Konflik Anak Tuha: Bias Struktural dan Absennya Kontrol Negara

oleh
Anak Tuha: Ujian Negara di Simpul Konflik Agraria Lampung
Direktur LBH-YLBHI Bandar Lampung, Sumaindra Jarwadi (dua dari kiri), hadir dalam proses mediasi konflik agraria di Anak Tuha yang difasilitasi oleh Pemkab Lampung Tengah pada Rabu (20/8/2025). Foto: Istimewa

DASWATI.ID – Proses penyelesaian konflik agraria yang melibatkan masyarakat tiga kampung di Kecamatan Anak Tuha (Kampung Bumi Aji, Negara Aji Baru, dan Negara Aji Tua), Kabupaten Lampung Tengah, kembali menemui jalan buntu dan dinilai jauh dari keadilan.

Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) – LBH Bandar Lampung menyatakan bahwa negara menunjukkan wajah lama, yaitu penuh janji namun minim langkah konkret, dan justru terlihat sibuk mempertahankan status quo ketimbang mengupayakan penyelesaian yang berkeadilan.

Ketiadaan Dasar Hukum dan Bias Struktural

Siaran pers YLBHI – LBH Bandar Lampung, Senin (17/11/2025), menyatakan bahwa salah satu indikator utama yang menghambat proses penyelesaian konflik ini adalah sikap PT Bumi Sentosa Abadi (BSA).

“Perusahaan tersebut secara berulang kali enggan dan tidak mampu menunjukkan dasar hukum atas kegiatan usaha yang mereka jalankan di wilayah Anak Tuha,” ujar Kepala Divisi Advokasi LBH Bandar Lampung, Prabowo Pamungkas (Bowo), dalam keterangannya.

Ia menuturkan dalam pertemuan yang melibatkan Polres Lampung Tengah dan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Lampung Tengah, PT BSA terus menghindari penjelasan mengenai legalitas penguasaan tanah yang sejak lama dipersoalkan masyarakat.

Ketertutupan ini semakin memperkuat dugaan bahwa penguasaan lahan oleh PT BSA tidak memiliki legitimasi yang jelas dan perlu dievaluasi secara menyeluruh.

Sikap menghindar dari PT BSA juga menyingkap bahwa perusahaan telah menikmati kenyamanan selama bertahun-tahun akibat absennya kontrol negara.

Ketimpangan perlakuan terlihat jelas: ketika masyarakat dituntut untuk menunjukkan bukti, sertifikat, atau dokumen lama atas tanah mereka, PT BSA justru diberi ruang untuk menghindar tanpa adanya konsekuensi.

“Ketimpangan perlakuan ini menunjukkan adanya bias struktural yang selama ini menjadi akar dari terulangnya konflik agraria di Indonesia,” tegas Bowo.

Mencari Keadilan di Ruang Parlemen: Suara Warga Anak Tuha Didengar Komisi I DPRD
Ketua Komisi I DPRD Provinsi Lampung Garinca Reza Pahlevi didampingi anggota Komisi I menerima surat pengaduan dari perwakilan warga Anak Tuha didampingi LBH Bandar Lampung saat rapat dengar pendapat di Ruang Rapat Komisi DPRD Provinsi Lampung, Bandar Lampung, Selasa (16/9/2025) siang. Foto: Josua Napitupulu

Gagalnya Lembaga Negara dan GTRA

Kegagalan lembaga negara dalam menggunakan kewenangan untuk penyelesaian konflik kembali terlihat dalam rapat anggota Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) Kabupaten Lampung Tengah yang digelar pada 6 November 2025.

Kepala BPN Lampung Tengah tampak enggan mendorong evaluasi, verifikasi, dan klarifikasi terhadap PT BSA, padahal kewenangan tersebut berada di pundaknya.

“Sikap pasif ini tidak hanya menunjukkan ketidakseriusan, tetapi juga memperpanjang penderitaan masyarakat,” tutur Bowo.

