DASWATI.ID – Ratusan nelayan yang tergabung dalam Gabung Kelompok Perikanan (Gapokkan) Mitra 10 di Kecamatan Teluk Pandan, Kabupaten Pesawaran, Provinsi Lampung, menyampaikan keluhan mereka karena aktivitas pemasangan pagar jaring pelampung oleh Lampung Marriott Resort & Spa.
Pemasangan pagar jaring ini disebut telah mengakibatkan penurunan drastis pada pendapatan para nelayan yang menggantungkan hidupnya dari hasil tangkapan ikan di wilayah tersebut.
Dampak Ekonomi dan Aspirasi Nelayan
Ketua Gapokkan Mitra 10, Mawardi (41), yang merupakan warga Desa Hanura, Kecamatan Teluk Pandan, menjelaskan bahwa pagar jaring apung yang dipasang pihak Hotel Marriott memiliki panjang lebih dari tiga kilometer dan lebar kurang lebih 500 meter.
Menurut Mawardi, pemasangan pagar jaring laut tersebut telah berlangsung hampir tiga tahun. Dampak dari pemasangan Pagar Jaring laut tersebut sangat signifikan terhadap hasil tangkapan ikan.
“Sebelum pagar jaring pembatas dipasang, rata-rata nelayan bisa mendapatkan hasil tangkapan ikan mencapai 60 kilogram per hari,” ujar dia, Selasa (18/11/2025).
Namun, kondisi saat ini berbalik drastis, di mana para nelayan hanya mampu mendapatkan satu kilogram ikan per hari.
Mawardi mengenang bahwa sebelum adanya pagar jaring, para nelayan dapat dikatakan hidup sejahtera karena hasil tangkapan ikan sangat menghasilkan.
“Pemasangan pembatas dengan pagar jaring tersebut sudah hampir tiga tahun, sebelum adanya pagar jaring, kami para nelayan bisa di bilang hidup sejahtera, karena hasil tangkapan ikan sangat menghasilkan,” kata dia.
Mawardi menegaskan bahwa pihak manajemen hotel Marriott tidak pernah melakukan musyawarah maupun koordinasi dengan para nelayan, padahal kehidupan mereka sangat bergantung pada hasil tangkapan ikan.
Pihak nelayan sebelumnya pernah berkoordinasi dengan Ombudsman terkait permasalahan ini, namun hingga kini belum ada tindak lanjut.
Masyarakat juga pernah melaporkan masalah pagar jaring kepada pemerintah daerah maupun provinsi, namun hasilnya tidak maksimal.
“Walaupun pagar jaring pernah dibuka sebentar, masyarakat tetap tidak diperbolehkan menangkap ikan di lokasi tersebut, dan pagar jaring itu pun dipasang kembali,” tutur Mawardi.
Selain pagar jaring, nelayan juga mempertanyakan izin keramba apung yang mereka buat, apakah sudah memiliki izin resmi dari pemerintah.

Tanggapan Pihak Hotel dan Potensi Pelanggaran Hukum
Ketika pihak manajemen Lampung Marriott Resort & Spa dikonfirmasi terkait keluhan nelayan, seorang pria yang mengaku sebagai Supervisor Keamanan bernama Yolan Bagas, didampingi Kepala Security Nurul Fajri, menyatakan bahwa pihak hotel akan melakukan koordinasi terlebih dahulu dengan Manajemen Hotel.
Yolan Bagas menyampaikan bahwa tim yang ingin melakukan konfirmasi harus mengirim surat terlebih dahulu, serta membawa surat tugas dan tanda pengenal.
“Nanti saya sampaikan kepada pihak manajemen hotel, namun nanti silakan bapak-bapak mengirim surat terlebih dahulu, dan nanti membawa surat tugas serta tanda pengenal,” ujar dia.
Pemasangan jaring atau pagar laut oleh hotel di area pantai perlu diketahui tidak serta-merta dibenarkan dan berpotensi melanggar hukum jika dilakukan tanpa izin resmi dari pemerintah.
Analisis Dasar Hukum dan Kewajiban Izin
Sebagai informasi, wilayah pantai, garis pantai, dan laut bukan merupakan milik hotel, melainkan termasuk dalam Kawasan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (KP3K) dan merupakan Area publik yang diatur oleh negara berdasarkan UU Nomor 27 Tahun 2007 jo. UU Nomor 1 Tahun 2014.
Setiap pemasangan struktur di perairan, termasuk jaring laut, pagar laut, breakwater, bangunan pantai, penghalang (barrier), dan tambahan struktur lainnya, wajib memiliki izin dari instansi terkait.
Instansi yang berwenang memberikan izin yakni:
- Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP).
- Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (jika termasuk kawasan konservasi).
- Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) jika menyangkut zona pemanfaatan laut.
- Pemkab/Pemkot melalui Dinas Lingkungan Hidup (DLH) untuk Amdal/UKL-UPL.
Jika hotel memasang jaring laut tanpa izin, maka berpotensi melanggar beberapa peraturan hukum, antara lain:
1. Menguasai ruang laut secara ilegal:
Hal ini diatur dalam UU Nomor 1 Tahun 2014 Pasal 20 dan Pasal 21, yang mewajibkan pemanfaatan ruang laut harus berizin. Sanksinya dapat berupa pencabutan izin usaha, denda besar, hingga pidana.
2. Merusak ekosistem pesisir:
Jika jaring tersebut mengganggu terumbu karang, jalur migrasi ikan, atau aktivitas nelayan, maka dapat dijerat Pasal 73 UU Nomor 27 Tahun 2007 jo. UU Nomor 1 Tahun 2014.
3. Menghambat akses publik:
Pantai adalah milik umum, jika jaring menghalangi akses masyarakat, ini dapat dianggap melanggar UU Nomor 1 Tahun 2014 dan UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
4. Tidak adanya Amdal/UKL-UPL:
Jika pemasangan jaring berdampak pada lingkungan, hotel wajib menyusun dokumen Amdal/UKL-UPL dan mendapatkan persetujuan dari Dinas Lingkungan Hidup. Tanpa dokumen tersebut, hotel dianggap melakukan pencemaran dan perusakan lingkungan.

