DPR Abuse of Power Jika Abaikan Putusan MK

oleh
DPR Abuse of Power Jika Abaikan Putusan MK
Mahasiswa Universitas Bandarlampung ikut bergabung dalam aksi unjuk rasa Aliansi Lampung Menggugat di Kantor DPRD Provinsi Lampung, Kota Bandarlampung, Jumat (23/8/2024). Foto: Josua Napitupulu

DASWATI.ID – Akademisi Lampung Tanah Lado menyebut DPR menyalahgunakan wewenang jabatan atau abuse of power jika mengabaikan putusan Mahkamah Konstitusi (MK).

Sebanyak 54 akademisi dari Universitas Lampung (Bandarlampung) dan Universitas Muhammadiyah Kotabumi (Lampung Utara) tergabung dalam Akademisi Lampung Tanah Lado.

Mereka menyampaikan pernyataan sikap untuk menyelamatkan demokrasi terkait putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024, dan Nomor 70/PUU-XXII/2024, tertanggal 20 Agustus 2024.

MK sebagai pengawal konstitusi dan penafsir akhir konstitusi yang putusannya bersifat final dan mengikat telah memberikan pendapat terkait penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah dalam dua putusan MK tersebut.

Terhadap kedua putusan yang mengatur batas usia calon kepala daerah dan ambang batas dukungan partai politik dalam pengusulan calon kepala daerah dalam pilkada serentak 2024.

DPR merencanakan mengubah UU Nomor 1/2015 sebagaimana diubah terakhir dengan UU Nomor 10/2016 tentang Perubahan Kedua atas Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1/2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota sebagai Undang-undang (UU Pilkada) dengan memasukan ketentuan yang berbeda dengan putusan MK.

DPR Abuse of Power Jika Abaikan Putusan MK
Ratusan mahasiswa dari berbagai kampus di Provinsi Lampung yang tergabung dalam Aliansi Lampung Menggugat menggelar aksi unjuk rasa “Ganyang Rezim Pembegal Demokrasi” di Kantor DPRD Provinsi Lampung, Kota Bandarlampung, Jumat (23/8/2024). Foto: Josua Napitupulu

Terhadap rencana perubahan UU Pilkada dengan memaksakan ketentuan yang berbeda dengan putusan MK, para akademisi Lampung Tanah Lado, menyampaikan hal-hal sebagai berikut:

  • bahwa UUD Tahun 1945 adalah hukum dasar sekaligus sebagai pedoman etika penyelenggaraan negara;
  • bahwa membentuk termasuk mengubah Undang-undang adalah tanggung jawab DPR dalam menjalankan fungsi legislasi untuk menjalankan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 sebagaimana mestinya;
  • bahwa pembentukan dan perubahan undang-undang oleh DPR dilaksanakan berdasarkan undang-undang tentang pembentukan peraturan perundang-undangan, yang salah satunya sebagai tindak lanjut putusan Mahkamah Konstitusi;
  • bahwa sebagai konsekuensi pembentukan undang-undang yang didasarkan atas putusan Mahkamah Konstitusi adalah melaksanakan putusan bukan dengan menafsirkan hal yang berbeda dengan substansi putusan Mahkamah;
  • bahwa MK adalah kekuasaan kehakiman untuk menegakan hukum dan keadilan yang didesain sebagai penjaga negara hukum yang demokratis;
  • bahwa putusan MK merupakan tafsir resmi atas pasal, ayat, atau bagian dari undang-undang yang mengikat kepada setiap orang perorang warga negara, dan lembaga negara yang mengikat sejak dibacakan, dan tidak ada upaya hukum;
  • bahwa Putusan 60/PUU-XXII/2024 telah menafsirkan Pasal 40 UU Pilkada dengan memberikan ambang batas pengusulan calon kepala daerah berdasarkan Daftar Pemilih Tetap (DPT) di semua tingkatan secara berjenjang antara 6,5%-10% bukan berdasarkan keterwakilan jumlah kursi partai politik di DPRD;
  • bahwa Putusan Nomor 70/PUU-XXII/2024 telah menafsirkan Pasal 7 ayat (2) huruf e UU Pilkada berusia paling rendah 30 (tiga puluh) tahun untuk Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur serta 25 (dua puluh lima) tahun untuk Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota sebelum ditetapkan KPU sebagai Calon;
  • bahwa Putusan Nomor 60/PUU-XXI/2024 membedakan ambang batas berdasarkan DPT dan daerah (antara Provinsi dan Kabupaten/kota) bukan berdasarkan keterwakilan partai di DPRD sebagaimana rencana perubahan UU Pilkada oleh DPR;
  • bahwa putusan Nomor 70/PUU-XXII/2024 mensyaratkan usia calon pada saat ditetapkan KPU bukan saat pelantikan sebagaimana kemudian ditetapkan dalam Putusan MA Nomor 23 P/HUM/2024;
  • bahwa apabila DPR akan mengubah UU Pilkada dengan mengesampingkan putusan MK, maka:
  1. DPR telah melakukan tindakan yang bertentangan dengan UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Pasal 10 ayat (1) huruf d dan ayat (2) UU 12/2011 jo UU 13/2022);
  2. DPR telah melakukan abuse of power, atau detournement de pouvoir dengan melakukan perubahan UU Pilkada tidak sebagaimana mestinya sebagai kewajiban DPR untuk tunduk pada aturan yang berlaku dalam pembentukan UU;
  3. DPR telah melakukan pembangkangan konstitusi dengan mengesampingkan putusan Mahkamah Konstitusi yang salah tugasnya sebagai the guardian of constitution;
  4. Pembangkangan konstitusi oleh DPR, yang nyata-nyata mengharuskan DPR untuk memuat materi UU Pilkada sebagai tindak lanjut Putusan Mahkamah Konstitusi adalah kejahatan serius terhadap konstitusi yang merusak tatanan kehidupan demokrasi dan Republik Indonesia sebagai negara hukum yang demokratis;
  • bahwa apabila rencana perubahan UU Pilkada yang akan dilakukan oleh DPR mengalami kegagalan, tidak menutup kemungkinan Presiden akan menerbitkan Perppu Pilkada sebagaimana terbitnya Perppu Cipta Kerja sebagai akibat putusan MK yang memutuskan inkonstitusional bersyarat untuk diperlakukan perbaikan dua tahun sejak diputus.
DPR Abuse of Power Jika Abaikan Putusan MK
Aksi mahasiswa Aliansi Lampung Menggugat di Kantor DPRD Provinsi Lampung, Kota Bandarlampung, Jumat (23/8/2024). Foto: Josua Napitupulu

Untuk itu, Akademisi Lampung Tanah Lado menyerukan hal-hal sebagai berikut:

  1. Seluruh penyelenggara untuk mematuhi UUD Tahun 1945 sebagai hukum dasar dan landasan etika penyelenggara negara;
  2. Menghentikan perubahan UU Pilkada yang tidak sesuai dengan putusan MK;
  3. Menolak apabila diterbitkan Perppu Pilkada yang tidak sesuai dengan putusan MK;
  4. Demi terwujudnya negara hukum yang demokratis, KPU harus melaksanakan putusan MK Nomor 60 dan Nomor 70 Tahun 2024 tanpa syarat dan tanpa interpretasi apapun;
  5. KPU adalah penyelenggara Pemilu yang bersifat independen, maka pelaksanaan putusan MK tidak membutuhkan konsultasi kepada DPR atau lembaga lainnya, tetapi langsung dapat dilaksanakan dengan mengubah Peraturan KPU terkait syarat batas usia calon kepala daerah dan wakil kepala daerah serta ambang batas yang berlaku bagi partai pengusul calon kepala daerah dan wakil kepala daerah;
  6. Apabila DPR tetap mengubah UU Pilkada dengan pengaturan berbeda dengan putusan MK, saatnya masyarakat menghukum partai politik pendukung perubahan UU Pilkada dengan tidak memilih calon kepala daerah yang didukung partai-partai tersebut pada Pilkada Serentak 27 November 2024.

Baca Juga: KPU Siap Jalankan Putusan Mahkamah Konstitusi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *