Simpul Solidaritas: Ketika Keadilan Sosial Tinggal Narasi

oleh
Simpul Solidaritas: Ketika Keadilan Sosial Tinggal Narasi
Deklarasi Rakyat Sumatera melawan perampasan ruang hidup di Lapangan Merdeka Desa Sripendowo, Kecamatan Bandar Sribhawono, Lampung Timur, Senin (8/9/2025). Foto: Josua Napitupulu

DASWATI.ID – Berbagai elemen masyarakat dan organisasi dari penjuru Sumatera telah berkumpul dalam “Temu Rakyat Sumatera” di Desa Sripendowo, Kecamatan Bandar Sribhawono, Lampung Timur, 6-8 September 2025, untuk menyatukan suara melawan praktik perampasan ruang hidup yang semakin masif di pulau tersebut.

Pertemuan ini digagas sebagai wadah strategis untuk membangun “solidaritas mekanik” dan “kesadaran bersama sebagai sesama korban,” sekaligus menjadi cerminan pahit bahwa nilai-nilai keadilan sosial seringkali hanya menjadi narasi semata di tengah penderitaan rakyat.

Baca Juga: Temu Rakyat Sumatera di Sripendowo: Bersatu Melawan Perampasan Ruang Hidup

Konsolidasi Gerakan Rakyat Menentang Perampasan Ruang Hidup

Afrizal dari Perkumpulan Pembela Lingkungan Hidup (P2LH) Provinsi Aceh menyatakan bahwa Temu Rakyat Sumatera adalah terobosan efektif bagi gerakan massa di daerah, yang sebelumnya hanya mengawal isu di wilayah masing-masing.

Dengan adanya forum ini, diharapkan isu perampasan ruang hidup di Aceh tidak hanya disuarakan oleh warga Aceh, tetapi juga oleh perwakilan dari provinsi lain di Sumatera, sehingga menciptakan gerakan yang lebih besar dan mendapatkan atensi serius dari pemerintah.

Keyakinan ini didasari pada pemikiran bahwa apabila seluruh rakyat Sumatera bersatu menyuarakan isu-isu ini, kemenangan akan lebih mudah dicapai.

Ironi di Aceh: Ekosistem Kritis dan Kesejahteraan yang Terampas

Di Aceh, P2LH mengawal tiga klaster isu perampasan ruang hidup: pertambangan, energi, dan lahan basah (kehutanan).

Sektor energi disoroti dengan adanya pembangkit listrik berbahan fosil seperti PLTU 1 dan 2, yang kemungkinan akan bertambah dengan PLTU 3, 4, dan bahkan satu PLTU lagi.

Simpul Solidaritas: Ketika Keadilan Sosial Tinggal Narasi
Afrizal dari Perkumpulan Pembela Lingkungan Hidup (P2LH) Provinsi Aceh dalam acara Temu Rakyat Sumatera di Balai Desa Sripendowo, Kecamatan Bandar Sribhawono, Lampung Timur, 6-8 September 2025. Foto: Josua Napitupulu

Lebih mengkhawatirkan lagi adalah isu lahan basah di Suaka Margasatwa Rawa Singkil, sebuah kawasan hutan rawa gambut seluas 82.188 hektare yang memiliki status keanekaragaman hayati tertinggi.

Hutan Aceh, termasuk Aceh Singkil, merupakan rumah bersama bagi empat satwa kunci Pulau Sumatera (gajah, harimau, badak, orang utan) yang tidak ditemukan di daerah lain.

“Kita mengingat, hutan Aceh, termasuk Aceh Singkil menjadi rumah bagi empat satwa kunci Pulau Sumatera seperti gajah, harimau, badak, orang utan. Dan hanya hutan Aceh ini yang ditempati oleh empat satwa kunci ini, tidak ada di daerah lain,” kata Afrizal.

Deforestasi masif di kawasan Suaka Margasatwa Rawa Singkil, tidak hanya mengancam kelangsungan hidup satwa, tetapi juga menyebabkan banjir tahunan yang kian meningkat bagi masyarakat di pulau-pulau kecil, khususnya Kecamatan Kuala Baru, karena hilangnya pohon-pohon besar.

Di sektor pertambangan, Afrizal menyebutkan satu perusahaan tambang di Aceh Selatan yang telah beroperasi lebih dari 10 tahun namun gagal meningkatkan kesejahteraan masyarakat, bahkan menyebabkan banyak anak muda putus sekolah karena alasan ekonomi.

Sengketa Agraria di Padang Lawas: Ketika Hukum Berpihak pada Korporasi

Dari Kabupaten Padang Lawas (Palas), Sumatera Utara, Sugianto dari Kelompok Tani Torang Jaya Mandiri (KTTJM) membawa cerita konflik agraria yang mendalam.

KTTJM terlibat sengketa lahan seluas sekitar 289,00 Hektar yang diklaim sebagai Hutan Produksi, namun sejak tahun 2004 telah dibeli oleh masyarakat dan petani dari masyarakat adat dengan bukti-bukti jual beli yang sah.

Permasalahan mencuat ketika PT Sumatera Riang Lestari (SRL) dan PT Sumatera Sylva Lestari (SSL) merusak lahan pertanian petani, mengklaim hak pengelolaan berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan RI yang memberikan mereka izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu hutan tanaman (IUPHHK-HT/HTI) di wilayah Sumatera Utara, dengan luasan yang masif (PT SRL ±67.230 Ha dan PT SSL ±33.390 Ha).

