Tidak Ada Ruang Aman Bagi Perempuan di Kampus

oleh
Tidak Ada Ruang Aman Bagi Perempuan di Kampus
Tim Penanganan Kasus Perkumpulan Damar Lampung, Sely Fitriani. Foto: Josua Napitupulu

DASWATI.IDPerkumpulan Damar Lampung menilai tidak ada ruang aman bagi perempuan di lingkungan kampus.

Pernyataan itu disampaikan setelah Polda Lampung menetapkan dosen HS dari kampus STKIP PGRI Bandarlampung sebagai tersangka tindak pidana asusila.

“Penetapan tersangka dosen HS dari STKIP PGRI Bandarlampung oleh Polda Lampung menunjukkan bahwa tidak ada ruang aman untuk perempuan di kampus,” ujar Sely Fitriani salah satu Tim Penanganan Kasus Perkumpulan Damar Lampung, Kamis (16/11/2023) pagi.

Polda Lampung menetapkan HS sebagai tersangka pada November 2023 sejak kasus dugaan tindakan asusila itu dilaporkan pada 4 Agustus 2023.

“Dalam jangka waktu tersebut tentunya korban mengalami ketidakpastian sekaligus penderitaan mengingat pelaku baru ditetapkan sebagai tersangka pada bulan ini,” kata Sely.

Menurut dia, penetapan status tersangka HS ini harus dipahami dalam kacamata relasi kuasa sebagaimana diatur dalam Pasal 12 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).

“Terjadinya ketimpangan memudahkan pelaku memanfaatkan posisinya sebagai dosen untuk memperdaya dan melakukan tindakan kekerasan seksual,” ujar dia.

Berdasarkan hal itu, Sely mengatakan tidak ada ruang aman bagi perempuan di kampus.

“Makna ruang aman di kampus bukan hanya terkait kegiatan atau aktivitas secara kehadiran di lingkungan kampus, tapi lebih luas dari sekedar ruang di dalam kampus,” kata dia.

Sely mengacu pada Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan Dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi.

“Makna ruang menunjukkan lebih kepada pelaksanaan Tridharma perguruan tinggi baik di dalam atau di luar kampus,” ujar dia.

Dalam pasal 7 Permendikristek ini pun, tambah Sely, salah satu upaya pencegahan kekerasan seksual adalah dengan membatasi pertemuan di luar kampus.

“Terjadinya kegiatan di luar kampus STKIP PGRI yang berujung pada kekerasan seksual merupakan catatan tersendiri terhadap mekanisme pencegahan dan penanganan yang perlu diperhatikan oleh kampus,” tegas Sely.

Damar mendorong terciptanya ruang aman bagi perempuan di kampus.

Dalam pernyataan sikapnya, Perkumpulan Damar Lampung mengapresiasi Polda Lampung dan mendorong terciptanya ruang aman bagi perempuan.

Berikut pernyataan sikap Perkumpulan Damar Lampung:

  1. Apresiasi terhadap kerja Polda Lampung yang menetapkan tersangka kepada dosen HS. Dasar penetapan tersangka ini menjadi awalan untuk komitmen untuk menciptakan ruang aman khususnya di lingkup kampus.
  2. Bagi Korban, tindak Pidana Kekerasan Seksual berdampak pada penderitaan fisik, mental, kerugian ekonomi, dan atau kerugian sosial.

  3. Peristiwa Kekerasan Seksual di Kampus membuktikan bahwa ruang publik seperti kampus pun tidak memiliki ruang aman dan justru membangun kerentanan dan ketidaksetaraan bagi perempuan.
  4. Dalam kasus ini juga Perkumpulan Damar mendukung Polda Lampung dan Kejaksaan Tinggi Lampung untuk memperhatikan pasal 12 UU TPKS sebagai pemberatan karena adanya pemanfaatan posisi, kedudukan, dan kewenangan dosen kepada korban mahasiswi. Secara tegas juga dalam Pasal 15 UU TPKS disebutkan penambahan 1/3 jika salah satunya dilakukan oleh pelaku yang berprofesi sebagai pendidik. Unsur dalam kedua pasal tersebut terpenuhi ketika mengacu pada peristiwa kekerasan seksual yang terjadi mengingat pelaku adalah dosen sedangkan korban adalah mahasiswanya.

  5. Perkumpulan Damar pun mendukung Polda Lampung dan Kejati Lampung untuk memperhatikan adanya restitusi sebagai bagian dari pidana penjara yang diancam lebih dari 4 (empat) tahun dan restitusi hak bagi korban sebagaimana dalam Pasal 30 UU TPKS. Kerugian bagi korban yang harus diganti melalui restitusi adalah kekayaan atau penghasilan, akibat dari penderitaan akibat Tindak Pidana Kekerasan Seksual, penggantian biaya medis/psikologis, atau kerugian lain yang timbul.
  6. Mendorong dan mendukung juga POLDA Lampung dan Kejati Lampung untuk mengungkap kemungkinan atau dugaan adanya korban lain dalam kasus ini maupun kasus lain yang ada di kampus.

  7. Mendorong dan mendukung juga POLDA Lampung dan Kejati Lampung untuk mengungkap dan menindak tegas apabila adanya obstruction of justice/ upaya mencegah, merintangi atau menggagalkan penyidikan dan penuntutan dalam kasus TPKS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 UU TPKS.
  8. Mendorong dan mendukung POLDA Lampung untuk mengutamakan keselamatan dan kesehatan korban yaitu dengan melakukan penetapan pelindungan sementara bagi korban yang kemudian diikuti dengan permintaan pelindungan kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban sebagaimana diatur dalam Pasal 42, 43, dan 44 UU TPKS. Pada saat pemberian pelindungan sementara ini POLDA juga dapat bekerja sama dengan Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak di Provinsi Lampung.

  9. Mendorong dan Mendukung POLDA Lampung juga menetapkan mekanisme pembatasan gerak tersangka sampai pada tersangka ditahan sebagaimana diatur dalam Pasal 45 UU TPKS mengingat terdapat potensi intimidasi, ancaman dan/atau kekerasan.
  10. Mendorong STKIP PGRI untuk melakukan pemecatan HS pasca ditetapkannya sebagai tersangka sehingga menjadi upaya dan komitmen bagi kampus untuk menciptakan ruang aman dan nyaman bagi mahasiswa, pendidik, tenaga kependidikan, warga kampus dan masyarakat umum.

  11. Mendorong STKIP PGRI untuk mengimplementasikan Permendikbudristek No 30 Tahun 2021 yang memberikan mandat pencegahan dan penanganan kekerasan seksual kepada kampus melalui pembentukan dan penguatan Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual.

Baca Juga: Serikat Pekerja Media Lampung Dorong Upah Jurnalis Setara UMP 2024

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *