DASWATI.ID – Kelestarian hutan Lampung seluas 1.004.735 Ha terancam pertumbuhan penduduk yang signifikan.
Kepala Bidang Perlindungan dan Konservasi Hutan Dinas Kehutanan (Dishut) Lampung, Zulhaidir, mengatakan laju pertumbuhan penduduk Lampung mengancam kelestarian hutan.
“Ancaman terberat adalah pertumbuhan jumlah penduduk. Dan diprediksi di 2040 pertumbuhan penduduk akan semakin tinggi,” ujar dia.
Pernyataan itu disampaikan dalam acara nonton bareng dan diskusi publik yang digelar Masyarakat Jurnalis Lingkungan Indonesia atau The Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ) Simpul Lampung.
Kegiatan ini terselenggara atas kerja sama SIEJ dengan Teknokra Universitas Lampung (Unila) di Gedung Graha Kemahasiswaan Unila, Bandarlampung, Senin (3/6/2024).
Diskusi bertajuk “Deforestasi Atas Nama Investasi” itu dipandu Koordinator SIEJ Simpul Lampung Derri Nugraha.
Hadir sebagai narasumber Staf Kampanye Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Lampung Mustakim, Fungsional Perencana Ahli Madya Bappeda Lampung Ida Susanti, Pengamat Kebijakan Publik Unila Dodi Faedlulloh, dan Jurnalis CNN Televisi Indonesia M Miftah Faridl.
Zulhaidir menyampaikan berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah penduduk Lampung pada tahun 2022 sebanyak 9,17 juta jiwa.
Menurut dia, semakin tinggi pertumbuhan jumlah penduduk, kebutuhan akan tempat tinggal dan pekerjaan juga tinggi.
Diperkirakan daerah Tanggamus, Lampung Barat, Pesisir Barat, yang sebagian besar wilayahnya kawasan hutan akan mulai dipadati penduduk pada 2040.
“Bisa dibayangkan tekanan ancaman kelestarian hutan di 2040. Mulai ada aktivitas membuka lahan, bisa dengan cara manual atau membakar,” kata dia.
Hutan Lampung terancam pertumbuhan penduduk. Perlu pengaturan dan kebijakan yang ketat untuk mengendalikan jumlah penduduk dan menjaga kawasan hutan.
Untuk mengatasi beban ekologis ini, Zulhaidir memaparkan kebijakan Dishut Lampung untuk menjaga keanekaragaman hayati hutan Lampung.
“Kebijakan yang diambil oleh dishut ada tiga. Pertama, perlindungan hutan. Kami mencoba mempertahankan dan menjaga kondisi kawasan hutan yang masih bagus, terutama 14% zona inti,” ujar dia.
Kedua, merehabilitasi kawasan-kawasan hutan yang sudah kritis.
“Kemudian, yang paling penting adalah pemanfaatan kawasan hutan. Kami mengoptimalkan masyarakat dalam kawasan untuk dapat memanfaatkan hutan dengan bijak dan baik,” kata Zulhaidir.
Ia mengungkap hutan Lampung memiliki potensi ekonomi besar yang dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat.
“Di 2024 transaksi ekonomi dari kawasan hutan sebesar Rp244 miliar lebih se-Provinsi Lampung. Di tahun 2023 sebesar Rp234 miliar lebih. Itu dihitung berdasarkan nilai jual,” ujar dia.
Zulhaidir mengatakan dari nilai transaksi tersebut, PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) sebesar Rp303 juta.
“Itu yang dibayarkan masyarakat kepada negara,” lanjut dia.
Kerusakan hutan Lampung.
Meskipun demikian, Zulhaidir tak menampik kerusakan kawasan hutan yang berada di bawah kewenangan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Lampung.
“Dari beberapa kawasan hutan yang menjadi kewenangan Pemerintah Provinsi Lampung, kami tidak menampik bahwa memang kondisi saat ini ada rusak, tetapi masih ada beberapa hektare yang bagus,” kata dia.
“Kawasan yang kami kelola masih bagus sekitar 62,58%,” sambung Zulhaidir.
Ia menyampaikan 86% dari luas kawasan hutan Lampung sudah dikelola oleh masyarakat, baik pemanfaatan kawasan hutan oleh perusahaan seperti di Mesuji dan Way Kanan, maupun PS (Perhutanan Sosial).
“Sementara zona inti di KPA (Kawasan Pelestarian Alam) sekarang ini ada ±14%, yang benar-benar tutupannya masih bagus, masih banyak satwanya. Ini harus kita lindungi dan jaga,” ujar Zulhaidir.
