HUT Ke-60 Lampung, LBH Soroti Kotabaru dan Penggusuran Petani

oleh
Catahu LBH Bandarlampung 2023: konflik agraria menguat
Direktur LBH Bandarlampung Sumaindra Jarwadi bersama ratusan petani dari berbagai desa di Lampung berunjuk rasa menuntut usut tuntas kasus mafia tanah, Rabu (10/1/2024), di Kantor DPRD Provinsi Lampung. Foto: Josua Napitupulu

DASWATI.ID – Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandarlampung menyoroti mangkraknya pembangunan Kotabaru dan penggusuran petani penggarap lahan Kotabaru pada peringatan HUT Ke-60 Provinsi Lampung yang jatuh pada 18 Maret 2024.

Sementara, Gubernur Lampung Arinal Djunaidi mengklaim keberhasilan pembangunan selama empat tahun terakhir dalam Rapat Paripurna DPRD pada puncak HUT Ke-60 Lampung.

“Dua hari sebelumnya, tepat pada 16 Maret 2024 lalu, di tengah ketenangan menjalankan ibadah puasa Ramadan, sejumlah lahan garapan petani diporak-porandakan oleh Pemprov Lampung melalui Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD),” Direktur LBH Bandarlampung Sumaindra Jarwadi dalam keterangan tertulisnya, Selasa (19/3/2024).

Baca Juga: Pemprov Lampung Rusak Lahan Garapan Petani Kota Baru

Satgas Pengamanan Aset Daerah Pemprov Lampung menggusur tanaman petani penggarap lahan Kotabaru, Jati Agung, Lampung Selatan.

“Lahan yang baru saja ditanami singkong oleh petani digusur dengan menggunakan 3 traktor bajak yang dikawal oleh puluhan preman,” kata dia.

Pemerintah Provinsi (Pemprov) Lampung berdalih penggusuran tanaman singkong petani dalam rangka penertiban aset.

“Mereka dengan sengaja menggusur tanaman petani yang menolak untuk melakukan sewa di atas tanah pemprov yang sebelumnya akan direncanakan dibangun Ibu Kota Baru Provinsi Lampung,” jelas Indra.

Ia mengatakan mayoritas petani penggarap lahan Kotabaru berasal dari tiga desa sekitar.

“Mereka bukan penggarap baru. Lahan Kotabaru sudah digarap sejak tanah tersebut masih berstatus kawasan hutan di tahun 1950-an,” ujar dia.

Sebagian besar masyarakat petani penggarap sekarang ini merupakan generasi kedua.

“Orang tua mereka dahulu adalah Transmigran Swakarsa di tahun 1940-an dari daerah Jawa dan membuka lahan di kawasan hutan untuk digunakan bercocok tanam dan pemukiman,” kata Indra.

Ia menuturkan dahulu lahan Kotabaru masih berstatus Kawasan Hutan Produksi Register 40 Gedong Wani yang ditetapkan sebagai kawasan hutan sejak zaman kolonial Belanda lewat Besluit Resident Lampung District No. 372 tertanggal 12 Juni 1937.

Penggarapan terus dilakukan oleh masyarakat sampai pada tahun 2011 Pemerintah Provinsi Lampung menetapkan kebijakan pembangunan Kotabaru sebagai pusat Pemerintahan Provinsi Lampung di wilayah tersebut.

Pembangunan ibu kota itu menggunakan lahan seluas 1.300 Ha melalui Peraturan Daerah Nomor 12 tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Lampung Tahun 2009-2029.

“Namun, faktanya hingga hari ini pembangunan Kotabaru justru mangkrak dan meninggalkan bangunan kosong,” sesal Indra.

Setelah pembangunan ibu kota baru mangkrak bertahun-tahun, Gubernur Lampung Arinal Djunaidi menerbitkan Keputusan Gubernur Nomor G/293/VI.02/HK/2022 tentang Penetapan Sewa Tanah Kotabaru Yang Belum Dipergunakan Untuk kepentingan Pembangunan Provinsi Lampung.

Keputusan ini melahirkan reaksi penolakan dari masyarakat yang dinilai cenderung memberatkan petani lahan garapan karena harga sewa lahan yang dianggap terlalu tinggi.

Nominal harga sewa lahan Kotabaru yang telah ditetapkan melalui keputusan tersebut sebesar Rp300/meter/tahun atau Rp3.000.000/hektare/tahun.

“Harga sewa tersebut semakin menjauhkan masyarakat petani penggarap dari kesejahteraan,” kata Indra.

Dia pun menjelaskan petani lahan garapan Kotabaru adalah petani singkong, jagung dan padi.

Mereka harus mengeluarkan biaya produksi kurang lebih Rp5.000.000 – Rp.10.000.000 per hektare sekali musim tanam hingga panen.

Sementara, lanjut Indra, harga beras yang meroket, pajak yang naik, tidak diimbangi dengan kestabilan harga hasil pertanian.

“Harga singkong dan jagung yang bersifat fluktuatif ditambah dengan kondisi perekonomian yang tidak menentu, tidak menguntungkan bagi petani,” ujar dia.

Oleh karena itu, kebijakan Pemprov Lampung yang menetapkan harga sewa lahan Kotabaru mengancam ruang penghidupan petani.

“Seolah menutup mata dan telinga, kebijakan sewa lahan Kotabaru pada faktanya meniadakan masyarakat yang hari ini melakukan penggarapan di sana sejak tahun 1940-an dengan sama sekali tidak dilibatkan dalam hal perumusan kebijakan,” kata Indra.

Baca Juga: Catahu LBH Bandarlampung 2023: konflik agraria menguat

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *