Serikat Petani Lampung Tengah Geruduk Kantor Pemda

oleh
Serikat Petani Lampung Tengah Geruduk Kantor Pemda
Ratusan petani dari Kecamatan Anak Tuha yang tergabung dalam Serikat Petani Lampung Tengah menggeruduk Kantor Bupati Lampung Tengah, Rabu (23/4/2025). Foto: Dokumentasi YLBHI LBH Bandar Lampung

DASWATI.ID – Serikat Petani Lampung (SPL) Kabupaten Lampung Tengah geruduk Kantor Pemda atau Pemerintah Daerah setempat pada Rabu (23/4/2025).

“Petani menuntut Bupati Lampung Tengah segera menyelesaikan konflik agraria yang terjadi di Kecamatan Anak Tuha,” ujar Kadiv Advokasi YLBHI LBH Bandar Lampung, Prabowo Pamungkas, dalam keterangannya. 

Ratusan petani dengan mengendarai kendaraan bak terbuka, pick up dan truk, berangkat dari tiga kampung yakni Kampung Negara Aji Tuha, Kampung Negara Aji Baru, dan Kampung Bumi Aji kecamatan Anak Tuha Kab. Lampung Tengah.

Mereka menuntut kepada Bupati Lampung Tengah Ardito Wijaya untuk:

  1. Membentuk Panitia Khusus Penyelesaian (Pansus) Konflik Agraria di Desa Bumiaji, Desa Negara Aji Baru dan Negara Aji Tua.
  2. Mengeluarkan Rekomendasi Resmi kepada BPN Lampung Tengah dan Pemprov Lampung untuk mencabut HGU PT Bumi Sentosa Abadi.
  3. Mengevaluasi HGU yang dimiliki oleh PT Bumi Sentosa Abadi karena diduga telah cacat hukum.
  4. Mengembalikan Tanah-Tanah Rakyat yang telah dirampas oleh PT Bumi Sentosa Abadi seluas 807 Ha kepada masyarakat tiga desa.

Bowo menuturkan aksi damai Serikat Petani Lampung Tengah geruduk kantor Pemda berlangsung sejak pukul 11.00 – 13.00 WIB.

“Aksi berlangsung damai, bupati melalui Staf Ahli Bidang Pemerintahan, Hukum dan Politik Lampung Tengah Zulfikar Irwan menemui massa aksi sebagai perwakilan Bupati Lampung Tengah yang tidak dapat hadir menemui massa aksi,” kata Bowo.

Melalui staf ahli tersebut, Bupati Lampung Tengah mengatakan akan segera membentuk tim untuk menyelesaikan konflik yang terjadi di Kecamatan Anak Tuha.

Pada malam hari tanggal 22 April 2025, sebelum melakukan aksi, Bupati Lampung Tengah mendatangi dan menanyai warga mengenai tuntutan mereka.

Pada malam itu juga, Bupati berjanji akan segera menindaklanjuti permasalahan tanah yang terjadi antara warga dari tiga kampung dengan PT Bumi Sentosa Abadi.

Serikat Petani Lampung Tengah Geruduk Kantor Pemda
Ratusan petani dari Kecamatan Anak Tuha yang tergabung dalam Serikat Petani Lampung Tengah menggeruduk Kantor Bupati Lampung Tengah, Rabu (23/4/2025). Foto: Dokumentasi YLBHI LBH Bandar Lampung

Konflik Agraria Petani dengan PT BSA

Permasalahan ini bermula dari sejarah panjang penguasaan dan pengelolaan tanah oleh masyarakat Kampung Negara Aji Tua, Negara Aji Baru, dan Bumi Aji.

“Sejak tahun 1870, leluhur masyarakat telah menetap dan menggarap lahan di wilayah tersebut, menjadikannya sebagai bagian dari kehidupan dan penghidupan turun-temurun,” jelas Bowo.

Penggarapan tanah dilakukan secara tradisional, dengan menanam komoditi seperti lada, kopi, dan durian hingga tahun 1969.

Namun, pada tahun 1972, datanglah PT Pagolam yang dengan dukungan aparat desa dan negara memaksa masyarakat untuk menyerahkan tanah mereka dengan alasan akan disewa.

“Intimidasi dan tekanan psikologis dilakukan, dan masyarakat akhirnya terpaksa menerima ganti rugi yang sangat rendah, yakni sekitar Rp 1.000–1.500 per hektare,” ujar Bowo. 

PT Pagolam kemudian menanami lahan dengan tebu dan membangun pabrik gula.

Ketidakadilan ini meninggalkan luka dan penolakan dari masyarakat yang merasa hak mereka dilanggar.

Pada tahun 1975, penguasaan tanah berpindah tangan ke PT Chandra Bumi Kota, yang menyewa tanah selama 25 tahun.

“Proses ini pun berlangsung tanpa pelibatan langsung masyarakat. Lagi-lagi, mereka hanya mengetahui informasi dari kepala desa dan adat, sementara ganti rugi yang diberikan pun tidak seluruhnya dibayarkan,” kata Bowo. 

Ketika perusahaan menelantarkan lahan dari tahun 1980 hingga 1989, lanjut dia, masyarakat kembali menanami tanah dengan tanaman pangan demi menyambung hidup.

Tahun 1990, PT Bumi Sentosa Abadi (PT BSA) mengambil alih pengelolaan lahan dari PT Chandra Bumi Kota.

“Awalnya, masyarakat tidak menolak karena mengira PT BSA hanya meneruskan kontrak sewa selama 25 tahun,” ujar Bowo.

Tanaman singkong diubah menjadi sawit pada 1991, dan selama dua dekade berikutnya tidak ada konflik terbuka karena masyarakat percaya masa sewa akan segera berakhir.

Barulah pada tahun 2012, masyarakat menyadari bahwa PT BSA telah memperoleh sertifikat Hak Guna Usaha (HGU) atas lahan mereka sejak tahun 2004 dan 2005.

“Hal ini memicu amarah dan kesadaran kolektif, sehingga masyarakat tiga desa melakukan aksi reclaiming, mereka menduduki kembali lahan seluas 800,7 hektare dan memanen hasil dari tanaman yang tumbuh di sana,” kata Bowo.

Namun perjuangan ini dibalas dengan tindakan represif dari aparat.

Serikat Petani Lampung Tengah Geruduk Kantor Pemda
Ratusan petani dari Kecamatan Anak Tuha yang tergabung dalam Serikat Petani Lampung Tengah menggeruduk Kantor Bupati Lampung Tengah, Rabu (23/4/2025). Foto: Dokumentasi YLBHI LBH Bandar Lampung

Bentrok Petani dengan Aparat

Pada tahun 2013, bentrokan terjadi antara masyarakat dan gabungan aparat kepolisian dan tentara.

Gas air mata dan peluru karet digunakan untuk membubarkan warga.

“Saat itu, sejumlah warga terluka, ditangkap, dan diintimidasi. Meskipun demikian, masyarakat tetap melanjutkan perjuangan dengan cara menanami lahan yang belum disentuh perusahaan dengan tanaman pangan,” ujar Bowo. 

Upaya hukum dilakukan pada tahun 2014, namun gugatan masyarakat ditolak oleh pengadilan karena cacat formil. Bahkan beberapa warga kembali dikriminalisasi atas tuduhan jual beli lahan.

Pada tahun 2021, gugatan diajukan kembali, namun hasilnya pun sama: ditolak. Pengadilan justru menguatkan kepemilikan HGU PT BSA.

Puncak konflik terjadi pada bulan September 2023. PT BSA dengan dukungan penuh dari sekitar 1.500 aparat gabungan dari Polri, TNI, Brimob, dan Satpol PP menggusur paksa lahan seluas 892 hektare.

Traktor-traktor dikerahkan untuk membajak lahan yang sebelumnya digarap masyarakat. Bentrokan fisik kembali terjadi, masyarakat dipukul, ditangkap, dan kehilangan harta benda. Banyak warga memilih merantau karena takut ditangkap atau diintimidasi.

“Kini, masyarakat kehilangan akses terhadap sumber penghidupan utama mereka. Mereka bukan hanya kehilangan tanah, tapi juga hak untuk hidup layak, hak atas lingkungan, serta hak untuk diperjuangkan dalam negara hukum yang seharusnya melindungi mereka,” pungkas Bowo.

Baca Juga: Serikat Petani Lampung Minta Keadilan: usut mafia tanah dan hentikan kriminalisasi 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *