Oleh: Darmawan Purba
DASWATI.ID – Langkah Pemerintah Kota (Pemkot) Bandar Lampung dalam meluncurkan Sekolah Siger bukan sekadar kebijakan pendidikan biasa. Program ini merupakan simbol keberanian birokrasi lokal dalam merespons keresahan masyarakat secara nyata.
Di tengah keterbatasan daya tampung SMA/SMK negeri serta kompleksitas sistem penerimaan murid baru (SPMB) berbasis zonasi atau domisili, Pemkot tidak menunggu arahan dari pemerintah pusat.
Sebaliknya, Pemkot bergerak cepat dengan mengambil peran aktif dan memberikan ruang bagi anak-anak yang hampir terpinggirkan haknya untuk terus mendapatkan pendidikan.
Sekolah Siger hadir bukan sebagai pesaing sekolah negeri maupun swasta, melainkan sebagai jembatan bagi mereka yang belum tertampung dalam sistem yang ada.
Institusi pendidikan ini dijalankan dengan semangat kolaboratif, memanfaatkan gedung eksisting milik pemerintah kota, melibatkan tenaga pendidik lokal, komunitas pendidikan, serta membuka kemitraan dengan berbagai pihak terkait.
Tagline “Sekolah Kolaboratif untuk Rakyat” bukan sekadar slogan, melainkan cerminan semangat gotong royong yang kembali hidup dalam dunia pendidikan.
Wali Kota Bandar Lampung, Eva Dwiana, menyatakan bahwa Sekolah Siger merupakan bentuk keberpihakan terhadap rakyat kecil.
“Ini adalah sekolah untuk rakyat, lahir dari keresahan banyak orang tua. Sekolah Siger hadir agar anak-anak kita tetap dapat bersekolah secara gratis dan layak,” tegasnya.
Inilah wajah birokrasi yang hadir di tengah masyarakat, mampu mengidentifikasi masalah, dan berani menciptakan terobosan meskipun harus menembus batas kewenangan yang selama ini dianggap sakral.
Meski demikian, kebijakan ini menimbulkan sejumlah pertanyaan, terutama terkait status hukum dan kemungkinan tumpang tindih kewenangan dengan Pemerintah Provinsi Lampung.
Namun, justru di sinilah kekuatan program ini terlihat, yaitu mendorong terjadinya dialog antarlevel pemerintahan.
Dukungan pun datang tepat waktu. Gubernur Lampung, Rahmat Mirzani Djausal, menyatakan sikap positifnya.
“Pemprov mendukung pendirian SMA Siger karena program sekolah gratis ini sangat dibutuhkan dalam dunia pendidikan,” katanya.
Lebih lanjut, gubernur siap memfasilitasi kelengkapan perizinan melalui Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Lampung.
Baca Juga: Melodi Pendidikan: Jejak Kolaborasi Mewujudkan SMA Siger
Pernyataan gubernur menjadi sinyal penting bahwa pemerintah daerah dapat bersinergi dan saling melengkapi peran serta fungsi masing-masing tanpa terjebak dalam dikotomi ‘siapa berwenang’.
Sekolah Siger menjadi contoh nyata bagaimana semangat pelayanan publik mampu mengalahkan ego sektoral.
Di atas segala perdebatan teknis dan birokratis, ada satu kepentingan utama yang tidak boleh dilupakan, yaitu hak anak-anak untuk tetap mendapatkan pendidikan.
Program ini juga menunjukkan bahwa keberhasilan kebijakan tidak selalu bergantung pada regulasi yang sempurna sejak awal.
Kadang, keberhasilan bermula dari kemauan politik, kemudian berkembang melalui perbaikan kelembagaan dan partisipasi publik.
Dalam konteks ini, Sekolah Siger merupakan bentuk nyata dari pendekatan quick wins—solusi cepat yang langsung menyentuh kebutuhan masyarakat sekaligus membuka ruang bagi penyempurnaan regulasi di masa mendatang.
Tentu saja, tantangan masih ada, seperti penguatan status hukum, sistem akreditasi, tata kelola, dan pengawasan mutu.
Namun, lebih baik memulai dan memperbaiki daripada tidak memulai sama sekali. Hak atas pendidikan tidak boleh menunggu kesempurnaan sistem; ia harus hadir di sini dan sekarang.
Sekolah Siger membuktikan bahwa kolaborasi antarpemerintah, dukungan DPRD, partisipasi komunitas, dan keterlibatan masyarakat dapat menciptakan ruang belajar baru yang lebih manusiawi.
Sekolah ini bukan hanya tempat belajar formal, melainkan juga simbol keberanian dan harapan.
Semoga Sekolah Siger tidak hanya menjadi eksperimen di satu kota, tetapi juga menjadi model inspiratif bagi daerah lain yang ingin menjadikan pendidikan sebagai alat pemerataan dan keadilan sosial.
Jika semua pihak terus menjaga semangat awal, yaitu keberpihakan kepada rakyat dan kolaborasi lintas batas, maka Sekolah Siger akan tumbuh bukan sebagai sekolah darurat, melainkan sebagai sekolah masa depan yang inklusif, kolaboratif, dan membumi. (*)
__________________________________________________
*Darmawan Purba adalah Dosen Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Lampung, dan Sekretaris Jenderal Asosiasi Dosen Ilmu Pemerintahan Seluruh Indonesia (ADIPSI) 2024-2027