DASWATI.ID – MK (Mahkamah Konstitusi) batasi penafsiran Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik atau UU ITE untuk melindungi kebebasan berekspresi.
MK mengeluarkan putusan penting dalam perkara Nomor 105/PUU-XXII/2024, yang mengabulkan sebagian permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Putusan ini membatasi penafsiran sejumlah frasa dalam UU ITE untuk mencegah penyalahgunaan hukum pidana yang dapat membungkam kebebasan berekspresi, khususnya bagi aktivis lingkungan seperti pemohon, Daniel Frits Maurits Tangkilisan.
Dalam putusan yang dibacakan pada Sidang Pleno terbuka di Jakarta, Selasa (29/4/2025), MK menyatakan tiga frasa dalam UU ITE inkonstitusional secara bersyarat karena berpotensi melanggar hak konstitusional warga, termasuk kebebasan berekspresi, kepastian hukum, dan perlindungan terhadap lingkungan hidup, sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E, dan Pasal 28H UUD 1945.
Frasa yang Dibatasi Penafsirannya
Pertama, frasa “orang lain” dalam Pasal 27A dan Pasal 45 ayat (4) UU ITE, yang mengatur tindak pidana pencemaran nama baik melalui media elektronik, dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 kecuali dimaknai “kecuali lembaga pemerintah, sekelompok orang dengan identitas spesifik atau tertentu, institusi, korporasi, profesi, atau jabatan”.
Penafsiran ini memastikan bahwa hanya individu perseorangan yang dapat menjadi korban pencemaran nama baik, sehingga mencegah penggunaan pasal ini untuk membungkam kritik terhadap institusi atau kelompok.
Kedua, frasa “suatu hal” dalam pasal yang sama juga dinyatakan inkonstitusional secara bersyarat kecuali dimaknai “suatu perbuatan yang merendahkan kehormatan atau nama baik seseorang”.
MK menilai frasa ini terlalu luas dan dapat mencakup penghinaan biasa, yang berbeda dengan pencemaran nama baik, sehingga berpotensi menciptakan ketidakpastian hukum.
Ketiga, frasa “mendistribusikan dan/atau mentransmisikan informasi elektronik…” dalam Pasal 28 ayat (2) dan Pasal 45A ayat (2), yang mengatur hasutan kebencian, dinyatakan inkonstitusional kecuali dimaknai “hanya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang secara substantif memuat tindakan/penyebaran kebencian berdasarkan identitas tertentu yang dilakukan secara sengaja dan di depan umum, yang menimbulkan risiko nyata terhadap diskriminasi, permusuhan, atau kekerasan”.
Penafsiran ini sejalan dengan standar internasional, seperti ICCPR (International Covenant on Civil and Political Rights), atau Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, untuk memastikan hanya ekspresi yang benar-benar berbahaya yang dikenai sanksi pidana.
Namun, MK menolak permohonan terkait frasa “tanpa hak” dalam Pasal 28 ayat (2), dengan alasan frasa ini merupakan unsur melawan hukum yang melindungi profesi tertentu, seperti jurnalis dan peneliti, serta sesuai dengan Konvensi Budapest 2001 tentang Kejahatan Siber.
Latar Belakang Pemohon
Daniel Frits, aktivis lingkungan dari Karimunjawa, Jawa Tengah, mengajukan permohonan ini setelah mengalami proses pidana berdasarkan UU ITE 2016.
Ia didakwa karena unggahan di media sosial yang mengkritik pencemaran pantai akibat tambak udang, yang dianggap mencemarkan nama baik dan menghasut kebencian.
Meski dibebaskan oleh Pengadilan Tinggi Semarang pada Mei 2024, ancaman kasasi dari jaksa membuatnya khawatir UU ITE 2024, yang berlaku hingga 1 Januari 2026, dapat digunakan untuk menjeratnya kembali.
Daniel, yang tergabung dalam Koalisi Kawal Indonesia Lestari, berargumen bahwa UU ITE kerap digunakan sebagai alat Strategic Litigation against Public Participation (SLAPP) untuk membungkam aktivis lingkungan.
Ia menyebut pasal-pasal tersebut melanggar hak konstitusionalnya atas kebebasan berekspresi, lingkungan hidup yang sehat, dan kepastian hukum yang adil.
Bagi Daniel dan aktivis lainnya, putusan ini memberikan perlindungan hukum yang lebih kuat untuk terus menyuarakan isu lingkungan tanpa ancaman kriminalisasi.
Implikasi Putusan
Hakim Ketua MK Suhartoyo, didampingi delapan hakim konstitusi lainnya, menegaskan bahwa putusan ini bertujuan menyeimbangkan perlindungan terhadap nama baik dan martabat individu dengan jaminan kebebasan berekspresi dalam negara demokratis.
“Tanpa batasan yang jelas, pasal-pasal ini rentan disalahgunakan untuk membungkam kritik konstruktif, termasuk upaya memperjuangkan lingkungan hidup,” ujar dia dalam sidang.
MK memerintahkan putusan ini dimuat dalam Berita Negara Republik Indonesia. Putusan ini bersifat final dan mengikat, sehingga aparat penegak hukum wajib menyesuaikan penerapan UU ITE dengan penafsiran MK.
Sementara itu, perwakilan pemerintah menyatakan akan mempelajari putusan ini untuk memastikan penegakan hukum yang lebih proporsional. DPR, yang turut memberikan keterangan dalam sidang, belum memberikan komentar resmi.
Baca Juga: DPR Setujui Revisi UU ITE Jilid 2

