DASWATI.ID – Dugaan jual beli suara oleh oknum Bawaslu Ogan Komering Ulu (OKU), Sumatra Selatan, merupakan Tindak Pidana Pemilu.
Hal itu ditegaskan Ketua Program Studi Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Baturaja (UNBARA) Yahnu Wiguno Sanyoto.
Menurut dia, pelaporan dugaan jual beli suara oknum Bawaslu OKU ke Polres dan Kejaksaan setempat kurang tepat dan belum tuntas.
“Iya, kurang tepat, karena dugaan pelanggaran yang dilaporkan adalah pelanggaran pemilu yang secara spesifik telah diatur di dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 juncto UU Nomor 7 Tahun 2023 tentang Pemilihan Umum,” ujar Yahnu dalam keterangannya, Kamis (7/3/2024).
Baca Juga: Tahapan Krusial Pengawasan Pemilu 2024
Diketahui, dua oknum anggota Bawaslu OKU diduga meminta sejumlah uang kepada caleg di OKU berinisial M dari salah satu partai di Dapil 1 Baturaja Timur.
Uang yang diminta sebesar Rp1,34 miliar dengan dijanjikan mendapat empat ribu suara dan bisa duduk di kursi DPRD OKU.
Berbagai organisasi kemasyarakatan melaporkan dugaan jual beli suara oknum Bawaslu OKU ke aparat penegak hukum.
Di antaranya Masyarakat Anti Korupsi Sumatra Selatan, DPC LSM Ratu Adil Indonesia, Forum Komunikasi Sumatra Selatan Bersatu, Gerakan Masyarakat Peduli Demokrasi, Pekat IB, LSM Geram Banten Indonesia DPC-DPD OKU Sumsel, dan Gerakan Masyarakat Anti Kolusi Nepotisme.
Yahnu menjelaskan tata cara, prosedur, dan mekanisme penanganan dugaan kasus jual beli suara itu harus berdasarkan ketentuan yang diatur di dalam UU Pemilu dan Peraturan Bawaslu Nomor 7 Tahun 2022 tentang Penanganan Temuan dan Laporan Pelanggaran Pemilihan Umum.
“Jika di dalamnya mengandung dugaan pelanggaran Tindak Pidana Pemilu maka laporan tersebut semestinya dilaporkan ke Bawaslu OKU dan diproses bersama dengan unsur Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu) OKU,” kata Yahnu.
Sentra Gakkumdu OKU terdiri dari unsur Bawaslu, Kepolisian, dan Kejaksaan setempat.
“Namun karena pada peristiwa ini, oknum Bawaslu OKU yang dilaporkan, sebaiknya laporan disampaikan kepada Bawaslu satu tingkat di atasnya yaitu Bawaslu Provinsi Sumatra Selatan (Sumsel). Di sana terdapat Gakkumdu Provinsi, yang terdiri dari unsur Bawaslu Sumsel, Polda Sumsel, dan Kejaksaan Tinggi Sumsel,” terang dia.
Pelaporan dugaan jual beli suara oknum Bawaslu OKU belum tuntas.
Selain kurang tepat, Yahnu menilai pelaporan dugaan jual beli suara itu juga belum tuntas karena hanya melaporkan oknum Bawaslu OKU.
“Selain melaporkan oknum Bawaslu OKU, semestinya teman-teman Ormas dan LSM juga melaporkan calon legislatif atau mungkin tim pelaksana dan/atau tim kampanye yang diduga memberikan suap karena hal tersebut melanggar larangan kampanye Pemilu dan mengarah pada praktik politik uang,” kata dia.
Pasal 280 Ayat 1 huruf (j) UU Pemilu menyatakan bahwa:
“Pelaksana, peserta, dan tim Kampanye Pemilu dilarang menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada peserta Kampanye Pemilu”.
Sanksi pidananya diatur di dalam Pasal 523 Ayat 1:
“Setiap pelaksana, peserta, dan/atau tim Kampanye Pemilu yang dengan sengaja menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada peserta Kampanye Pemilu secara langsung ataupun tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 280 ayat (1) huruf j dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).”
Kemudian pada Ayat 2 bahwa:
“Setiap pelaksana, peserta, dan/atau tim Kampanye Pemilu yang dengan sengaja pada Masa Tenang menjanjikan atau memberikan imbalan uang atau materi lainnya kepada Pemilih secara langsung ataupun tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 278 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan denda paling banyak Rp48.000.000,00 (empat puluh delapan juta rupiah).”
Selanjutnya Ayat 3 bahwa:
“Setiap orang yang dengan sengaja pada hari pemungutan suara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada Pemilih untuk tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih Peserta Pemilu tertentu dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).”
Yahnu pun tidak menampik, terdapat pasal lain di dalam UU Pemilu yang diduga dilanggar.
Menurut dia, hal itu menjadi ranah atau tugas Pengawas Pemilu untuk mengkaji kasus tersebut sehingga diperoleh informasi yang utuh atas dugaan pelanggaran yang terjadi.
Bagi calon anggota legislatif, dugaan jual beli suara itu mengarah pada dugaan pelanggaran Administratif dan Tindak Pidana Pemilu.
Sedangkan bagi oknum Bawaslu OKU mengarah pada dugaan pelanggaran Tindak Pidana Pemilu dan Kode Etik Penyelenggara Pemilu.
“Peristiwa ini, tentu saja secara prosedur masih harus dibuktikan kebenarannya melalui serangkaian proses penanganan pelanggaran pemilu,” ujar Yahnu.
Oleh karena itu, lanjut dia, Bawaslu OKU secara kelembagaan harus tetap menjalankan tugas, wewenang, dan kewajibannya secara profesional dan berintegritas karena tahapan Pemilu 2024 belum berakhir.
Di sisi lain, Yahnu juga mengapresiasi semangat teman-teman Ormas dan LSM sepanjang dilakukan dengan niat baik sebagai upaya menjaga integritas proses dan hasil dari Pemilu 2024.
“Oleh karenanya dalam menyampaikan laporan juga tidak boleh parsial. Artinya selain menjadikan oknum Bawaslu OKU sebagai terlapor, teman-teman Ormas dan LSM juga menjadikan para pemberi suap tersebut sebagai terlapor dengan disertai bukti yang cukup untuk juga diusut dan diberikan sanksi yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku,” kata dia.
“Ke depan, kita akan dihadapkan pada kontestasi Pemilihan Kepala Daerah (Pemilihan) Serentak Tahun 2024 dan tentu kita berharap agar situasi sosial politik di OKU lebih kondusif. Para pemangku kepentingan yang terkait pun harus turut serta mengawal perjalanan demokrasi di Bumi Sebimbing Sekundang ini agar dapat berjalan aman, tertib, dan damai,” pungkas Yahnu.