Menurut dia, GTRA seharusnya menjadi instrumen pemerintah yang korektif dan menempatkan rakyat sebagai prioritas.

Namun, dalam kasus Anak Tuha, forum GTRA justru menunjukkan kegagalan mendasar karena tidak berani menyentuh inti persoalan, yaitu legalitas penguasaan tanah oleh korporasi.

“Alih-alih mengarahkan penyelesaian, forum tersebut berubah menjadi arena penundaan yang melahirkan harapan palsu bagi masyarakat,” sesal Bowo.

Warga Anak Tuha Kembali Garap Lahan HGU PT BSA: Perjuangan Mempertahankan Ruang Hidup
Sumber: Tangkapan Layar akun media sosial TikTok @abdisanjaya7

Masyarakat Bergerak Memulihkan Hak

Akibat ketiadaan langkah tegas dari negara, masyarakat tiga kampung di Anak Tuha menyatakan tidak ada pilihan lain selain bergerak memulihkan haknya sendiri.

Mulai tanggal 9 November 2025, masyarakat telah memulai tindakan mengambil alih dan menguasai kembali lahan yang selama puluhan tahun mereka yakini sebagai tanah milik mereka.

Lahan tersebut merupakan ruang hidup, ruang identitas, dan sumber penghidupan masyarakat sebelum diambil alih oleh PT BSA. Tindakan ini disebut sebagai akumulasi dari kekecewaan panjang terhadap negara yang gagal hadir.

Baca Juga: Warga Anak Tuha Kembali Garap Lahan HGU PT BSA: Perjuangan Mempertahankan Ruang Hidup

YLBHI–LBH Bandar Lampung menegaskan bahwa langkah masyarakat ini harus dibaca sebagai bentuk perlawanan terhadap ketidakadilan sistematis.

“Apabila negara tidak menjalankan mandat konstitusionalnya untuk melindungi rakyat, maka rakyat memiliki hak untuk mempertahankan ruang hidupnya,” kata Bowo.

Ia menjelaskan reklaiming yang dilakukan masyarakat bukanlah tindakan kriminal, melainkan upaya memulihkan hak atas tanah yang terputus akibat praktik penguasaan yang tidak transparan dan tidak berbasis hukum.

Negara, dengan membiarkan perusahaan tidak membuka dokumen legalitasnya, sesungguhnya sedang mengabaikan mandat reforma agraria sejati, yaitu mengoreksi ketimpangan penguasaan tanah dan mengembalikannya kepada rakyat.

Kementerian ATR/BPN Digeruduk Petani Lampung
Serikat Petani Lampung (SPL) menggeruduk Kantor Kementerian Agraria Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) di Jakarta pada Rabu (26/6/2024). Foto: Arsip SPL

Desakan Audit Menyeluruh kepada Pemerintah Pusat

Atas kondisi ini, YLBHI–LBH Bandar Lampung mendesak Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) RI untuk segera turun tangan ke lapangan dan mengambil alih proses penyelesaian.

Kementerian didesak untuk melakukan audit menyeluruh terhadap dasar penguasaan lahan PT BSA dan memastikan pemulihan hak masyarakat.

Baca Juga: Kementerian ATR/BPN Digeruduk Petani Lampung

“Pemerintah pusat harus memutus rantai pembiaran oleh pejabat daerah yang selama ini gagal menjalankan fungsi pengawasan dan penyelesaian sengketa agraria,” tegas Bowo.

YLBHI–LBH Bandar Lampung menekankan bahwa negara tidak boleh lagi hanya hadir dalam retorika, tetapi harus hadir dalam tindakan, dan penyelesaian konflik agraria harus berpihak kepada keadilan substantif, bukan kepentingan korporasi.

“Masyarakat Anak Tuha telah terlalu lama dipinggirkan dan dibiarkan berjuang sendiri,” pungkas Bowo. 

Baca Juga: Anak Tuha: Ujian Negara di Simpul Konflik Agraria Lampung

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *