Rapor Merah Arinal Djunaidi dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup

oleh
Rapor Merah Arinal Djunaidi dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup
Direktur Eksekutif Walhi Lampung Irfan Tri Musri. Foto: Josua Napitupulu

DASWATI.ID – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Provinsi Lampung memberikan rapor merah kepada Arinal Djunaidi dalam pengelolaan lingkungan hidup.

Kepemimpinan Gubernur Lampung Arinal Djunaidi resmi berakhir pada 12 Juni 2024 kemarin.

Walhi Lampung menilai isu lingkungan hidup dan kepentingan masyarakat kecil belum menjadi prioritas dalam masa kepemimpinan Arinal Djunaidi selama 5 tahun menjabat sebagai Gubernur Lampung 2019-2024.

Rapor merah Arinal Djunaidi dalam pengelolaan lingkungan hidup ini di antaranya maraknya permasalahan lingkungan yang muncul; kepentingan masyarakat kecil (petani dan nelayan) yang terabaikan; konflik agraria yang merajalela tanpa adanya penyelesaian; kebijakan yang tidak pro masyarakat dan keberlanjutan lingkungan; pembangunan yang serampangan; obral izin dan program yang merampas hak rakyat; lemahnya penegakan hukum terhadap penjahat lingkungan.

Menurut Walhi, hal ini akan membawa Lampung semakin terpuruk dan menuju kemiskinan serta gagal dalam beradaptasi terhadap kondisi krisis iklim global.

Direktur Eksekutif Walhi Lampung Irfan Tri Musri mengatakan persoalan lingkungan hidup tidak pernah diselesaikan secara serius selama kepemimpinan Arinal Djunaidi.

“Yang terbaru ialah di sisa penghujung masa jabatannya, Arinal belum mencabut Peraturan Gubernur Lampung Nomor 33 Tahun 2020,” ujar Irfan dalam keterangannya, Kamis (13/6/2024).

Peraturan Gubernur (Pergub) Lampung Nomor 33 Tahun 2020 tentang Tata Kelola Panen dan Produktivitas Tanaman Tebu yang telah diubah dengan Peraturan Gubernur Lampung Nomor 19 Tahun 2023 dinyatakan melanggar peraturan di atasnya oleh Mahkamah Agung (MA).

Baca Juga: MA Perintahkan Cabut Pergub Lampung yang Izinkan Panen Tebu Dibakar

“Lahirnya pergub yang telah berjalan lebih kurang 4 tahun tersebut jelas telah menguntungkan korporasi perkebunan tebu yang ada di Provinsi Lampung,” kata Irfan.

Terbitnya pergub tersebut mengabaikan hak masyarakat atas lingkungan hidup yang sehat dan berkelanjutan.

Aktivitas pembakaran kebun tebu yang dilegalkan itu tentunya sangat merugikan masyarakat akibat asap dan debu yang muncul.

“Pemanenan dengan cara membakar ini juga tentunya menambah polusi dan sebaran emisi di Indonesia, khususnya Provinsi Lampung,” ujar dia.

Irfan menilai Arinal Djunaidi sebagai kepala pemerintahan di Provinsi Lampung seharusnya memiliki kapasitas dan kapabilitas untuk memberikan rekomendasi aturan yang mendukung hidup, dan sumber-sumber penghidupan masyarakatnya.

“Bukan justru melindungi para korporasi di Provinsi Lampung yang terus menggerus sumber daya yang ada,” sesal dia.

Rapor Merah Petani Berjaya.

Rapor Merah Arinal Djunaidi lainnya adalah kenyataan yang bertolak belakang dengan slogan yang selama ini digaungkan dalam kepemimpinan Arinal Djunaidi yaitu “Petani Berjaya”.

“Petani Berjaya yang selalu digadang-gadang melindungi petani serta memberikan kemudahan akses terhadap petani, justru kontradiksi dengan apa yang terjadi di lapangan,” kata Irfan.

Serikat Petani Lampung Bakal Geruduk Kementerian ATR/BPN Tagih Hak Tanah Garapan
Aksi unjuk rasa Serikat Petani Lampung di Tugu Adipura Kota Bandarlampung, Rabu (29/5/2024). Foto: Josua Napitupulu

Walhi memandang eksistensi petani Lampung terancam karena sulitnya mengakses pupuk subsidi, kenaikan harga bibit dan obat-obatan, harga jual hasil pertanian yang sangat murah, dan ketersediaan ruang atau lahan pertanian.

“Petani tidak memiliki posisi tawar yang jelas atas hasil tani yang mereka produksi akibat banyaknya tengkulak, serta belum ada aturan atau regulasi yang mengatur hal tersebut,” ujar Irfan.

Akibatnya, lanjut dia, tidak ada kepastian pasar produk pertanian dengan harga yang menguntungkan para petani.

“Petani terpaksa mengikuti aturan main para tengkulak yang sewenang-wenang mengatur harga jual dan beli hasil pertanian, sebab jika tidak, maka para petani tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya,” tegas Irfan.

Program Arinal yang tidak berpihak kepada petani juga terlihat dari kebijakannya terhadap petani lahan garapan di Kotabaru, Lampung Selatan.

Penggusuran lahan garapan petani untuk pembangunan Kotabaru menunjukkan ketidaksetaraan distribusi tata kuasa dan tata kelola pertanian yang buruk di Provinsi Lampung.

“Meskipun pertanian telah menjadi tulang punggung ekonomi lokal, petani seringkali tidak memiliki kekuatan politik dan ekonomi yang cukup untuk melawan kepentingan pembangunan yang lebih besar,” kata Irfan.

Dalam hal ini, petani menjadi pihak yang rentan dan mudah diabaikan dalam proses pengambilan keputusan pembangunan.

Baca Juga: Catahu LBH Bandarlampung 2023: konflik agraria menguat

Pengelolaan Pesisir.

Dalam hal perizinan pengelolaan kekayaan sumber daya alam (SDA) di pesisir Lampung, Walhi juga menilai Arinal Djunaidi telah mengangkangi Peraturan Daerah (Perda) Lampung tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K).

“Program pendalaman alur di Kampung Kuala Teladas, Tulangbawang, yang melibatkan pihak ketiga yaitu PT STTP sebagai pelaksana, dalam praktiknya hanya untuk mengambil pasir dan tanpa kelengkapan izin Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL),” jelas Irfan.

Perda RZWP3K Provinsi Lampung secara tegas menyatakan tidak ada ruang tambang di wilayah Pesisir Lampung, kecuali untuk minyak dan gas bumi di Lampung Timur.

Irfan menyampaikan seharusnya Pemerintah Provinsi Lampung bersikap tegas dan bijaksana dalam mengelola SDA secara berkelanjutan dan berkeadilan dengan melibatkan masyarakat.

“Apagi sekarang telah muncul PP Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut yang mengancam keberlangsungan laut Lampung, dan memicu maraknya izin tambang pasir laut,” kata dia.

Ia menyampaikan PP 26/2023 ini berpotensi merusak kawasan pesisir timur Lampung sebagai lumbung perikanan sehingga mengancam kehidupan para nelayan Lampung.

“Provinsi Lampung merupakan salah satu penghasil rajungan utama di Indonesia,” ujar Irfan.

Produksi Padi Lampung Naik di Tahun 2022
Gubernur Lampung Arinal Djunaidi (kiri) dan Menko Perekonomian RI Airlangga Hartarto (kanan) saat panen perdana Padi Gogo di Tulangbawang Barat pada Sabtu (12/2/2022) lalu. Foto: Arsip Biro Adpim Pemprov Lampung

Secara nasional, pada tahun 2019-2020, Lampung berkontribusi sekitar 10-12% dari total ekspor Indonesia. Lampung menempati urutan ketiga setelah Jawa Timur dan Jawa Tengah (BKIPM, 2021).

“Daerah penghasil utama rajungan Lampung terletak di pesisir timur Lampung meliputi 3 kabupaten yaitu Lampung Timur, Lampung Tengah dan Tulangbawang,” jelas Irfan.

Nilai ekspor rajungan dari pesisir timur Lampung mencapai Rp500 miliar.

“Pengelolaan hasil sedimentasi laut nantinya akan menimbulkan dampak terhadap 4.000 nelayan rajungan,” ungkap Irfan.

Dari jumlah tersebut, terdapat sekitar 1.100 nelayan kecil yang menggunakan kapal berukuran kurang dari 5 GT.

“Mereka menggunakan alat tangkap utama jaring, dan sebagian kecil bubu,” kata Irfan.

Sedangkan di sektor hilir, kegiatan pasca panen perikanan rajungan melibatkan 2.000 lebih pekerja di 20 unit miniplant rajungan dan 5 Unit Pengolahan Ikan (UPI), sekaligus sebagai eksportir rajungan.

“Keseluruhan miniplant tersebut terletak di desa-desa pusat pendaratan rajungan dan merupakan UMKM yang mempekerjakan sebagian besar tenaga kerja perempuan. Tentu ini harus menjadi pertimbangan oleh negara dalam mengambil keputusan,” pungkas Irfan.

Baca Juga: Hutan Lampung Terancam Pertumbuhan Penduduk

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *