Sikap Komnas HAM Atas Kasus Pulau Rempang

oleh
Sikap Komnas HAM Atas Kasus Pulau Rempang
Koordinator Subkomisi Penegakan HAM Komnas HAM RI, Uli Parulian Sihombing. Foto: Tribunnews

DASWATI.ID – Koordinator Subkomisi Penegakan HAM, Uli Parulian Sihombing, menyampaikan sikap Komnas HAM atas kasus Pulau Rempang.

Dalam keterangan resminya, Jumat (22/9/2023), Uli menyampaikan Komnas HAM telah menerima pengaduan dari Ketua Koordinator Kerabat Masyarakat Adat Tempatan (KERAMAT) pada 2 Juni 2023.

Aduan tersebut terkait permohonan legalitas lahan masyarakat kampung-kampung di Pulau Rempang, Pulau Galang dan Pulau Galang Baru dan audiensi dari Himad Purelang mengenai aksi penolakan warga atas rencana pembangunan PSN di Kawasan Pengembangan Rempang Eco City.

“Komnas HAM telah menindaklanjuti dengan melakukan penanganan kasus melalui surat menyurat, Pra Mediasi kepada para pihak, serta melakukan pemantauan proaktif ke Kota Batam dan Pulau Rempang,” kata Uli dalam keterangan tertulisnya.

Tindak lanjut tersebut sesuai dengan kewenangan Komnas HAM sebagaimana diatur dalam Pasal 76 jo Pasal 89 ayat (3) dan (4) UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Sehubungan dengan tindak lanjut yang telah dilakukan, Uli menyampaikan sikap awal Komnas HAM atas kasus Pulau Rempang berdasarkan temuan-temuan faktual serta penjelasan dan keterangan dari beberapa pihak.

Di antaranya BP Batam; Kapolresta Barelang; pihak SMPN 22 Galang; pihak SDN 24 Galang; masyarakat Desa Sembulang, Desa Dapur 6 dan Pantai Melayu; serta tahanan di Polresta Barelang.

“Atas temuan tersebut, Komnas HAM menyampaikan posisi dan sikap sebagai berikut,” ujar Uli.

1. Meminta Menteri Koordinator Bidang Perekonomian agar meninjau kembali Pengembangan Kawasan Pulau Rempang Eco City sebagai PSN berdasarkan Permenko RI Nomor 7 tahun 2023;

2. Merekomendasikan Menteri ATR BPN untuk tidak menerbitkan HPL di lokasi Pulau Rempang mengingat lokasi belum clear and clean;

3. Komnas HAM menyampaikan bahwa penggusuran harus sesuai dengan prinsip-prinsip HAM sesuai yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (KIHESB) jo. Komentar Umum Nomor 7 tentang KIHESB, yaitu:

a. Kebijakan penggusuran paksa hanya dilakukan sebagai upaya terakhir setelah mempertimbangkan upaya-upaya lain;

b. Apabila terpaksa melakukan penggusuran paksa, pemerintah dan/atau korporasi wajib melakukan asesmen dampak penggusuran paksa dan kebijakan pemulihan kepada warga terdampak;

c. Pemerintah dan/atau korporasi wajib memberikan kompensasi dan pemulihan yang layak kepada warga terdampak sesuai prinsip-prinsip HAM;

d. Proses penggusuran harus sesuai standar Hak Asasi Manusia yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Kovenan Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya.

Ada tiga instrumen yang harus diperhatikan ketika melakukan penggusuran yaitu:

  • Musyawarah mufakat;
  • Pemberitahuan yang layak;
  • Relokasi sebelum penggusuran dilakukan;

e. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan ketika proses penggusuran dilakukan yaitu perlindungan prosedural, tanpa intimidasi dan kekerasan, serta mengerahkan aparat secara proporsional.

Komnas HAM juga menilai pemerintah harus bersikap humanis terhadap masyarakat Pulau Rempang.

4. Pemerintah harus melakukan dialog dan sosialisasi yang memadai dengan cara pendekatan kultural dan humanis atas rencana pengembangan dan relokasi sebagai dampak pembangunan PSN;

5. Terkait dengan penolakan masyarakat Pulau Rempang untuk direlokasi, Negara tidak boleh melanggar hak atas tempat tinggal yang layak, baik melalui tindakan maupun kebijakan yang diambil, baik tingkat lokal maupun nasional.

“Kebijakan Negara tidak boleh diskriminatif dan menimbulkan pembatasan tanpa dasar hukum yang sah, eksklusif dan tidak proporsional. Negara tidak boleh melakukan relokasi paksa (forced evictions) yang merupakan bentuk pelanggaran HAM,” kata Uli.

6. Tidak menggunakan cara kekerasan dengan pelibatan aparat berlebih (excessive use of power) dalam proses relokasi dan proses pembangunan Kawasan Pulau Rempang Eco City;

7. Kepolisian agar mempertimbangkan menggunakan keadilan restoratif dalam penanganan proses pidana kasus Pulau Rempang;

8. Kelompok rentan seperti anak-anak, perempuan, disabilitas, masyarakat adat harus dilindungi dari kekerasan dan lainnya di Pulau Rempang.

Baca Juga: Tujuh Petani Anak Tuha Akhirnya Dibebaskan Polres Lampung Tengah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *