibu kota Provinsi Lampung.
Kota Telukbetung muncul lebih dulu dari pada Kota Tanjungkarang, karena letaknya di tepi pantai Teluk Lampung dan merupakan daerah pelabuhan.
Setelah berpuluh-puluh tahun, Kota Tanjungkarang kemudian muncul sebagai pusat aktivitas pasar, jaraknya 5 km dari Kota Telukbetung ke arah utara.
Dikutip dari laman Kemendikbud “Perkembangan Kota Teluk Betung pada Periode 1857 Sampai 1930 – Balai Pelestarian Nilai Budaya Jawa Barat” disebutkan bahwa Telukbetung (Telok Betong) salah satu kota penting yang terdapat di wilayah Lampung.
Sebelum hadirnya Pelabuhan Bakauheni pada Tahun 1980, Kota Telukbetung merupakan pusat dari seluruh aktivitas ekonomi di wilayah Lampung.
Di samping itu, Kota Telukbetung juga merupakan ibu kota Karesidenan Lampung sejak berakhirnya perang Lampung pada tahun 1857.
Dalam alur sejarah perkembangan Provinsi Lampung, Telukbetung memiliki makna penting sebagai pusat pemerintahan, ekonomi, dan kebudayaan lokal dari suku Lampung, Banten, Jawa, Padang, Bugis, dan etnis Tionghoa.
Namun, setelah penggabungan dengan Tanjungkarang pada 1983, kawasan Telukbetung mengalami penurunan popularitas dan kurang terawat, meskipun masih memiliki potensi sebagai situs warisan sejarah.
Hal inilah yang kemudian mendorong Pemerintah Kota Bandarlampung merevitalisasi Telukbetung Town untuk menjadi destinasi wisata kuliner dan sejarah dengan mempromosikan keragaman budaya, etnis, dan agama sebagai simbol toleransi di Provinsi Lampung.
Menghidupkan sejarah Telukbetung diharapkan menyinambungkan masa lalu, masa sekarang, masa depan.
Revitalisasi Telukbetung Town mencakup pembangunan pedestrian, Gapura Selamat Datang dengan simbol agama dan budaya Lampung, Tugu Pagoda, Tugu Al Qur’an, Tiang Asmaul Husna.
“Boleh saja menggunakan simbol, tapi simbol yang inklusif dan multikultural, tanpa dominasi identitas tunggal,” ujar Guru Besar Bidang Ilmu Antropologi Universitas Lampung Prof Dr Risma Margaretha Sinaga di Bandarlampung, Jumat (25/10/2024).
Prof Risma mengatakan pembangunan Telukbetung Town harus dilakukan berdasarkan riset, berbasis sejarah, dan bottom-up (mendengarkan aspirasi rakyat).
Menghidupkan sejarah Telukbetung sebagai destinasi wisata diharapkan dapat menyinambungkan masa lalu, masa sekarang, masa depan (keberlanjutan).
“Jadi tidak hanya untuk memanjakan mata. Tapi, kita seringkali melupakan budaya dan sejarah,” sambung Prof Risma.
Menurut dia, revitalisasi Telukbetung yang sarat sejarah dan budaya dapat dilakukan melalui pendekatan Teori Multikultural dan Teori Identitas.
Dalam Teori Multikultural, masyarakat multikultural membangun identitas bersama yang didasarkan pada nilai-nilai universal seperti keadilan, persamaan, dan kemanusiaan, meski memiliki identitas yang beragam.
Sedangkan Teori Identitas berfokus pada bagaimana individu membangun dan memahami identitas dirinya dalam konteks sosial yang beragam.
“Sehingga dalam masyarakat multikultural tidak boleh ada yang termarjinalkan karena simbol-simbol etnisitas tertentu,” tegas Prof Risma.
Pemerintah Kota Bandarlampung diharapkan mampu memahami masyarakat Telukbetung yang multikultural.
“Ketidakmampuan pemerintah memahami masyarakat yang multikultural inilah yang akan berpotensi konflik,” kata dia.
Prof Risma pun menilai munculnya penolakan sejumlah elemen masyarakat terhadap pembangunan Tugu Pagoda dan Chinatown di Telukbetung karena rendahnya sensitivitas budaya oleh Pemerintah Kota Bandarlampung.
Baca Juga: Chinatown di Telukbetung Dinilai Hilangkan Kearifan Lokal
“Pemerintah sebenarnya bisa membangun simbol-simbol yang multikultural. Memang, kita tidak dapat menafikan bahwa kedatangan etnis Tionghoa banyak mempengaruhi masyarakat Lampung. Tapi, kenapa harus pecinan?” Kata dia.
Prof Risma pun meminta Pemerintah Kota Bandarlampung untuk berbesar hati mengevaluasi pembangunan Telukbetung Town, dan mendorong dialog antarbudaya untuk mencegah konflik.
Dialog antarbudaya ini memungkinkan terjadinya pertukaran nilai, norma, dan perspektif.
“Masyarakat yang multikultural membutuhkan toleransi, meski kemungkinan untuk konflik selalu ada ketika intoleran hadir. Konflik tidak selalu terbuka, tapi bisa juga hidden conflict,” pungkas dia.