Netralitas RT dan RW Tak Diatur dalam UU Pemilihan

oleh
Kampanye Pemilu Tak Ramah Lingkungan
Pengamat politik dari Program Studi Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Baturaja, Yahnu Wiguno Sanyoto. Foto: Arsip Pribadi

DASWATI.ID – Pengamat politik dari Program Studi Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Baturaja Yahnu Wiguno Sanyoto mengatakan netralitas Rukun Tetangga (RT) dan Rukun Warga RW (RW) tidak diatur dalam Pemilihan.

Anggota Bawaslu Kota Bandarlampung 2018-2023 ini menilai karena tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, RT dan RW tidak dilarang berpolitik praktis pada Pilkada Serentak 2024.

“RT dan RW sebagai ujung tombak administrasi pemerintahan di tingkat paling bawah tentunya memiliki kemampuan untuk memengaruhi pemilih,” ujar Yahnu di Bandarlampung, Senin (1/7/2024).

Baca Juga: Deklarasi Netralitas Pegawai Non-ASN di Pemilu 2024

Namun, lanjut dia, pada momentum Pemilu maupun Pemilihan, pengawasan terhadap netralitas RT dan RW ini kerap terbentur regulasi.

RT dan RW bukanlah Aparatur Sipil Negara (ASN) atau Perangkat Desa/Kelurahan yang dilarang berkampanye sebagaimana diatur di dalam UU Nomor 10 Tahun 2016 (UU Pemilihan).

RT dan RW bukan subyek hukum sebagai pihak yang dilarang di dalam UU Pemilihan. Mereka merupakan lembaga kemasyarakatan yang turut membantu pelaksanaan tugas pelayanan pemerintahan, perencanaan pembangunan, ketertiban, pemberdayaan masyarakat desa.

RT dan RW dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya memang mendapatkan insentif dari keuangan pemerintah daerah.

“Tapi dalam melakukan kajian, tentu saja tidak cukup berpersepsi/berpendapat bahwa RT dan RW diberikan insentif dari anggaran daerah. Perlu juga dicermati secara mendetail kedudukan RT dan RW dari sisi regulasi, agar kita dapat lebih obyektif dan berkepastian hukum dalam menilai keterlibatan mereka dalam kontestasi Pemilihan,” jelas Yahnu.

Pasal 70 Ayat 1 huruf (c) UU Nomor 10 Tahun 2016 (UU Pemilihan) menyebutkan bahwa:

Dalam Kampanye, Calon dilarang melibatkan (c) Kepala Desa atau sebutan lain/Lurah dan perangkat Desa atau sebutan lain/perangkat Kelurahan.

Pasal 71 Ayat 1 UU Pemilihan menyebutkan bahwa:

Pejabat negara, pejabat daerah, pejabat Aparatur Sipil Negara, anggota TNI/Polri, dan Kepala Desa atau sebutan lain/Lurah dilarang membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon.

Sanksi terhadap pelanggaran Pasal 70 Ayat 1 huruf (c) dan Pasal 71 Ayat 1 ini diatur dalam Pasal 188 dan 189.

Pasal 188

Setiap pejabat negara, pejabat Aparatur Sipil Negara, dan Kepala Desa atau sebutan lain/Lurah yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan atau paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp600.000,00 (enam ratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah).

Pasal 189

Calon Gubernur, Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati, Calon Wakil Bupati, Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota yang dengan sengaja melibatkan pejabat Badan Usaha Milik Negara, pejabat Badan Usaha Milik Daerah, Aparatur Sipil Negara, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, anggota Tentara Nasional Indonesia, dan Kepala Desa atau sebutan lain/Lurah serta perangkat Desa atau sebutan lain/perangkat Kelurahan sebagaimana dimaksud Pasal 70 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan atau paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp600.000,00 (enam ratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah).

“Pasal 70 Ayat 1 huruf (c) ini tidak berlaku untuk pengurus RT dan RW atau pengurus lembaga kemasyarakatan, sehingga tidak ada sanksi pidana bagi mereka jika terlibat dalam kampanye,” kata Yahnu.

Telaah Pasal 70 Ayat 1 UU Pemilihan.

Pasal 70 Ayat 1 huruf (c) UU Pemilihan melarang Pasangan Calon untuk melibatkan Kepala Desa atau sebutan lain/Lurah dan perangkat Desa atau sebutan lain/perangkat Kelurahan.

1. Status pihak yang melibatkan adalah Pasangan Calon. (Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah)

2. KEPALA DESA

a. UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, Pasal 1 Angka 3:

Pemerintah Desa adalah Kepala Desa atau yang disebut dengan nama lain dibantu perangkat desa sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Desa.

b. UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, Pasal 29 huruf (j):

Kepala Desa dilarang ikut serta dan/atau terlibat dalam kampanye Pemilihan Umum dan/atau Pemilihan Kepala Daerah.

