DASWATI.ID – Jumat (26/01/2024) seluruh laki-laki muslim melaksanakan sholat Jumat, bentuk ketaatan sebagai hamba, tak terkecuali warga di Lampung.
Masjid yang menjadi tempat orang-orang berlindung dalam menguatkan iman kepada Tuhannya, menjadi ruang kajian-kajian agama, dan pendidikan anak dalam memperkuat pondasi agamanya.
Kini bergeser turun kasta, di musim pemilu ini menjadi ruang negative campaign, penggiringan opini kepada masyarakat.
Kejadian ini saya tuangkan ke dalam tulisan, ini merupakan wujud kegelisahan hati sebagai muslim dan anak muda yang memiliki harapan besar terhadap masa depan bangsa ini.
Potensi bangsa ini untuk menjadi besar sangat luas. Dan kita tidak boleh pesimis, terlebih anak muda (Milenial dan Gen-Z).
Namun, setelah saya mendengar dan menyaksikan para orang tua kita, yang masih saja egois, sebagai tauladan, tidak mau memisahkan setiap kepentingan, dan mencoba untuk memupuk kembali doktrin-doktrin yang membuat potensi permusuhan.
Saya khawatir bila abai dan diteruskan polarisasi ini, akan semakin membuat gesekan di tengah masyarakat.
Belum lagi bisa mempengaruhi jemaah yang kontra terhadap yang didukung para tokoh agama, akan menjadi fatal, enggan ke masjid, bahkan kepercayaan masyarakat kepada tokoh agama akan berkurang bahkan hilang. Ini persoalan serius.
Insya Allah, dalam hal ini saya melihat dengan kacamata seobjektif mungkin, tanpa tendensi condong kepada paslon manapun.
Agak miris rasanya, dimana sebelumnya saya banyak dididik sejak kecil di organisasi Islam yang bernama Muhammadiyah.
Saya bukan termasuk yang dalam pengetahuan agamanya, tapi etika beragama dan politik, Muhammadiyah banyak mengajarkan kepada kami untuk bisa memisahkan urusan agama dan persyarikatan.
Artinya, kami kader Muhammadiyah dilarang sangat keras membawa atribut apalagi nama persyarikatan untuk urusan-urusan politik yang kental akan duniawiah.
Saya resapi perintah persyarikatan itu, dengan sangat detail.
Jika saja organisasi melarang anggotanya untuk membawa atribut dalam hajat politik.
Apakah agama sebagai pondasi utama kita, dapat dijual dengan sangat murahnya demi kekuasaan dan memecah belah masyarakat kembali? Wallahu a’lam.
“Etika merupakan tolak ukur utama untuk kita memilih pemimpin, jangan kita memilih pemimpin yang manusianya haus akan kekuasaan, kita harus songsong perubahan.”
Begitulah kira-kira di antara beberapa kalimat khotib sholat jumat yang sangat tendensius atas Pemilu 2024 dalam Jumat kemarin, yang kami dengarkan di salah satu masjid di Kecamatan Kedaton, Bandarlampung.
Saya dan beberapa teman sepulang dari masjid pun tersenyum, dan setibanya di kantor kembali, kami berdiskusi ringan.
Ini mirip seperti slogan yang sering di gembar-gemborkan salah satu paslon capres, kalau itu yang dimaksud, ini berbahaya.
Hari ini para oknum tersebut berani berbicara dengan penekanan membawa slogan, di kemudian hari ketika kita abai dengan ini, tidak menutup kemungkinan akan lebih frontal lagi, hingga kepada penekanan bahkan intimidasi dengan balutan agama kepada umatnya.
Pasti, hal itu akan mengakibatkan terpecahnya kembali masyarakat di bawah.
Terus terang, saya masih trauma dengan kerasnya Pilpres 2014 dan 2019, cebong dan kampret sangat berpengaruh atas kesenjangan di antara kita masyarakat yang seharusnya menikmati pemilu ini, sebagai edukasi dan pesta demokrasi.
Semoga kegelisahan kami ini dapat menjadi atensi bagi kita semua agar tidak abai.
Tabik.
Penulis: Reza Zikri Fauzian (Direktur Rubik Center)