DASWATI.ID – KPK menetapkan Bupati Lampung Tengah, Ardito Wijaya (AW), bersama empat orang lainnya sebagai tersangka atas dugaan gratifikasi dan penerimaan hadiah atau janji pada Kamis (11/12/2025).
Kasus ini menyoroti kompleksitas biaya politik yang mahal dan jebakan utang yang melilit kepala daerah terpilih, bahkan ketika laporan resmi dana kampanye dinyatakan patuh.
KPK mengungkapkan bahwa Ardito diduga menerima total dana haram sebesar Rp5,75 miliar. Dari jumlah tersebut, dana sebesar Rp5,25 miliar digunakan secara khusus untuk melunasi utang bank yang terkait dengan kebutuhan kampanye Pilkada 2024.
Sumber dana haram ini berasal dari fee rekanan yang disalurkan melalui adik kandung bupati dan perantara lainnya selama periode Februari hingga November 2025.
Temuan ini menimbulkan kontras yang tajam. Meskipun jumlah utang kampanye yang ditutup melalui hasil korupsi mencapai Rp5,25 miliar, total penerimaan dana kampanye resmi pasangan Ardito Wijaya dan I Komang Koheri yang tercatat hanya sekitar Rp1,1 miliar berupa uang dan barang.
Ironisnya, Komisi Pemilihan Umum (KPU) Lampung Tengah sebelumnya menyatakan hasil audit Laporan Dana Kampanye pasangan tersebut adalah ‘Patuh’ (Compliant) berdasarkan hasil audit Kantor Akuntan Publik Ahmad Raharjo Utomo.
Baca Juga: Dana Kampanye Ardito Wijaya Rp1,1 M, Ditutupi Utang Rp5,25 M Hasil Korupsi
Akademisi Universitas Muhamadiyah Lampung (UML), Candrawansah, mengatakan kasus Ardito ini menambah daftar panjang kepala daerah di Provinsi Lampung yang berurusan dengan penegak hukum karena korupsi, yang mana sering kali dikaitkan dengan biaya yang dikeluarkan untuk pemilihan sebelumnya.
“Perpolitikan di Lampung selalu menasional, dan dinamika politiknya sering menjadi perhatian,” ujar dia di Bandar Lampung, Jumat (12/12/2025).
Menurut Sekretaris Umum Fokal IMM Lampung ini, biaya politik di Indonesia memang sangat mahal.
“Untuk menjadi kepala daerah tingkat kabupaten/kota, dibutuhkan dana politik tidak kurang dari Rp100-200 miliar, sementara untuk gubernur dapat mencapai Rp300-400 miliar,” jelas dia.
Beban yang dihadapi kepala daerah terpilih adalah harus mengembalikan dana yang telah dikeluarkan, atau malah terlilit utang kepada donatur-donatur.
“Utang ini seringkali disertai komitmen balas jasa kepada donatur dengan memberikan proyek-proyek ketika terpilih,” kata Candrawansah.
Padahal, lanjut dia, UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada pada pasal 74 sudah mengatur batasan sumbangan dana kampanye: sumbangan perseorangan maksimal Rp75 juta dan badan hukum swasta maksimal Rp750 juta, dan semua harus tercatat dalam rekening khusus dana kampanye (RKDK) yang dilaporkan kepada KPU.
“Jadi apakah pemilihan harus melalui DPRD?” Tegas Candrawansah.
Baca Juga: Partai Politik Harus Direformasi Jika Pilkada Tidak Langsung
Ia berpendapat bahwa persoalan korupsi dan praktik politik uang tidak dapat dihapus hanya dengan mengubah mekanisme pemilihan.
“Sebaliknya, hal yang perlu diperbaiki adalah regulasi yang mengatur politik uang serta mental politikus dalam menjalankan peran kepala daerah. Perbaikan ini berkaitan erat dengan sistem rekrutmen oleh partai politik dan pendidikan politik untuk mempersiapkan kader bangsa demi kemaslahatan rakyat,” jelas Candrawansah.
Kasus Ardito Wijaya menunjukkan bahwa meskipun secara formal laporan dana kampanye dinyatakan patuh, kebutuhan dana politik yang jauh melebihi batas resmi menciptakan jerat utang yang memaksa kepala daerah mencari dana haram, seperti dari fee rekanan, demi menutupi pinjaman Pilkada.
Fenomena ini menjadi cerminan bahwa biaya politik yang tinggi adalah alasan klasik mengapa kepala daerah berusaha keras mengembalikan dana yang telah dikeluarkan saat berkompetisi.
Baca Juga: Dinasti Korupsi Bupati Ardito Wijaya: Adik dan Kerabat Terlibat

