DASWATI.ID – Program Penangkapan Ikan Terukur berpotensi maladministrasi ketika diberlakukan pada 1 Januari 2024 mendatang.
Ombudsman RI menilai kebijakan Penangkapan Ikan Terukur tidak akuntabel dan transparan berdasarkan hasil kajian di beberapa wilayah perikanan tangkap.
Di antaranya PPS Lampulo Aceh; PPN Karangantu Banten; PPS Nizam Zachman; PPM Muara Angke Jakarta; PPS Kejawaan Jawa Barat; PPS Cilacap; PPN Prigi, PPN Pemangkat, PPN Sungai Rengas, PPS Bitung, dan PPS Ternate.
Kajian yang dilakukan mengungkap temuan Ombudsman pada aspek regulasi dan implementasi kebijakan Penangkapan Ikan Terukur.
“Pada aspek regulasi, kami menemukan belum optimalnya konsultasi publik yang melibatkan secara aktif para pemangku kepentingan dalam penyusunan rancangan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2023 tentang Penangkapan Ikan Terukur dan ketentuan pelaksanaanya,” kata Anggota Ombudsman RI, Hery Susanto, di Jakarta, Kamis (30/11/2023).
Potensi maladministrasi.
Dalam keterangannya, Hery menyampaikan kesimpulan ini diperoleh berdasarkan keterangan dari sejumlah pemda dan kelompok nelayan.
“Meskipun konsultasi publik dalam merancang kebijakan Penangkapan Ikan Terukur sebenarnya telah dilaksanakan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan dengan mengikutsertakan akademisi dan kelompok pemerhati, namun hal tersebut belum dirasa optimal,” ujar Hery.
Temuan kedua, lanjut dia, beberapa ketentuan yang mengatur tentang perlindungan terhadap nelayan kecil tidak bersifat mandatory tetapi bersifat pilihan.
Kemudian, tidak ada parameter yang jelas dan terukur untuk menentukan kategori nelayan kecil.
Selanjutnya Ombudsman juga menemukan kebijakan Penangkapan Ikan Terukur tidak akuntabel dan transparan dalam perhitungan, penetapan, dan evaluasi kuota penangkapan ikan secara komprehensif dalam regulasi.
Disusul kurangnya sosialisasi dan edukasi tentang regulasi serta aturan teknis dari Penangkapan Ikan Terukur.
“Kebijakan Penangkapan Ikan Terukur berbasis kuota dan zona masih belum dipahami secara jelas dan utuh oleh para nelayan, pemilik kapal perikanan maupun pelaku usaha perikanan,” jelas Hery.
Ombudsman memandang Penangkapan Ikan Terukur berpotensi maladministrasi apabila seluruh stakeholder khususnya pemerintah dalam hal ini Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tidak mengantisipasi secara tepat dan cepat beberapa permasalahan yang muncul.
Pada aspek implementasi kebijakan Penangkapan Ikan Terukur, Ombudsman menemukan lemahnya sistem dan mekanisme pengawasan.
“Berdasarkan hasil survei, diketahui masih terdapat nelayan yang melaut lebih dari 12 mil namun tidak memiliki izin sama sekali atau hanya memegang izin dari pemerintah provinsi,” kata Hery.
Menurut dia, fenomena tersebut menunjukkan bahwa KKP belum cukup optimal melakukan pengawasan secara intensif dan menjangkau seluruh wilayah perikanan tangkap di Indonesia.
Ombudsman juga menemukan fakta di lapangan bahwa edukasi dan bimbingan teknis kepada nelayan atau pelaku usaha maupun petugas di daerah masih sangat kurang.
Di samping itu, belum semua pelabuhan perikanan menyediakan gerai layanan perikanan tangkap yang berfungsi untuk memfasilitasi nelayan, pelaku usaha perikanan dalam proses migrasi perizinan dan sebagai tempat pengaduan atau tanya jawab terkait kebijakan Penangkapan Ikan Terukur berbasis kuota dan zona.
Ombudsman juga menyoroti permasalahan tata kelola BBM bersubsidi untuk nelayan.
“Permasalahan BBM bersubsidi untuk nelayan bukan saja terkait dengan pasokan dan rantai distribusi, namun permasalahan dari sektor hulu ke hilir yang perlu pembenahan,” ujar Hery.
Apabila permasalahan BBM bersubsidi masih belum dapat diselesaikan, terutama soal pemerataan pasok, maka kewajiban untuk melakukan pembongkaran di pelabuhan perikanan setempat tidak dapat maksimal dilaksanakan.
Hery mengatakan Ombudsman menemukan masih banyaknya perizinan pada sektor perikanan tangkap bahkan aplikasi yang digunakan lebih dari satu.
“Nelayan dan pelaku usaha juga mengeluhkan adanya pungutan seperti biaya tambatan, biaya bongkar dan PNBP yang semakin lama semakin besar,” tutur dia.
Saran perbaikan agar Penangkapan Ikan Terukur tidak maladministrasi.
Pada aspek regulasi, Ombudsman mendorong urgensi konsultasi publik dalam merancang regulasi dan penyusunan kebijakan tersebut dengan mengoptimalkan pelibatan seluruh pemangku kepentingan secara aktif.
“Yang tak kalah penting memastikan perlindungan terhadap nelayan kecil dilakukan secara maksimal dengan memperkuat sisi regulasi yang mengamanatkan secara mandatory perlindungan bagi nelayan kecil,” kata Hery.
Pada aspek implementasi, tambah dia, Ombudsman memberikan saran perbaikan di antaranya agar KKP memperkuat sistem dan mekanisme pengawasan mengenai subsektor perikanan tangkap.
Selanjutnya, Ombudsman meminta KKP meningkatkan kegiatan edukasi dan bimbingan teknis secara masif kepada para nelayan, pelaku usaha penangkapan ikan dan pelaku usaha pengangkutan ikan serta petugas terkait penangkapan ikan terukur di daerah.
Ketersediaan stok BBM bersubsidi secara merata dan kemudahan akses mendapatkan BBM Bersubsidi di setiap pelabuhan diharapkan dapat diselesaikan.
“Hal tersebut penting, mengingat kebijakan Penangkapan Ikan Terukur mewajibkan kapal membongkar hasil ikan di pelabuhan pangkalan yang dipilihnya,” jelas Hery.
Ombudsman menyarankan agar pemerintah menyederhanakan perizinan dan mengintegrasikan ke dalam sistem terpadu antara pemerintah daerah, kementerian kelautan dan perikanan maupun Kementerian Investasi/BKPM selaku pengelola OSS.
“Sehingga setiap perizinan dapat dipantau bersama dan tidak menimbulkan tumpang tindih perizinan,” ujar dia.
Hery berharap kepada penyelenggara layanan untuk menutup potensi terjadinya maladministrasi pelayanan publik dan mengoptimalkan mekanisme tindak lanjut pengaduan yang responsif.
Baca Juga: Ombudsman Tinjau Layanan PLN ULP Sribhawono Lampung Timur