3. LURAH

a. UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Pasal 229 ayat 2:

Kelurahan dipimpin oleh seorang kepala kelurahan yang disebut lurah selaku perangkat Kecamatan dan bertanggung jawab kepada Camat.

b. UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Pasal 229 ayat 3;

Lurah diangkat oleh Bupati/Wali Kota atas usul Sekretaris Daerah dari Pegawai Negeri Sipil yang memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

4. PERANGKAT DESA

a. UU Nomor 3 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa Pasal 48 juncto Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 84 Tahun 2015 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Pemerintah Desa (SOTK Pemdes) Pasal 2 ayat 2:

Perangkat Desa terdiri dari: (a) Sekretariat Desa; (b) Pelaksana Kewilayahan; dan (c) Pelaksana Teknis.

Adapun dalam penjelasan Pasal 48 UU Nomor 3 Tahun 2024 adalah sebagai berikut;

Yang dimaksud dengan Perangkat Desa adalah unsur staf yang membantu Kepala Desa dalam penyusunan kebijakan dan koordinasi yang diwadahi dalam sekretariat desa dan unsur pendukung tugas Kepala Desa dalam bentuk pelaksana teknis dan unsur kewilayahan.

  • Permendagri Nomor 84 Tahun 2015 Pasal 3 ayat 1:

Sekretariat Desa dipimpin oleh Sekretaris Desa dan dibantu oleh unsur staf sekretariat.

  • Permendagri Nomor 84 Tahun 2015 Pasal 3 ayat 2:

Sekretariat Desa paling banyak terdiri dari 3 (tiga) urusan yaitu urusan tata usaha dan umum, urusan keuangan, dan urusan perencanaan, dan paling sedikit 2 (dua) urusan yaitu urusan umum dan perencanaan, dan urusan keuangan.

  • Permendagri Nomor 84 Tahun 2015 Pasal 3 ayat 3:

Masing-masing urusan dipimpin oleh Kepala Urusan. 

“Kepala Urusan berkedudukan sebagai unsur staf sekretariat sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat 1,” kata Yahnu.

  • Permendagri Nomor 84 Tahun 2015 Pasal 5 ayat 2:

Pelaksana Teknis paling banyak terdiri atas 3 (tiga) seksi yaitu seksi pemerintahan, seksi kesejahteraan dan seksi pelayanan, paling sedikit 2 (dua) seksi yaitu seksi pemerintahan, serta seksi kesejahteraan dan pelayanan.

Dalam Pasal 3, jelas Yahnu, masing-masing seksi dipimpin oleh Kepala Seksi.

  • Permendagri Nomor 84 Tahun 2015 Pasal 10 ayat 1:

Kepala Kewilayahan atau sebutan lainnya berkedudukan sebagai unsur satuan tugas kewilayahan yang bertugas membantu Kepala Desa dalam pelaksanaan tugasnya di wilayahnya.

Sebutan Kepala Kewilayahan disetarakan dengan Kepala Dusun. Hal ini diatur dalam Pasal 2.

b. UU Nomor 6 Tahun 2014 Pasal 51 huruf j:

Perangkat Desa dilarang ikut serta dan/atau terlibat dalam kampanye Pemilihan Umum dan/atau Pemilihan Kepala Daerah.

5. PERANGKAT KELURAHAN

a. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 17 Tahun 2018 tentang Kecamatan, Pasal 25 ayat 2:

Lurah dibantu oleh perangkat kelurahan untuk melaksanakan tugas yang diberikan oleh Camat.

b. Sebelumnya, Susunan Organisasi Kelurahan juga diatur di dalam PP Nomor 73 Tahun 2005 tentang Kelurahan, Pasal 6 Ayat 1:

Kelurahan terdiri dari Lurah dan Perangkat Kelurahan.

Ayat 2:

Perangkat kelurahan terdiri dari Sekretaris Kelurahan dan Seksi sebanyak-banyaknya 4 (empat) Seksi serta jabatan fungsional. 

“Oleh karenanya, status kepegawaian Kepala Seksi dan jabatan fungsional adalah ASN,” ujar Yahnu.

Dari telaah Pasal 70 Ayat 1 UU Pemilihan, jelas dia, netralitas pengurus RT dan RW tidak diatur di dalam UU Pemilihan.

Imbauan yang selama ini disampaikan hanya tertuju kepada ASN, TNI/Polri, Pejabat Negara dan Pejabat Lainnya.

“RT dan RW tidak termasuk di dalamnya sehingga tidak ada sanksi pidana yang dapat dijatuhkan kepada mereka sekalipun mereka terlibat atau dilibatkan,” kata Yahnu.

Ia pun mengutip pernyataan Mahfud MD yang mengatakan,”Jika tidak ada aturan hukum yang melarang suatu perbuatan, berarti boleh dilakukan”.

“Hal inilah yang kemudian dikenal sebagai asas legalitas. Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, termasuk dalam konteks Pemilu/Pemilihan kecuali berdasarkan peraturan perundang-undangan yang sudah ada,” pungkas Yahnu.

Baca Juga: Strategi Pengawasan Bawaslu terhadap Netralitas RT/RW

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *