Oleh: Mahendra Utama, Pemerhati Pembangunan
DASWATI.ID – Pada tahun 1985, dunia menyaksikan sebuah capaian monumental ketika Presiden RI Soeharto menerima penghargaan dari Food and Agriculture Organization (FAO) atas keberhasilan Indonesia mencapai swasembada beras.
Di balik momen bersejarah tersebut, terdapat ribuan “pahlawan tak terlihat” – para penyuluh pertanian yang tak kenal lelah berjalan dari desa ke desa, membawa benih unggul dan harapan baru bagi para petani.
Empat dekade berselang, Indonesia kembali memancangkan mimpi besar kedaulatan pangan, sebagaimana ditegaskan oleh Presiden RI Prabowo Subianto yang bertekad menjadikan bangsa ini mampu membantu dan memberi bangsa lain, bukan lagi bangsa yang meminta-minta.
Pertanyaannya, mampukah Indonesia mengulang keajaiban itu?
Pengalaman India, melalui Revolusi Hijau yang dipimpin oleh M.S. Swaminathan, membuktikan bahwa keberhasilan transformasi pertanian tidak hanya bergantung pada benih unggul atau pupuk modern, melainkan pada sistem penyuluhan yang masif dan terorganisir.
Punjab, meskipun hanya 2% dari luas daratan India, menjadi salah satu negara bagian terkaya berkat fondasi penelitian dan penyuluhan pertanian yang solid serta struktur kredit koperasi yang kuat. Hal ini menegaskan bahwa transformasi pertanian membutuhkan ujung tombak yang kuat di lapangan.
Indonesia di era 1980-an juga mengalami hal serupa; swasembada beras bukan sekadar soal teknologi, tetapi bagaimana pengetahuan tersebut sampai ke tangan petani melalui penyuluh yang hidup dan bekerja bersama mereka.
Namun, seiring dengan penerapan otonomi daerah, peran penyuluh pertanian lapangan (PPL) mengalami fragmentasi.
Mereka tersebar di berbagai instansi daerah dengan koordinasi yang lemah, visi yang berbeda-beda, dan tujuan yang tidak selalu sejalan dengan strategi nasional.
Akibatnya, Indonesia yang pernah menjadi eksportir beras, kini masih harus bergantung pada impor untuk komoditas strategis seperti kedelai dan jagung.
Menteri Pertanian, Andi Amran Sulaiman, secara jujur mengakui, “Tanpa PPL, tidak mungkin kita mencapai lompatan seperti yang terjadi hari ini,” sebuah pengakuan akan vitalnya peran mereka.
Menyikapi tantangan ini, Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2025 hadir sebagai revolusi dalam tata kelola penyuluhan pertanian Indonesia.
Dengan menarik kembali sekitar 37.000 penyuluh ASN dari pemerintah daerah ke Kementerian Pertanian dalam waktu satu tahun, Presiden Prabowo mengirimkan pesan jelas bahwa era fragmentasi telah berakhir.
Langkah sentralisasi besar-besaran ini bertujuan agar penyuluh dapat “bergerak dalam satu irama dan satu komando,” dengan target optimalisasi penuh pada tahun 2026.
Strategi ini mengingatkan pada negara-negara sukses yang menempatkan layanan penyuluhan dan penasihat sebagai peran penting dalam transformasi pertanian, membantu petani dengan saran, informasi, memfasilitasi inovasi, serta menangani risiko dan bencana.
Berbeda dengan era 1980-an, penyuluh hari ini menghadapi tantangan yang jauh lebih kompleks, seperti perubahan iklim, degradasi lahan, ketergantungan impor, dan tuntutan produksi yang berkelanjutan.
Oleh karena itu, peran teknologi digital menjadi krusial. Penyuluh modern tidak hanya membawa tas berisi benih, tetapi juga smartphone dengan aplikasi yang mampu memberikan prakiraan cuaca real-time, analisis tanah, dan rekomendasi pemupukan yang tepat sasaran.
Program Gerakan Indonesia Menanam (Gerina) di Banyuasin menjadi bukti nyata integrasi pendekatan tradisional dengan inovasi modern dalam pemerintahan Prabowo.
Digital farming, pencetakan sawah baru, dan pembangunan rantai nilai pertanian, semuanya memerlukan penyuluh yang tidak hanya kompeten secara teknis, tetapi juga adaptif terhadap perubahan zaman.
Layanan informasi yang efektif, yang memenuhi kriteria aksesibilitas, relevansi, dan keberlanjutan, terbukti dapat secara substansial meningkatkan produktivitas dan profitabilitas petani kecil.
Kisah sukses global memberikan pelajaran berharga: India dengan Revolusi Hijau-nya, Tiongkok dengan Sistem Penyuluhan Teknologi Pertanian yang masif, dan Brasil melalui EMATER yang mengintegrasikan penelitian, penyuluhan, dan layanan kredit dalam satu sistem.
Sekarang, giliran Indonesia untuk menulis ulang kisah suksesnya. Visi Indonesia Emas 2045 di bidang pangan bukan sekadar retorika; dengan lahan pertanian yang luas, sumber daya air melimpah, dan teknologi yang semakin maju, Indonesia memiliki prasyarat lengkap untuk menjadi lumbung pangan dunia.
Yang dibutuhkan adalah eksekusi yang tepat, dan eksekusi itu dimulai dari penguatan peran penyuluh sebagai ujung tombak transformasi pertanian.
Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2025 bukan hanya tentang sentralisasi administratif, melainkan tentang membangun kembali “modal sosial” yang pernah membawa Indonesia mencapai swasembada beras, modal sosial yang terbangun dari kepercayaan petani terhadap penyuluh, transfer pengetahuan yang efektif, dan semangat gotong royong menuju kedaulatan pangan.
Pada tahun 1984, dunia menyaksikan keajaiban Indonesia. Pada tahun 2025, Indonesia memulai babak baru untuk menciptakan keajaiban yang lebih besar.
Para penyuluh pertanian, “pejuang hijau” yang pernah membawa Indonesia meraih swasembada, kini kembali dipanggil untuk bertugas.
Kali ini, mereka tidak sendirian, melainkan didukung oleh teknologi digital, riset modern, dan yang terpenting, political will yang kuat dari pimpinan tertinggi negara.
Keyakinan “Kita pernah bisa. Kita pasti bisa lagi” bukanlah optimisme kosong, melainkan dibangun atas fondasi sejarah, strategi yang jelas, dan komitmen yang tak tergoyahkan. Saatnya bagi para pejuang hijau ini untuk menulis sejarah baru. (*)
Baca Juga: Pangan Indonesia: Menuju Kedaulatan Melalui Keseimbangan dan Inovasi Digital