Hingga saat ini, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Lampung mencatat seluas 375.928 ha dari 1.004.735 ha total hutan di Lampung mengalami kerusakan.
Hal itu didominasi alih fungsi lahan menjadi kawasan pemukiman dan perkebunan musiman.
“Kerusakan itu salah satunya akibat kebijakan pembangunan dari Pemerintah Provinsi Lampung yang tak berorientasi jangka panjang,” ujar Mustakim dari Walhi Lampung dalam diskusi.
Ia mencontohkan alih fungsi ruang terbuka hijau (RTH) di Kota Bandarlampung.
“Selama 2010-2020, dari 344,256 ha luas RTH di Bandarlampung, sekitar 102,43 ha lahan beralih fungsi menjadi industri, perumahan, objek wisata, dan lain-lain,” kata Mustakim.
Selanjutnya, dari 33 bukit di Kota Tapis Berseri, sebanyak 20 bukit rusak parah. Sebagian besar menjadi pertambangan dan permukiman.
Baca Juga: Walhi Kecam Keras Pemkot Atas Hilangnya Taman Hutan Kota Bandarlampung
Menurut dia, hal itu disebabkan kebijakan pemerintah yang kerap memberi restu pembangunan yang mengambil RTH.
“Atas nama pembangunan dan investasi, RTH disulap menjadi pusat bisnis dan jasa. Bukit-bukit ditambang, lalu dibentuk menjadi perumahan dan objek wisata. Dengan dalih untuk hajat hidup orang banyak, hutan dibabat dan terjadi alih fungsi lahan,” ujar dia.
“Contoh terbaru, dalam Rancangan Perda RTRW Kota Bandarlampung dalam pasal 22 huruf (b) yaitu Kawasan Hutan Lindung Batu Sirampog Register 17 di Kecamatan Panjang, direncanakan ditetapkan sebagai kawasan perumahan,” jelas Mustakim.
Alih status Batu Sirampog kewenangan pusat.
Fungsional Perencana Ahli Madya Bappeda Lampung Ida Susanti menegaskan Kawasan Hutan Lindung Batu Sirampog Register 17 di Kecamatan Panjang masih dalam proses peralihan (Holding Zone).
“Statusnya Holding Zone atau masih dalam proses peralihan. Sejak 2010 kawasan Batu Sirampog secara faktual memang sudah terdapat pemukiman. Jadi dialihkan, yang awalnya kawasan lindung menjadi perumahan. Namun, yang memiliki kewenangan tetap pemerintah pusat,” kata dia.
Namun, lanjut Ida Susanti, Bappeda Lampung secara garis besar akan mempertahankan hutan, dan memperbaiki hutan yang rusak dalam setiap perencanaan pembangunan di Lampung.
Pengamat Kebijakan Publik Unila Dodi Faedlulloh meminta pemerintah daerah melibatkan publik dalam setiap perumusan kebijakan, khususnya masyarakat yang bakal terdampak kebijakan.
“Pemerintah mesti mendasarkan sebuah kebijakan pada studi ilmiah dan berbasis bukti nyata. Artinya, kebijakan tersebut sudah terbukti membawa dampak baik bagi lingkungan dan sosial,” kata Dodi.
Refleksi deforestasi hutan Kalimantan.
Koordinator SIEJ Simpul Lampung Derri Nugraha mengatakan acara nobar dan diskusi merefleksikan deforestasi hutan Kalimantan yang dilaporkan oleh Jurnalis CNN Televisi Indonesia M Miftah Faridl.
Laporan tersebut diinisiasi oleh SIEJ pusat melalui platform Depati Project.
Media yang tergabung dalam kolaborasi yaitu CNN Indonesia TV, Betahita.id, Pontianak Post, Mongabay Indonesia, Ekuatorial.com, dan Jaring.id.
“Kami merefleksikan deforestasi hutan Kalimantan dengan melihat kerusakan hutan di Lampung,” ujar Derri.
Menurut dia, deforestasi hutan Kalimantan memiliki kemiripan dengan kerusakan hutan di Lampung.
“Kondisi hutan di Lampung tidak baik-baik saja. Lebih dari 30% hutan di Lampung mengalami kerusakan yang salah satunya akibat alih fungsi lahan,” kata Derri.
Kerusakan hutan Lampung, lanjut dia, perlu mendapatkan perhatian serius dari semua pihak.
“Sebab hutan merupakan jantung dari sebuah daerah. Di dalamnya, terdapat ekosistem kehidupan yang harus dijaga. Jika rusak, dapat dipastikan terjadi ketidakseimbangan ekosistem yang dapat memicu masalah multisektor mulai bencana alam hingga konflik sosial,” ujar dia.