Inti masalah ini adalah tumpang tindih perundang-undangan dan klaim hak atas tanah, di mana masyarakat merasa memiliki tanah secara sah, sementara pihak PT merasa berhak atas pengelolaan berdasarkan mandat negara.

Baca Juga: Mencari Titik Terang Konflik Agraria: Urgensi Pengadilan Khusus dan Kebijakan Satu Peta

Simpul Solidaritas: Ketika Keadilan Sosial Tinggal Narasi
Sugianto dari Kelompok Tani Torang Jaya Mandiri (KTTJM) Padang Lawas (Palas) Sumatera Utara membawa cerita konflik agraria yang mendalam dalam acara Temu Rakyat Sumatera di Balai Desa Sripendowo, Kecamatan Bandar Sribhawono, Lampung Timur, 6-8 September 2025. Foto: Josua Napitupulu

Akibatnya, anggota KTTJM dilaporkan ke Polda Sumut atas tuduhan perambahan hutan, dan puluhan warga telah berunjuk rasa di DPRD Sumatera Utara.

“Kami sudah tidak percaya dengan DPR/MPR dan polisi. Kekacauan polisi, polisi ada yang membekingi narkoba, membekingi pengusaha, ini suatu bukti DPR tidak berfungsi sebagai alat kontrol. Ini juga satu bukti bahwa DPR hanya alat melegitimasi kekuasaan yang menindas. DPR kedepannya harus berpihak kepada rakyat,” ujar Sugianto.

Dia berharap forum Temu Rakyat Sumatera tidak hanya sebatas program oriented, tapi mempersiapkan langkah-langkah strategis yang konkret kedepannya.

“Saya sepakat kita harus membubarkan DPR, tapi kita juga harus mempersiapkan langkah-langkah konkret. Jangan sia-siakan kedatangan kami dengan penuh ekspektasi. Kami tidak mau hadir hanya untuk program oriented,” tegas Sugianto.

“Tapi karena kami sudah terlegitimasi bahwa ini ada arah persatuan secara bersama-sama, saya siap menyumbangkan pikiran dan tenaga. Perjuangan adalah bersama-sama bukan menyerahkan nasib kepada orang lain. Yang menentukan nasib kita adalah diri kita sendiri,” pungkas dia.

Baca Juga: Masyarakat Sipil Oposisi Tanpa Ketergantungan Partai Politik

Hilangnya Kepercayaan dan Tuntutan Langkah Konkret

Sugianto menegaskan bahwa jika Temu Rakyat Sumatera hanya sebatas kumpul-kumpul, hal itu hanya akan membangun akumulasi kemarahan rakyat tanpa solusi konkret.

Ia menyatakan ketidakpercayaan terhadap DPR/MPR, yang dinilai tidak berfungsi sebagai alat kontrol dan justru menjadi alat melegitimasi kekuasaan penindas.

Sugianto menyerukan agar persatuan ini dirawat sebagai langkah strategis bersama, menuntut DPR untuk berpihak kepada rakyat, dan mempersiapkan langkah-langkah konkret ke depan.

Ia menekankan bahwa perjuangan adalah tanggung jawab bersama, bukan menyerahkan nasib kepada pihak lain, dan siap menyumbangkan pikiran serta tenaga asalkan ada arah persatuan yang jelas.

Simpul Solidaritas: Ketika Keadilan Sosial Tinggal Narasi
Ismail Allibio, mahasiswa Jurusan Sosiologi Universitas Muhammadiyah Bengkulu meninggalkan KKN demi turut serta dalam Temu Rakyat Sumatera di Desa Sripendowo, Kecamatan Bandar Sribhawono, Lampung Timur, 6-8 September 2025. Foto: Josua Napitupulu

Seruan Pemuda: Keadilan Sosial yang Menguap

Meninggalkan lokasi KKN-nya, Ismail Allibio, mahasiswa Jurusan Sosiologi Universitas Muhammadiyah Bengkulu, turut serta dalam Temu Rakyat Sumatera, mengapresiasi ajakan dari kawan-kawan NGO lingkungan.

Baginya, perampasan ruang hidup adalah realitas yang menakutkan, di mana hak bernapas dan tanah pun dirampas, seperti pengerusakan ekosistem di Bengkulu.

Ismail mengajak pemuda dan berbagai kalangan di Sumatera untuk melangkahkan kaki secepatnya dalam perjuangan ini, dengan harapan Temu Rakyat Sumatera dapat melahirkan solidaritas dan menghentikan segala bentuk perampasan.

Ia secara tajam mengkritik bahwa “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia itu bohong,” mengingat bagaimana masyarakat tidak bisa bertani karena tanah dirampas, nelayan tidak bisa mencari ikan karena laut rusak, dan masyarakat bernapas dengan polusi asap PLTU.

“Saya berharap nilai-nilai Pancasila dapat diterapkan secara betul oleh sistem pemerintahan, bukan hanya narasi persuasif yang menenangkan sesaat tanpa langkah konkret penyelesaian persoalan,” kata Ismail.

Temu Rakyat Sumatera yang dihadiri masyarakat sipil, petani, nelayan, dan masyarakat adat se-Sumatera menjadi sebuah penanda penting bagi gerakan rakyat di Sumatera, yang bertekad untuk bersatu dan menuntut perhatian pemerintah terhadap penderitaan yang tak kunjung usai.

Dengan “Simpul Solidaritas” yang terbentuk, Temu Rakyat Sumatera menjadi cerminan bahwa ketika keadilan sosial hanya tinggal narasi, rakyat akan bangkit menyuarakan kebenaran dan menuntut perubahan nyata.

Baca Juga: Benang Kusut Perampasan Ruang Hidup di Tanah Andalas

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *