DASWATI.ID – Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) RI Suhartoyo menyebutkan MK tidak berwenang tangani sengketa pilkada atau pemilihan berdasarkan konstitusi.
“MK dalam perspektif menangani sengketa pilkada, itu bukan kewenangan MK yang diturunkan dari konstitusi,” kata Suhartoyo di Bandarlampung, Sabtu (13/7/2024).
Hal itu diungkap dalam Seminar Nasional “Potensi Sengketa dan Tantangan Menghadapi Pilkada Serentak Tahun 2024” yang diselenggarakan oleh BEM Fakultas Hukum Universitas Lampung.
Ia memaparkan sebenarnya kewenangan MK berdasarkan konstitusi yaitu kewenangan Judicial Review, penyelesaian sengketa kewenangan lembaga negara, pembubaran partai politik, PHPU (Perselisihan Hasil Pemilihan Umum), dan impeachment.
Kewenangan MK ini, lanjut Suhartoyo, merupakan turunan dari Pasal 24 (c) UUD NRI 1945, UU MK, UU Kekuasaan Kehakiman, dan undang-undang tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan.
Terkait kewenangan MK menangani PHPU ini, ia menjelaskan bahwa pilkada bukanlah rezim Pemilihan Umum (Pemilu).
“Nah, kewenangan MK dalam mengadili sengketa pilkada sebenarnya hanya diturunkan dari UU Nomor 10 Tahun 2016 (UU Pilkada) pada Pasal 157 ayat 3,” ujar dia.
Namun, kewenangan MK menangani sengketa pilkada dibatasi hingga terbentuknya peradilan khusus tentang pemilu.
“Yang seharusnya batas waktunya itu adalah Pilkada Serentak 2024 nanti,” kata Suhartoyo.
Sengketa pilkada seharusnya kewenangan Mahkamah Konstitusi.
MK tidak berwenang tangani sengketa pilkada. Kewenangan tersebut semula kewenangan Mahkamah Agung (MA).
Menurut Suhartoyo, kewenangan menangani sengketa pilkada seharusnya secara permanen menjadi kewenangan MK.
“Saya tidak tahu apakah kemudian karena ada permohonan di MK yang memohon bahwa MK jangan dibatasi hanya sampai pada Pilkada Serentak 2024 ini,” kata dia.
Ia menuturkan permohonan itu diajukan sekitar tahun 2022-2023 lalu ketika pembentuk undang-undang belum ada tanda-tanda untuk membentuk peradilan khusus pemilu.
“Sedangkan pilkada serentak sudah waktunya sebentar lagi. Pilkada waktu itu tinggal 1,5 tahun lagi, sementara pembentuk undang-undang belum ada tanda-tanda menghadirkan badan peradilan yang sifatnya khusus itu,” ujar dia.
Oleh karena itu, lanjut Suhartoyo, MK kemudian mengabulkan permohonan itu melalui Putusan Nomor 85/PUU-XX/2022 dengan mempermanenkan kewenangan MK mengadili sengketa pilkada.
“Tapi jangan kemudian secara kontekstual dibaca bahwa MK memperluas kewenangannya. Ini kebutuhan yang memang harus diantisipasi untuk kepastian hukum ke depan,” tegas dia.
Namun, Suhartoyo memandang bahwa persoalan krusialnya adalah jika badan peradilan pemilu terbentuk akan ditempatkan di bawah kekuasaan kehakiman MA atau MK?
“Karena pelaku kekuasaan kehakiman itu hanya ada dua, Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi,” jelas dia.
Ia mengatakan kewenangan menangani sengketa pilkada semula ranah MA.
“Entah alasan apa atau alasan tertentu, MA sebenarnya agak resisten. Karena itu kan semacam menyerahkan kewenangan tersebut kepada pembentuk undang-undang supaya dipindahkan ke MK,” ujar dia.
“Oleh pembentuk undang-undang kemudian diakomodir. Sengketa pilkada tidak lagi ditangani oleh MA, tapi ke MK sampai dibentuknya peradilan khusus di Pilkada Serentak 2024. Namun, sampai hari ini ada pengujian norma Pasal 157 ayat 3 dalam UU Nomor 10 Tahun 2016 itu,” lanjut Suhartoyo.
Seminar Nasional BEM Fakultas Hukum Universitas Lampung turut dihadiri Pelaksana Tugas Ketua KPU RI M. Afifuddin, dan Anggota DKPP RI M. Tio Aliansyah.
Baca Juga: Afifuddin: suhu politik di Lampung hangat mendekati panas